PELAKITA.ID – Perjalanan ke Kota Soppeng pada tanggal 28 Desember 2020 mengendapkan banyak cerita dan kesan manis. Di awal tahun 2021 ini, saya mau berbagi cerita itu.
Cerita yang remeh tetapi bisa menjadi alasan untuk menyebut Kabupaten Soppeng, termasuk di dalamnya Kota Watangsoppeng sungguh elok dan sedap dipandang mata.
Saya ke sana pada hari yang sama setelah mengikuti acara aksi tanam mangrove di Kelurahan Lantebung bersama anggota passapeda GoGoSS89 Smansa Makassar angkatan 1989.
Perjalanan kami tempuh selama hampir lima jam dengan mobil double cabin bersama tiga kawan lain dari BPDASHL Jeneberang-Saddang, unit kerja KemenLHK. Jalurnya Makassar – Maros – Bone – Soppeng.
Relatif lama, selain karena hujan yang mendera juga karena pada beberapa ruas jalan terutama di Camba hingga Mallawa, kendaraan terlalu rapat dan jalan siput terutama mobil truk atau tronton.
Kami berangkat pukul 4 sore dan tiba di Hotel Grand Aisya pukul 9 malam.
Jadi, apa saja yang berkesan selama berkunjung ke Soppeng?
Pertama, kondisi hotel Grand Aisya yang bersih, lapang dan lengkap asesorisnya membuat saya bisa tidur dengan nyaman. Tidak sampai 20 menit setelah membuka kunci hotel, saya bisa tidur dengan pulas.
Saya bangun persis pukul 6 pagi dan bergegas bikin teh dalam kamar.
Pada beberapa hotel di kabupaten lain di Sulsel, kerap kita tak bisa tidur nyaman karena kadang selimut tak harum, sepresi yang bikin gatal hingga kamar mandi yang tak sedap dan tak tersedia sabun. Tapi ini sungguh luar biasa. Saya yang tanpa persiapan trip bisa nyaman di sini.
Poin yang saya ingin garistebali adalah Kota Soppeng layak jajal. Penginapannya sangat layak.
Di lobby hotel, saat saya bersiap ke lokasi acara penanaman pohon di Kelurahan Ujung, Kecamatan Lilirilau, saya bertemu rombongan Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Makassar, ada beberapa kawan lama dan kami saling sapa. Tidak lupa foto-foto.
Pembaca sekalian, hotel ini sangat layak dijajal jika anda bepergian ke Kota Watangsoppeng. Lokasinya di depan Kantor Mapolres Soppeng.
Kedua, meski hanya melintas pada beberapa ruas jalan kota, saya terkesan dengan pemandangan dalam kota, apalagi ada Masjid Raya Kota Watangsoppeng yang serba putih. Ini terlihat agung dan meneduhkan mata.
Tidak seperti masjid di kabupaten lain di Sulsel yang boros warna, di sini, masjid hanya tampil satu warna.
Di sekitar kompleks masjid pun, taman kota, ruang publik, jalan raya, tertata dengan rapi tanpa ada semacam ‘klaster’ kaki lima atau tempat-tempat yang tidak beraturan atau kumuh.
Maksud saya, kota ini punya magnit untuk dijadikan tujuan jalan santai atau sekadar mencari angin tanpa terganggu kesan kumuh atau gaduh.
Ketiga, dari beberapa ruas jalan atau pedalaman kota Warangsoppeng, saya merasakan aura taman, atau halaman rumah yang penuh dengan kembang atau bunga-bunga.
Pemandangan ini sepertinya sebangun dengan trend di banyak kota tentang warga yang doyan pelihara bunga.
Di salah satu sudut kota, kami mampir dan menikmati suguhan kopi, pisang goreng dan barongko. Yang bikin adem adalah pemandangan di pekarangan rumah panggung yang aduhai. Coba lihat di foto atas.
Meski sedang trending cinta bunga di banyak kota, Watangsoppeng pengecualian, ada banyak pohon dalam kota, rumah-rumah dengan pekarangan luas, termasuk rumah panggung yang masih banyak ditemui. Pendek kata, Watangsoppeng sungguh memukau.
Keempat, saya menyaksikan lansekap yang hijau, warga yang antusias di kebun atau persawahan. Ini menjadi bonus saat melintasi pusat kota dan mengerah ke poros Maros via Lapri Bone.
Saya kira, jika ada ingin rekreasi, memanja mata dengan suasana agraris, pertanian atau perkebunan, maka Soppenglah tempat yang pas.
Di sini kita bisa memilih desa-desa atau kecamatan yang masih mempunyai petakan sawah yang asri, tata irirasi yang masih aktif dan efektif serta penerimaan warga yang hangat.
Saya bisa membaca ini saat berinteraksi dengan beberapa warga Kelurahan Ujung, Lilirilau.
Kelima, saya masih menemukan warga yang masih mengolah kakao di Kelurahan Ujung, Lilirilau. Ini penting sebab di daerah lain kakao seperti mati segan hidup tak mau.
Yang saya ingin bilang, kakao masih menjadi sandaran hidup warga di sini. Menurut kawan yang aktif pendampingan kakao, Soppeng adalah salah satu lokasi dampingan yang prospektif dalam pembangunan ekonomi masyarakat dengan berbasis kakao.
Harga kakao kering di sini antara 25 ribu hingga 30 ribu per kilo. Harga ini sudah sangat pantas di tengah kelesuan kakao Indonesia. Saya menyaksikan biji-biji kakao yang sehat, besar dan memberi harapan untuk warga setempat.
Keenam, jangan upa untuk menikmati barongko di Soppeng atau sampaikan ke teman di sana untuk disiapkan pisang goreng dari kebun terbaik. Rumah-rumah makan legendaris pun ada.
Kalau ada waktu pastikan untuk mampir di Warung Sederhana di Kota Cabbenge untuk menjajal sajian ayam kampung goreng nan maknyus! Supnya mantap, sambel kacangnya aduhai.
Nah, kalau balik ke Makassar via Cabbenge atau arah Lapri Bone, pastikan untuk mampir di Kedai Sibuh untuk order bolu cukke dan tape Bugis. Sungguh, ini akan menggenapkan kesan manis tentang Soppeng.
Duh, Soppeng yang memesona dan ngengenin!
Penulis: K. Azis
Tamarunang, Gowa, 4 Januari 2020