PELAKITA.ID – Isu pesisir laut Kota Makassar atau Sulsel secara umum selalu menarik perhatian publik. Menjadi kota terdepan di timur Indonesia membuat Kota Makassar selalu bersinggungan dengan isu-isu ‘panas’ dalam penggunaan ruang dan material konstruksi, salah satunya pasir.
Faktanya, saat ini praktik ambang pasir laut di Sulawesi Selatan berlangsung hebat. Beberapa pihak menyebutnya sebagai lahan bahas mengeruk rupiah tapi bagi aktivis lingkungan sebagai pintu masuk ke prahara ekologi.
Hal tersebut disampaikan oleh Yusran Nurdin Massa saat dimintai pendapat tentang dimensi tambang pasir di Sulsel, terutama di pesisir laut Kota Makassar.
“Hemat saya, seperti saya sampaikan ke media-media lain, tambang pasir terus berlangsung, terus dilakukan, jika proyek-proyek reklamasi di Makassar yang membutuhkan jumlah pasir laut dalam jumlah besar masih terus berjalan dan tidak dihentikan,” kata Yusran kepada Pelakita.ID, 15 Juli 2020.
Dia beharap ada upaya para pemangku kepentingan terutama pengambil kebijakan Pusat dan Provinsi untuk meninjau kembali proyek-proyek reklamasi yang hendak dijalankan di Sulawesi Selatan, utamanya di Kota Makassar.
Salah satu yang disorot Yusran adalah proyek raksasa Makassar New Port (MNP). “Ini mencapai 1.428 hektare dan akan dilakukan dalam 4 tahapan sampai 2025,” sebutnya.
Jadi, lanjut Yusran, kebutuhan pasir untuk reklamasi ini pasti sangat besar. “Sulit dipenuhi dari material daratan saja,” imbuhnya.
Yusran membaca adanya bencana ekologis jika proyek itu jalan terus karena membutuhkan material dalam jumlah besar, dari daratan, hingga dasar lautan. “Jadi jelas, sumber masalahnya adalah pembangunan atau reklamasi karena butuh timbunan dalam jumlah besar,” katanya.
Di catatan Yusran, jika proyek CPI yang seluas 157,23 hektar membutuhkan pasir laut sebanyak 12 juta kubik maka bisa dibayangkan banyaknya pasir laut yang akan di keruk dari konsesi tambang pasir laut. Sementara untuk MNP akan berlangsung hingga 2025.
Di pandangan Yusran, proyek lainnya direncanakan dalam zona jasa dan perdagangan yang secara khusus mengakomodir rencana dan proyek reklamasi di Makassar seluas 3.133.29 Hektar sebagaimana tertuang dalam RTRW Kota Makassar dan RZWP3K Provinsi Sulawesi Selatan.
“Kebutuhan material reklamasi berupa pasir laut atau darimana pun sumbernya lebih besar lagi. Bencana ekologi dari sumber material pasir akan mengancam dan terjadi jika proyek-proyek reklamasi ini direalisasikan,” tandasnya.
Untuk mengatasi persoalan ini dia berharap adanya peninjauan ulang alokasi ruang reklamasi dan rencana proyek-proyek reklamasi di Kota Makassar segera dilakukan.
“Momentumnya sedang terbuka saat ini dengan masuknya fase evaluasi 5 tahunan RTRW Kota Makassar,” kata alumni Kelautan Unhas ini.
Bagi Yusran, dokumen rencana inilah yang memberi alas legal bagi proyek reklamasi dan kemudian juga diakomodasi dalam RZWP3K Provinsi Sulawesi Selatan.
“Saatnya untuk merevisi dan menghilangkan alokasi ruang reklamasi dalam RTRW dan RZWP3K sebagai sumber persoalan dan keresahan nelayan akan ruang hidupnya yang terganggu,” tutupnya.