PELAKITA.ID – Organisasi PBB yang mengurusi kepariwisataan dunia UNWTO melaporkan bahwa terdapat kesenjangan upah yang terjadi di sektor pariwisata di mana perempuan hanya mendapatkan 30,07 persen lebih kurang daripada laki-laki.
Lantara itu, Women in Tourism Indonesia (WTID) sebagai platform utama yang mempromosikan kesetaraan gender melalui dunia pariwisata menggelar diskusi daring terkait isu di atas pada 1 Agustus 2020.
Diskusi daring ini digelar oleh WTID bersama Conservation International Indonesia (CI), sebuah organisasi yang melindungi keanekaragaman hayati bumi. Mereka berkolaborasi demi mengangkat peran perempuan dalam menghadapi peluang dan tantangan pariwisata di Indonesia.
Penyelenggaraan talkshow tersebut berlangsung sukses dan menegaskan bahwa perempuan yang terlibat dalam sektor pariwisata tidak hanya berada dalam ranah domestik tetapi juga ranah publik seperti pada lingkup kebijakan, manajemen, bisnis, hingga organisasi.
Ada delapan narasumber yang telah berbagi. Mereka berasal dari berbagai latar belakang seperti organisasi nirlaba, industri, dan pelaku bisnis. Salah seorang narasumber pada kegiatan tersebut adalah Radempta Tete Bato dari Sumba. Radempta adalah chairwoman Sumba Hospitality Foundation.
Menurut Redempta, di Sumba Hospitality Fundation ada beberapa siswa perempuan yang mereka perkuat, difasilitasi untuk punya kompetensi dalam mengelola sumber daya kepariwisataan di Sumba.
“Kita mau menunjukkan bahwa masyarakat di lokasi wisata bisa terlibat secara aktif, bukan pelengkap. Perlu dipersiapkan. ibu-ibu kampung, komunitas desa pariwisata, ini advokasi bersama negara,” kata Radempta.
Terkait partisipasi perempuan Sumba dalam pengelolaan pariwisata atau sumber daya keseluruhan diakuinya sangat rendah dan inilah yang perlu diangkat.
“Di Sumba, pariwisata berkelanjutan kuncinya di kemiskinan,” tegasnya. Dia juga menyebut bahwa jika wisata dikembangkan maka peluang terbukanya lapangan kerja sangat besar.
“Sumba Hospitality Fundation bergerak di pendidikan vokasi masyarakat, pada bidang hospitality dan keberlanjutan usaha pariwisata. Kami melakukan pemberdayaan masyarakat, mempertahankkan budaya dan menjaga lingkungan,” tambahnya.
Di SHF terdapat 60 anak didik, dari 4 kabupaten di Pulau Sumba. “Jadi Sumba punya potensi pariwisata besar, kekayaan budaya dan alam. Namun , kemiskinan, human trafficking, masih ada. Sumba penyumbang pekerja illegal di NTT padahal hotel terbaik di dunia itu ada di Sumba,” ucapnya.
Terkait pekerjaan, banyak perempuan tidak masuk atau tidak dianggap dalam peran di tengah masyarakat terutama pariwisata. Motif di balik kontribusi Redempta di SHF adalah karena adanya realitas bahwa masih banyak warga yang menganggap bahwa perempuan Sumba tak mesti ke garis depan pariwisata.
“Tantangannya, menarik ketika kami melihat banyak anak-anak perempuan yang tidak bekerja karena pandangan orang tua mereka. Banyak orang tua mereka bilang ini bukan perempuan, hotel bukan tempat untuk perempuan Sumba,” katanya.
Yang dilakukan Redempta bersama SHF adalah memberikan sosialisasi dan menjelaskan bahwa perempuan punya kesempatan sama dengan anak lelaki. “Mereka berhak sekolah tinggi. Memang, lebih banyak anak laki-laki, susah, macam-macam dan segala macamlah asalannya, termasuk sekolah hotel yang tidak lazim bagi masyarakat Sumba,” katanya.
Karena itu, menurut Redempta, anak-anak perempuan tidak percaya diri. “Jadi sudah terkonstruksi. Itu menjadi tantangan yang tidak sedikit, satu-satunya cara untuk bisa keluar adalah bahwa kemiskinan bisa diubah,” imbuhnya.
“Ini bukan takdir menjadi msikin, kedua, pendidikan adalah caramu keluar dari kemiskinan, jadi hebat tanpa berpikir bahwa saya perempuan.” kata Redempta mengulang pernyataannya kepada perempuan Sumba melalui program SHF.
Di SHF, mereka belajar bersama, dan menjadi berdiri, bersuara atas nama perempuan dan atas nama banyak orang. “Solusinya, kami masukan aspek gender dalam life skill training kami termasuk pelibatan komunitas adat,” ucap Redempta.