Konsep LME dan Indonesian Seas Large Marine Ecosystem (ISLME) adalah konsep global tentang pendekatan lingkungan untuk menjajaki, mengelola, memulihkan dan melesaritkan sumber daya laut dan lingkungan di sekitarnya.
Dr Muhammad Lukman, NPO GEF/FAO ISLME Project
PELAKITA.ID – Universitas Hasanuddin (UNHAS) melalui Bidang Kemahasiswaan dan Alumni menyelenggarakan webinar nasional bertema “Pemanfaatan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) untuk Ketahanan Pangan Nasional dan Penciptaan Lapangan Kerja Bagi Lulusan Perguruan Tinggi”.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengutus Ir. Kamarijah, M.Si., (Pengelola Produksi Perikanan Tangkap Ahli Madya, Sub-direktorat Pengelolaan Sumberdaya Ikan (SDI) sebagai narasumber. Hadir pula Dr. Ir. St. Aisjah Farhum, M.S., (FIKP Unhas), Dr. Muhammad Lukman (GEF/FAO ISLME Project) dan Dr. Naslina Alimina, S.Pi., M.Si., (FPIK Universitas Haluoleo, Kendari).
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Unhas, Prof. Dr. drg. A. Arsunan Arsin, M.Kes saat membuka acara menyebut bahwa kegiatan ini digelar dalam rangka perayaan World Food Day (WFD) 2020 yang membahas isu ketahan pangan pada sektor perikanan, serta peluang lapangan kerja berbasis kelautan dan perikanan.
“Sejumlah kebijakan telah dikeluarkan, utamanya dalam sektor perikanan Indonesia dengan potensi yang dimiliki untuk mendukung ketahanan pangan nasional,” katanya.
“Kami berharap kegiatan ini dapat memberikan saran dan informasi, sekaligus memberikan peluang kepada para mahasiswa maupun alumni Unhas untuk mempersiapkan diri terlibat dalam pengelolaan perikanan Indonesia,” jelas Prof. Arsunan.
“Potensi yang dimiliki tersebut tentu perlu pengelolaan sumber daya ikan secara berkelanjutan, dengan mengadopsi konsep Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM), dan Ecosystem Approach to Aquaculture (EAA) serta mendorong praktik perikanan berskala kecil. Hal ini diperlukan sebab saat ini Indonesia memiliki 11 WPP,” sebutnya.
Paparan NPO GEF/FAO ISLME Project
Relevan dengan pernyataan Prof Arsunan, Dr. Muhammad Lukman menyebut bahwa kebutuhan protein dunia meningkat dan merupakan peluang bagi segenap elemen bangsa untuk memaksimalkan upaya.
“Dalam laporan World Fisheries and Aquaculture SOFIA 2020 oleh FAO, Indonesia disebut memiliki konsumsi ikan kurang lebih 51 kg perkapita, produksi total kurang lebih 23,1 juta, perikanan tangkap 6,7 juta, budidaya 15,8 juta,” sebutnya.
Dia juga menjelaskan ikhtiar dunia melalui konsep LME dan Indonesia Sea Large marine Eosystem (ISLME). “Ini merupakan konsep global tentang pendekatan lingkungan untuk menjajaki, mengelola, memulihkan dan melestarikan sumber daya laut dan lingkungan di sekitarnya,” katanya.
“Ecosystem based-management merujuk ke NOAA 1984, dimana ada 66 Large Marine Ecosystem. Ini meliputi perairan pantai, laut teritorial dan ZEE. Indonesia ada di tingkat ke 38,” ucapnya. NOAA adalah lembaga berbasis di Amerika yang fokus pada keantariksaan, bumi, lautan.
Terkait LME, doktor lulusan Jerman ini menyebut ada dua aspek penting terkait pendekatan. “Pertama, batas wilayah, meliputi penekanan pada aspek ekologi ketimbang ekonomi dan politik. Kedua, strategi modul yang meliputi pengukuran perubahan-perubahan, aksi remedial untuk pemulihan dan keberlanjutan,” ungkapnya.
Dia juga menyebutkan lima modul strategi sebagai hal yang direkomendasikan untuk diperiksa.
“Yaitu, indikator produktivitas, indikator kesehatan ekosistem dan polusi, indikator sumber daya ikan dan usaha perikanan, indikator sosial ekonomi serta indikator tata kelola atau governance. Kita membutuhkan banyak pengetahuan, sains, perlu berpikir, untuk suatu model pengelolaan perikanan di kawasan ISLME,” sebut alumni Ilmu dan Teknologi Kelautan Unhas ini di depan tidak kurang 150 peserta webinar.
Untuk mengisi gap kebutuhan pangan dunia, untuk memaksimalkan fungsi strategis dan keekonomian kawasan LME atau ISLME yang ada di dua wilayah yaitu Indonesia dan Timor-Leste, Dr Lukman menyatakan perlunya riset yang kontekstual.
“Pengelolaan itu, tidak ada itu hitam putih, di-adjustable, dan adaptif, tidak ada konsep manajemen penuh tetapi ini semua dibangun dengan kerangka berpikir sesuai kebutuhan zaman,” ucap salah satu peserta penelitian oseanografi di Antartika pengujung tahun 90-an.
Fakta perikanan dunia dan gagasan LME
Untuk menggugah kesadaran, pengetahuan dan minat mahasiswa, alumni dan praktisi kelautan dan perikanan, Dr Lukman Total menggambarkan trend hasil tangkapan ikan dunia.
“Jumlahnya mencapai 96,4 juta ton, ini tumbuh sekitar 5,4 persen, rata-rata dalam tiga tahun terakhir,” sebutnya. “Sementara total hasil budidaya mencapai 82,1 juta ton, ini tumbuh 5,3 persen, pada rerata tiga tahun terkahir, atau naik 37 persen sejak 2006.”
Dia juga menjelaskan bahwa budidaya perairan umum (darat) sangat mendominasi terkait produksi perikanan dunia itu.
“Produksi ikan konsumsi 62,5 persen, budidaya laut lebih banyak ikan karang dan udang-udangan. Keseluruhannya mencapai 178,5 juta ton. Berapa tingkat konsumsi ikan dunia? 20,5 kg per kapita, sementara penduduk dunia kurang lebih 7,8 miliar, jumlah ini tumbuh 1,05 persen pertahun,” katanya.
Untuk memastikan keberlangsungan ekosistem dunia sebagai penyedia pangan, sebagai wahana sosial ekonomi lintas negara dan sekaligus cadangan sumber daya atau plasma nutfah bumi, maka masyarakat internasional melalui konsep LME dan Indonesia Sea Large marine Eosystem (ISLME) memandang perlu adanya pendekatan atau strategi.
“LME adalah konsep global tentang pendekatan lingkungan untuk menjajaki, mengelola, memulihkan dan melesaritkan sumber daya laut dan lingkungan di sekittarnya. Ecosystem-based management merujuk ke NOAA 1984, dimana ada 66 LME. Ini meliputi perairan pantai, laut teritorial dan ZEE. ISLME Indonesia ada di peringkat 38,” jelasnya.
Menurut Dr Lukman, ada dua aspek penting terkait pendekatan LMA.
“Pertama, batas wilayah, meliputi aspek ekologi ketimbang ekonomi dan politik. Kedua, modul startegi meliputi pengukuran perubahan-perubahan, aksi remedial untuk pemulihan dan keberlanjutan,” sebutnya.
Lima modul strategi inilah yang menjadi penekanan, arahan dan upaya ISLME Project untuk menjawab harapan dunia termasuk Pemerintah Indonesia tersebut.
“Lima modul strategi ini adalah indikator produktivitas, indikator kesehatan ekosistem dan polusi, indikator sumber daya ikan dan usaha perikanan, dan indikator sosial ekonomi serta indikator tata kelola atau governance,” papar Lukman.
“Kita membutuhkan banyak pengetahuan, sains, berpikir, untuk suatu model perikanan, dan ISLME membantuk untuk merisetnya,” katanya.
Untuk mengisi gap kebutuhan pangan dunia, untuk memaksimalkan fungsi strategis dan keekonomian kawasan LME atau ISLME yang ada di dua wilayah yaitu Indonesia dan Timor-Leste, Dr Lukman menyatakan perlunya riset yang kontekstual.
“Pengelolaan itu, tidak ada itu hitam putih, di-adjustable, dan adaptif, tidak ada konsep manajemen penuh tetapi ini semua dibangun dengan kerangka berpikir sesuai kebutuhan zaman,” ucapnya salah satu peserta penelitian oseanografi di Antartika ini.
Dr Lukman menjelaskan kepada peserta bahwa secara keseluruhan, tujuan proyek ISLME adalah memfasilitasi implementasi pendekatan ekosistem untuk perikanan dan pengelolaan pesisir melalui (EAFM/EBM) seperti disampaikan Prof Arsunan tadi.
“Untuk memastikan pembangunan sumber daya secara berkelanjutan dalam area Indonesian Sea Large Marine Ecosystem melalui TDA dan SAP,” ucapnya. TDA adalah singkatan dari Transboundary Diagnostic Analysis sementara SAP adakah Strategic Action Plan.
Proyek ISLME didukung oleh GEF/FAO dengan nomor GCP/RAS/289/GFF, dengan nama Enabling Transbounday Cooperation for Sustainable Management of the Indonesia Seas (ISLME Project) selama 4 tahun 2018-2021.
“Jadi cakupannya mewakili 4 aspek pada beberapa lokasi proyek. Keempatnya adalah EAFM yang meliputi FIP, harvest strategy, penjajakan EAFM, penataan data informasi melalui e-logbook, capacity building,” tandasnya.
“Kalau EAA meliputi implementasi EAA, blue growth dan restocking (IMTA), lalu ada MCS untuk memerangi IUUF serta compliances yang ada, keempat MPA/MSP, lalu ada perbaikan habitat melalui review kebijakan, menyelaraskan perencanaan spasial dan sumber daya melalui sinkronisasi MMA dan MPA, lalu memerangi sampah laut,” papar Dr Lukman.
Apa yang menjadi pokok bahasan webinar kali ini yang menyorot WPPNRI sangat relevan dengan agenda dan target ISLME Project yang menyasar 4 WPP di wilayah Indonesia dan Timor-Leste.
“Jadi ada empat penedekatan pengelolaan di lokasi proyek, EAFM, EAA, MPA/MSP dan MCS untuk pengelolaan lingkungan, pertumbuhan biru (blue growth), pengarusutamaan gender, kesejahteraan. lokasi di WPP 712, 713, 714, 572,” ungkapnya.
Ide ini menurut Dr Lukman bermuara pada kontbusi proyek pada target Global Environment Facility. Proyek akan dan sedang mengembangkan manfaat lingkungan global yang relevan pada International Waters (IW3) program.
“Pertama, adanya dan diterimanya TDA dan SAP seperti disebutkan di atas yang disiapkan untuk kawasan ISLME regional. Kedua, mendukung pengelolaan pesisir terpadu melalui perencanaan spasial pantai dan laut pada 7 lokasi pilot,” lanjutnya.
“Lalu berlangsungnya praktik di lokasi dalam adopsi atau implementasi EAFM dan EAA. Adanya kerjasama yang mendayagunakan habitat pada lokasi terpilih, dan partisipasi pada kerjasama masyarakat global dan regional IW Learn untuk bagi pengalaman dan pengetahuan. Ini terkait perairan internaisional dan isu-isu LME. Poin-poin ini mewujud pada tiga komponen proyek ISLME,” jelasnya.
Pria yang juga pernah bekerja di Coral Triangle Initiative (CTI) ini menyimpulkan bahwa secata umum, pengelolaan perikanan dunia terutama Indonesia masih membutuhkan banyak intervensi pengelolaan.
“Semua domain ISLME Project untuk peningkatan kapasitas dalam menjawab tantangan sekaligus peluang. Komoditas yang sudah dijajaki adalah rajungan, kepiting bakau, lobsetr, kerapu, kakap dengan melibakan perguruan tinggi seperti Unlam, Unram, IPB hingga Unhas atas dukungan penuh KKP,” katanya.
“Kesemuanya menyasar adopsi EAFM pada sumber daya perikanan, tata kelola habitat, sosial ekonomi dan tenik peningkapan ikan. Indiktor EAFM merupakan hasil Kepmen Dirjen Perikanan Tangkap, KKP bernomor 18/KEP, 2014. Di situ, ada 32 indikantor yang perlu diperiksa,” tuturnya.
Satu poin penting yang juga dielaborasi adalah konsep Glue Growth. “Ini berinisiatif mencari, mengurangi dampak negatif lingkungan dan sosial dari intensifikasi budidaya sekaligus mempromosikan teknologi pembesaran yang inovatif,” katanya.
Substansinya, kata Lukman, adalah mengadospi praktik pengelolaan atau budidaya yang baik, memperbaiki dan menjajaki perbaikan pembudidaya miskin di perdesaan untuk dapat mengakses input dengan cepat dan adil.
“Termasuk mengadopsi teknologi berkelanjutan dan pasar untuk produtivitas yang efisien, dan secara ekonomi efisien. Memperbaiki pengelolaan mangrove, perairan, daratan, dan wilayah tangkapan yang akan berkontribusi pada budidaya intensif dan berkelanjutan,” jelasnya.
Untuk itu, kata Dr Lukman, kegiatan yang diusulkan menitikberatkan pada inovasi, ada perencanaan berbasis EAA serta adopsi Integtrated Marine Tropical Aquaculture (IMTA). “Di WPP potensi kita sangat besar, besar dalam pengetian besar dan prospektif,” tegasnya.
893 triliun dari perikanan?
Sebelum mengakhiri paparannya, Dr Lukman mengutak-atik angka produksi perikanan dunia dan relevansinya dengan nilai ekonomi untuk Indonesia.
“Budidaya tumbuh 5,3 persen, perikanan tangkap tumbuh 5,4 persen dan pertumbuhan populasi 1,05 persen per tahun,” katanya.
Dia memaparkan pertumbuhan penduduk dunia, 1,05 persen dari 7,8 milar penduduk dunia. “Jadi penduduk tumbuh 81,9 juta penduduk per tahun sementara konsumsi dunia sebesar 20,5 kg per kapita, produksi ikan dunia 178,5 juta ton,” katanya sembari menunjukkan gambaran asumsinya.
“Jumlah kebutuhan ikan berdasarkan jumlah angka pertumbuhan, kira-kira, ca 160 juta ton. Asumsi nilai harga, contoh 30 ribu per kg ikan (produk lainnya), nilai ekonomi dunia 178,5 juta ton adalah Rp. 5,355 triliun. Kontribusi Indonesia 13 persen sementara produksi nasional 23,3 juta ton. Jadi ini setara 893 triliun pertahun,” ucapnya.
“Asumsi ekonomi tambahan berdasarkan potensi pertambahan penduduk dunia sebesar 1,5 juta ton per tahun atau setara Rp 48 trililun. Potensi ekonomi tambahan dari 13 persen produksi dunia, sebesar Rp. 6,2 triliun. Ini hitungan sederhana asumsi konvensional,” pungkasnya.
Wow! Selamat Hari Pangan Dunia 2020!
Penulis: Tim Pelakita.ID