Pembaca tertarik memahami hulu hilir budidaya udang nasional? Iingin tahu mengapa negara seperti Vietnam, India, Equador atau Thailand terus menanjak dan inovatif pada budidaya udang sementara Indonesia stagnan atau masih berkutat pada rencana-rencana belaka?
Yuk, simak telisikan pakar budidaya perikanan, Hasanuddin Atjo, tenaga ahli pada Kemenkomarves yang saat ini gencar mendorong program budidaya perikanan nasional.
PELAKITA.ID – Revitalisasi tambak udang maupun bandeng milik rakyat menjadi salah satu major project dalam RPJMN 2020 -2024 oleh Presiden Joko Widodo dan wakilnya Mar’uf Amin. Dan ini tidak lain bertujuan meningkatkan kesejahteraan, pertumbuhan serta adanya devisa bagi Negara.
Melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan, proyeksi peningkatan produksi tidak tanggung tanggung, langsung meloncat sebesar 250 persen yaitu dari 0,85 juta ton tahun 2020 menjadi 2,00 juta ton tahun 2024. Demikian pula dengan devisanya, dari sekitar $ 2 miliar US menjadi sekitar $ 5 miliar US (KKP, 2021)
Sekitar 31 ribu ha tambak rakyat akan direvitalisasi untuk dinaikkan produktivitasnya dari 0,6 ton/ha/tahun menggunakan teknologi sederhana menjadi 2 ton, dengan teknologi semi intensif yaitu sudah memakai tandon, pompa, kincir dan pakan serta IPAL.
Selebihnya. mendorong investasi swasta masuk ke bisnis ini, mulai usaha mono budidaya Vaname dengan teknologi intensif maupun supra-intensif atau super-intensif hingga usaha integrasi hulu-hilir yaitu pembenihan, pembesaran dan pengolahan bernilai tambah.
Penetapan target ini didasari oleh sejumlah pertimbangan antara lain panjang garis pantai nomor dua di dunia setelah Canada, mendekati 100.000 km, beriklim tropis, serta masyarakat familiar dengan usaha ini termasuk teknologi, mulai dari sederhana hingga modern sudah tersedia.
Yang tidak kalah pentingnya adalah pasar terbuka, dan pasokan udang dunia diperkirakan masih kurang 1,5 juta ton. Apalagi di masa pandemic COVID-19 ini, permintaan udang tidak menurun signifikan, bahkan pada akhir 2020 trend harga maupun permintaan naik.
Semangat meningkatkan kinerja industri udang nasional boleh jadi ikut dipicu oleh kinerja Vietnam dan Thailand. Negeri ini dengan garis pantai sekitar 3.200 km, mampu memproduksi udang sama dengan Indonesia di angka sekitar 0,500 juta ton (FAO, 2019).
Dan yang menarik India dan Equador saat ini telah melampaui produksi udang Indonesia. Padahal mereka mengenal budidaya belum terlalu lama, namun keduanya langsung membenahi faktor yang menjadi penghambat peningkatan produksi dan terbangunnya efisiensi.
Di tahun 2020, ekspor udang dari Indonesia baru sekitar 0,2 juta ton dan 40persen adalah produk olahan dengan devisa mendekati nilai $ 2 miliar US total devisa ekspor hasil perikanan 2020 sekitar $ 5,2 miliar US.
Berbeda dengan Vietnam maupun Thailand, ekspor udangnya 80 persen produk olahan, bahkan keduanya mengimpor bahan baku dari India dan Equador untuk diolah . Karena itu devisa keduanya bisa menjadi 2 kali lebih besar dari Indonesia.
Hilirisasi produk olahan berdampak terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja, karena produk olahan akan menyerap tenaga kerja 5 kali lebih banyak dari hilirisasi orientasi bahan baku dan di Idonesia masih sekitar 60 persen yang orientasi bahan baku.
Semua ini, bisa jadi pembenaran terhadap target produksi udang 2 juta ton pada akhir RPJMN 2024. Target besar ini dinilai tidak salah, hanya perlu diketahui bagaimana tantangan major project ini, apa solusinya.
Adakah peluang usaha baru dari major project ini?
Memproduksi dua juta ton udang, membutuhkan setidaknya 200 miliar ekor benih udang Vaname. Dan membutuhkan minimal 2 juta pasang induk udang yang selama ini diimpor dari Hawai dan Florida dengan harga sepasang mendekati $150 US atau 2 juta rupiah.
Cacing laut hasil budidaya untuk pakan induk udang masih diimpor dari Belanda dan Prancis dengan harga mendekat $30 US, sekitar 400 ribu rupiah per kg.
Cacing dari alam sangat terbatas pasokannya dan berpotensi menjadi carrier penyakit. Kebutuhan cacing untuk sepasang induk kurang lebih 8 kg per tahun atau 16 ribu ton bagi 2 juta pasang induk.
Selain itu ketersediaan daya listrik dan jaringan PLN, jaringan irigasi tambak, akses dari dan ke sentra produksi serta pembenahan sistem logistik negara kepulauan menjadi tantangan tambahan kesuksesan major project ini.
Setiap 50 ribu ekor benih vaname yang ditebar di tambak atau setiap 0,5 ton produksi udang di tambak membutuhkan energi listrik sebesar 1 house power atau 750 watt. Bisa dikalkulasi berapa besar daya dan jaringan listrik yang dibutuhkan.
Ini baru kebutuhan di hulu, belum termasuk kebutuhan listrik di hilir untuk prosesing seperti pabrik es maupun cold storage. Setiap ton udang butuh es sekitar 2 ton, yang berarti dibutuhkan es sekitar 4 juta ton.
Negeri ini juga masih mengimpor sejumlah peralatan penunjang dari China, Taiwan dan negara lainnya seperti kincir, pompa air, blower serta sejumlah peralatan lainnya. Dan membuat kemandirian negeri ini rendah. Dan dilperkirakan konten impornya masih sekitar 60-70 persen.
Karenanya, sangat terbuka peluang investasi membangun Broodstock Center untuk memproduksi induk udang. Pola usahanya bisa PMA, kerjasama Bisnis to Bisnis , atau PMDN, Penanaman Modal Dalam Negeri.
Adv: Tertarik ketahui perspektif bandingan? Sila simak video ini.
Apa yang bisa dilakukan?
Pemerintah harus lebih mendorong dan memfasilitasi kiranya bisnis ini bisa tumbuh dan berkembang, oleh karena ketersediaan induk udang sangat strategis terhadap naiknya produksi udang menjadi 2 juta ton.
Peluang bisnis kedua, tidak kalah strategisnya adalah memproduksi biomass artemia maupun cyste artemia yang selama ini diimpor. Import cyste artemia setiap tahun sekitar 60 -70 ton (120 -140 ribu kaleng) dan nilainya $ 50 US per kaleng atau $ 6 -7 juta US/tahun.
Indonesia memiliki tambak garam seluas 27 ribu ha dan bisa dipakai memproduksi secara terintegrasi biomas dan cyste artemia bersama garam. Produksi garam rakyat yang fluktuatif baik mutu maupun jumlahnya sering berpolemik bila negeri ini harus impor garam.
Dengan model integrasi seperti ini, garam tidak lagi menjadi produk utama, digantikan oleh biomas dan cyste artemia bahkan mineral kesehatan, karena harganya yang tinggi. Dan ini akan bisa mengurai polemikl impor garam yang terjadi setiap tahun.
Usaha integrasi ini yang sedang dikembangkan di Vietnam, Thailand, Equador dan India menyebabkan kinerja industri perundangannya menjadi lebih baik dan berdaya saing. Ini dikarenakan tersedianya biomas dan cyste artemia di dalam mendukung industri induk udang, pembenihan maupun nursery .
Biomass artemia dewasa dapat mengganti cacing sebagai pakan induk. Biomass artemia muda baik untuk kebutuhan nursery udang atau tahap awal pembesaran di tambak. Selanjutnya cyste artemia sangat dibutuhkan hampir semua usaha perbenihan udang maupun ikan.
Green Energy, seperti tenaga surya, baterai lithium akan menjadi lebih strategis bagi sentra tambak yang terisolir dari jaringan listrik PLN. Ini tentunya akan memberi akselerasi terhadap pencapaian major project yang dinilai strategis oleh sejumlah kalangan.
Terakhir, peran dari pelaku usaha yang tergabung dalam sejumlah asosiasi dan komunitas seperti KADIN, HIPMI menjadi bagian yang tidak terpisahkan mengambil peran dalam upaya merealisasikan major project ini.
Editor: K. Azis