PELAKITA.ID – Ada yang menarik pada diskusi kelompok terpumpun (DKT) atau Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Hasanuddin (UNHAS).
Kehadiran Prof. Dr. dr. Abd. Razak Thaha, M.Sc menjadi berbeda karena memompa semangat para pengurus lembaga kemahasiswaan dalam kampus Unhas untuk segera berbenah.
Guru Besar Unhas yang biasa disapa Prof Atja ini hadir pada acara yang digelar selama 2 hari, dari tanggal 14 hingga 15 November 2020 di Makassar.
Pesertanya adalah perwakilan organisasi kemahasiswaan dalam lingkup UNHAS dengan harapan untuk bersinergi dan berkolaborasi demi mendukung lembaga mahasiswa tingkat universitas.
Apt. Anshar Saud, S.Si, M.Farm, Anggota Pokja Kemahasiswaan Unhas yang memoderasi sesi Prof Atja menyebut bahwa FGD ini dihadiri oleh lembaga kemahasiswaan perwakilan fakultas yang telah berkomitmen bergabung di lembaga kemahasiswaan tingkat universitas.
“Masing-masing sebanyak 2 mahasiwa per fakultas mewakili lembaga kemahasiswaan tingkat fakultas yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM),” katanya kepada Pelakita.ID, 16 November 2020.
Menurut Anshar, kegiatan difasilitasi oleh Pokja Lembaga Kemahasiswaan UNHAS dan juga diikuti para Wakil Dekan bidang Kemahasiswaan dan Alumni dalam lingkup UNHAS, ketua dan sekretaris Badan Pekerja Musyawarah Mahasiswa UNHAS serta Presidium Sidang Musyawarah Mahasiswa UNHAS tahun 2020.
Sebelum paparan Prof Atja, Prof. Dr. drg. A. Arsunan Arsin, M. Kes selaku Wakil Rektor UNHAS bidang kemahasiswaan dan alumni memberi sambutan serta memaparkan kebijakan pengembangan organisasi mahasiswa UNHAS.
Penjelasan Prof Atja
Peserta terlihat antusias saat mengkuti sesi Prof Atja. Mantan Ketua Dewan Mahasiswa (DEMA) UNHAS tahun 1977. “Organisasi mahasiswa pada hakikatnya adalah sebuah organisasi pembelajaran (learning Organization/LO),” kata Prof Atja.
Dia pun menyitir pendapat Peter Senge dalam The Fifth Discipline; The Art and Practice of the Learning Organization (1994). Yang berisi penekanan bahwa ada organisasi (mahasiswa) yang tidak dapat lama bertahan hidup karena adanya hambatan untuk belajar; umumnya disebabkan oleh tujuh penyakit.
Pertama, I am my position – dengan disabilitas ini, unit individu dalam organisasi terlalu fokus pada posisi dan tanggung jawab mereka sendiri, sehingga kehilangan gambaran yang lebih besar dan persatuan.
Lalu yang kedua adalah “the enemy is out there” – kecacatan ini akan selalu memungkinkan kita menemukan agen eksternal untuk disalahkan (“tidak ada yang bisa menangkap bola di lapangan terkutuk itu”, “mereka mengkhianati kita”)
Ketiga, the illusion of taking charge – ketika reaktivitas disalahartikan sebagai proaktivitas
Keempat, the fixation on events – saat percakapan dan media didominasi oleh peristiwa jangka pendek, yang mengarah ke penjelasan “peristiwa” (bukan penjelasan “pola” yang menggambarkan peristiwa jangka panjang)
Kelima, the parable of the boiled frog – di mana kita tidak melihat perubahan bertahap, seperti katak di dalam panci akan bersantai hingga mengantuk karena airnya dipanaskan perlahan-lahan.
Keenam, the delusion of learning from experience – karena beberapa efek berada di luar batas kesadaran kita saat ini (misalnya, efek dalam waktu, efek non-linier), kita tidak mengalami banyak efek dari tindakan kita.
Ketujuh, the myth of the management team – dengan kecacatan ini, manajemen melindungi dirinya dari ancaman terlihat tidak pasti atau tidak peduli dalam menghadapi penyelidikan kolektif, yang mengakibatkan “ketidakmampuan terampil” (“orang yang sangat mahir dalam menahan diri untuk tidak belajar”)
Prof Atja mengajak peserta untuk membuka hati dan pikiran, untuk menerima dan menerapkan lima disiplin manajemen organisasi, yaitu personal mastery, mental models, team learning, shared vision; dan systems thinking
Apa yang dipaparkan oleh Prof Atja tersebut relevan dengan konteks LO dimana kampus Unhas mesti diupayakan menjadi tempat dimana setiap orang terus-menerus mengembangkan kapasitas mereka.
Untuk apa? Untuk menciptakan hasil yang benar-benar mereka inginkan, dimana pola pikir yang baru dan luas senantiasa dipupuk, aspirasi kolektif dibebaskan dan setiap orang terus-menerus belajar bagaimana belajar bersama.
Upaya mengkreasi ini senada dengan anjuran Ikujiro Nonaka yang menciptakan istilah Knowledge Creating Companies. Ini disinggung pula dalam FGD tersebut.
Professor ‘knowledge management’ asal Jepang yang sering dirujuk lembaga pembangunan internasional seperti JICA ini telah menggariskan bahwa LO sebagai tempat dimana “menemukan pengetahuan baru bukanlah aktivitas yang khusus, melainkan cara berperilaku, cara berada dimana setiap orang adalah merupakan pekerja pengetahuan”.
Terkait itu, Prof Atja dalam bagian penutup paparannya mengajak agar lembaga mahasiswa UNHAS duduk bersama, saling jujur, percaya dan mendengarkan seperti halnya DEMA/ SMUH di tahun-tahun 60-an hingga 90-an.
Seperti halnya syariat, hakikat, dan makrifat, di dalam LO ada tahap-tahapan juga.
“Yaitu setiap lembaga mahasiswa mesti memulai dengan belajar berbicara jujur secara terbuka, kemudian saling belajar mendengarkan, dan terakhir belajar untuk menerima tanpa syarat,” katanya.
Dengan paradigma BEM UNHAS sebagai organisasi pembelajaran, maka ia akan menjadi yang salah satu yang terbaik. “Persoalannya adalah bukan bisa atau tidak bisa. Tetapi apakah mau atau tidak mau,” kuncinya.
Editor: K. Azis