Kiprah Fadly ‘Padi Reborn’ dan Ikhtiar Menanam Harapan di Makassar

  • Whatsapp
Penulis bersama fady 'PADI Reborn'

Oleh Muliadi Saleh
Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan

PELAKITA.ID – Ditemani hembusan angin sore Pantai Losari, di salah satu sudut Makassar Creative Hub, saya berkesempatan berbincang dengan Andi Fadly Arifuddin—yang lebih kita kenal sebagai Fadly “Padi Reborn”—dalam kapasitasnya sebagai Tim Ahli Program Urban Farming Kota Makassar.

Meski pertemuan kami singkat, diskusinya sungguh bermakna.

Kami membahas hakikat urban farming, budaya pangan, modal sosial, gerakan kembali ke dapur, hingga tanah yang kini tak sekadar pijakan, tapi sumber kehidupan.

Dalam perbincangan itu, saya menangkap kepedulian yang dalam, kegelisahan yang jujur, dan kecerdasan yang tajam. Terlebih, saya melihat kemauan kuat untuk berbuat. Kota bisa ditanam. Dan harapan bisa tumbuh, bahkan dari halaman yang sempit.

Fadly kini bukan hanya seorang musisi—ia juga seorang petani jiwa, yang menyiram kota dengan ide dan kerja nyata. Sayang jika ide-ide brilian itu hanya menguap. Maka saya abadikan sebagian dari percakapan kami dalam tulisan ini.

Kini, banyak kota dikepung oleh deru kendaraan dan kabut polusi. Di tengah kegelisahan kolektif itu, sebagian orang memilih diam, sebagian bersuara lewat media, dan sebagian lagi memilih menanam.

Dari sebuah pot kecil berisi tanah, harapan mulai bertunas. Daun hijau mungil menyembul pelan, seolah menyapa dunia yang perlahan melupakan makna paling mendasar dari kehidupan: menanam. Inilah cara memuliakan tanah dengan cara yang beradab.

Urban farming bukan lahir dari kemewahan—bukan dari luasnya lahan atau canggihnya peralatan. Ia lahir dari kesadaran yang sederhana namun mendalam: bahwa kota pun berhak hidup sehat, berhak makan dari hasil tangan sendiri, dan berhak kembali akrab dengan tanah.

Di antara beton dan baja, urban farming hadir bak doa yang disiram embun pagi—diam-diam mengubah wajah kota menjadi lebih segar, lebih mandiri, lebih manusiawi.

Di pekarangan sempit yang dulunya hanya tempat menjemur pakaian, kini tumbuh tanaman sayur dalam polybag. Rak-rak hidroponik berdiri rapi.

Di atap kos-kosan mahasiswa, kangkung dan bayam tumbuh dalam botol bekas. Di sisi masjid dan taman bermain, ibu-ibu membibitkan tomat sambil bercerita tentang dapur, anak-anak, dan harga minyak goreng. Urban farming bukan lagi wacana—ia telah menjadi gerakan.

Ini bukan sekadar usaha mempercantik kota, tetapi ikhtiar untuk memperbaiki relasi manusia dengan pangan, dengan lingkungan, dan dengan sesamanya.

Lihatlah seorang anak kecil yang menggenggam cangkul mainan, menanam cabai di pot tanah liat. Ia mungkin belum tahu, tapi tindakannya adalah bagian dari revolusi diam-diam.

Di era digital yang serba instan, urban farming mengajak kita berhenti sejenak, menyentuh tanah, mencium aroma humus, dan bersyukur atas proses. Makanan tidak tumbuh di rak swalayan—melainkan dari kerja sabar akar dan daun, dari air yang mengalir, dan dari matahari yang setia.

Urban farming juga menjembatani hubungan antarwarga. Di taman-taman komunitas, percakapan bukan lagi seputar gosip atau politik, tapi tentang kompos, waktu panen, dan inovasi pertanian perkotaan.

Dari balkon ke balkon, dari gang ke gang, lahir jejaring sosial baru yang berakar pada kebersamaan dan ketahanan.

Di sinilah tumbuh modal sosial yang kuat—tak bisa dibeli dengan uang, melainkan lahir dari cinta dan rasa memiliki.

Lebih dari itu, urban farming juga menghadirkan ruang spiritualitas. Ia menyentuh lebih dari sekadar perut—ia menyentuh jiwa.

Nabi Muhammad SAW bersabda, siapa pun yang menanam pohon dan darinya dimakan burung, binatang, atau manusia, maka itu menjadi sedekah. Maka, setiap biji yang ditanam di kota adalah bentuk ibadah yang tak selalu tampak, tapi menebar berkah.

Hari ini, kota sering kali terasa asing bagi penghuninya sendiri. Hubungan manusia dan alam kian menjauh. Kita hidup di antara tembok dan layar, lupa bahwa tanah adalah ibu yang setia.

Urban farming hadir sebagai pelipur, membawa kembali kehangatan relasi dengan bumi, sekaligus membuka peluang ekonomi mikro di tengah keterbatasan lahan.

Jangan remehkan sebatang serai di pojok balkon, atau pot plastik berisi daun bawang di sudut kamar mandi.

Mereka adalah simbol harapan—simbol bahwa kita bisa bertahan, bahwa kota bisa tumbuh dengan cara yang lain: lebih hijau, lebih sehat, lebih adil.

Di tengah ancaman krisis pangan global, pemanasan iklim, dan gaya hidup instan yang melenakan, urban farming menjadi suara sunyi yang berseru: kembali ke tanah, kembali ke akar, kembali ke kehidupan. Sebab di dalam tanah, tak hanya benih yang tumbuh, tapi juga kesadaran.

Dan mungkin, dari pot kecil itu, bukan hanya selada yang tumbuh—tapi juga masa depan yang lebih baik.

Editor Denun