Nabila | Menangani Kekerasan Seksual di Institusi Pendidikan

  • Whatsapp
Nabila, mahasiswa Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, FKM Unhas (dok: Istimewa)

DPRD Makassar

Nabila, mahasiswa Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas membagikan hasil penelisikannya pada krisis kekerasan seksual di institusi pendidikan. Mari simak. 

PELAKITA.ID – Pada lokasi Car Free Day di Jalan Boulevard, sejumlah aktivis perempuan dan anak melaksanakan kampanye perlindungan kelompok rentan dari perundungan atau pelecehan seksual, Minggu, 8/12/2024.

Mereka membentangkan spanduk berisi kampanye perlindungan perempuan.”Stop kekerasan terhadap perempuan.” “Tegakkan Keadilan bagi Korban Kekerasan Seksual.”  hingga anjuran “Tidak ada Toleransi untuk Perkawinan Anak.”

Read More

Penulis mencatat bahwa memang ada kenyataan bahwa dunia pendidikan memang sedang darurat kekerasan seksual. Teringat pula kasus kekerasan seksual yang terjadi antara guru dan siswa sudah banyak di Indonesia.

Pembaca sekalian, sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk menimbah ilmu. Namun, bagaimana jika mereka yang dipercaya untuk mendidik justru menjadi sumber ketakutan?

Ketika guru bukan lagi sekadar pengajar, di mana anak-anak bisa mencari perlindungan?

Di balik dinding yang tampak kokoh, tersembunyi celah-celah yang tak terlihat. Celah di mana kekuasaan disalahgunakan dan suara anak-anak teredam oleh rasa takut.

Stop kekerasan seksual terhadap perempuan (dok: Nabila)

Sekolah seharusnya menjadi tempat belajar, tetapi bagaimana jika pelajaran yang dipelajari adalah rasa diam dan tak berdaya?

Berdasarkan data dari Federasi serikat guru Indonesia (FSGI) tahun 2024, kasus kekerasan yang terjadi di sekolah tertinggi kedua adalah kekerasan seksual dan paling banyak dilakukan oleh guru. Kasus kekerasan seksual yang dilakukan seluruhnya oleh guru sebesar 20%.

Salah satu fakta, dikutip dari BBC News Indonesia, Kisah sedih yang dialami seorang siswa kelas 12 di Gorontalo, Ia mempunyai hubungan seksual dengan gurunya yang telah terjadi selama 2 tahun sejak tahun 2022.

Awalnya, sang guru menyentuh bagian sensitive siswa tersebut hingga melakukan modus-modus asmara seperti meng iming-imingi sesuatu.

Siswa tersebut adalah orang yang rentan karena dilihat dari perspektif siswa terdapat rasa takut dan di iming-imingi sesuatu sehingga secara sadar ia merasa nyaman dengan gurunya sampai terjadi hal-hal fatal seperti hubungan seksual.

Salah satu faktor yang menyebabkan kekerasan seksual yaitu minimnya edukasi tentang seks dan etika pergaulan.

Anak-anak seharusnya sudah mengetahui bagian-bagian yang tidak dapat disentuh oleh orang lain. Selain itu, pentingnya mempunyai etika pergaulan dan batasan antara guru dan siswa.

Penanganan

Penulis yang hadir di acara CFD di Boulevard ini mewawancarai Kepala Dinas PPA Kota Makassar Achi Soleman terkait penanganan kekerasan seksual pada anak didik.

Achi Soleman memberikan pandangannya terkait pencegarah kekerasan seksual yang bisa dimulai dari keluarga untuk melakukan pencegahan.

“Pertama, salah satunya dengan memahamkan kepada anak, tentang edukaasi. ada empat daerah yang harus diketahui. Mulut, payuidara, kelamin dan pantat. ini harus disampaikan ke anak, mana boleh dan tidak boleh disentuh orang lain,” jelas Achi.

Yang kedua, kata Achi adalah melakukan peningkatan pengasuhan oleh komponen lini keluarga, ayah, ibu, adik, dengan mencipatkan lingkungan yang baik dan aman.

“Kasih sayang sudah harus diberikan ke anggota keluarga sejak dini,” ucap Achi Soleman.

Menurutnya, lingkungan sekitar pun harus ikut menbantu menciptakan lingkungan yang ramah dan melindungi anak,” tegasnya.

Berdasarkan penelusuran penulis, ada beberapa bentuk-bentuk pelecehan seksual dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu, pelecehan seksual berdasarkan perilaku yang diterima korban, pelecehan secara fisik, dan pelecehan secara non-fisik.

Berdasarkan data dari kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA), tindakan kekerasan seksual pada anak di Indonesia per tanggal 1 Januari 2024 hingga per 5 Oktober 2024 (real time) sebanyak 19.237 kasus dan 1999 kasus diantaranya terjadi di lingkungan sekolah.

Kasus kekerasan seksual menempati urutan pertama dari jumlah korban terbanyak yaitu 8.872 sejak tahun 2019-2024.

Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk tindakan yang dilakukan oleh orang dewasa atau orang yang lebih tua, yang menggunakan hak anak untuk memenuhi kebutuhan seksualnya.

Pelaku pelecehan seksual seringkali terjadi dari orang yang dikenal anak seperti anggota keluarga, teman dekat, atau keluarga yang korban percaya. Bahkan, saat ini pelakunya terdapat guru sebagai tenaga pendidik di sekolah.

Pelecehan seksual berdasarkan yang diterima pelaku melibatkan tindakan atau kata-kata yang merendahkan, melecehkan, atau memperlakukan anak secara seksual.

Kampanye anti kekerasan seksual di CFD Boulevard (dok: Nabila)

Pelecehan seksual secara  non-fisik  meminta anak untuk tujuan pornografi seperti foto atau video,  seperti child grooming yang dilakukan melalui internet dengan cara melakukan pendekatan dan membentuk hubungan kepercayaan dengan anak untuk membujuk mereka melakukan aktivitas seksual secara online atau offline.

Pelecehan seksual secara fisik seperti meraba, menyentuh, atau memaksa anak melakukan aktivitas seksual.

Anak yang mengalami pelecehan seksual dapat dilihat secara fisik dan psikis.

Secara fisik terdapat perubahan pada area genital seperti kemerahan, bengkak, atau keluarnya cairan, penurunan berat badan.

Secara psikis anak kesulitan mengendalikan emosi, kehilangan konsentrasi dan sulit menerima pelajaran, serta terlihat sedih dan cemas.

Lebih parahnya lagi, kekerasan seksual dapat berisiko mengalami kehamilan yang tidak direncanakan dan menderita penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS.

UU dan pencegahannya

Secara khusus Indonesia memiliki undang-undang tersendiri mengenai perlindungan terhadap anak, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Perlindungan Anak.

Dalam Pasal 81 dan 82 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak ini diatur bahwa pelaku pelecehan seksual terhadap anak dipidana penjara maksimal 15 tahun.

Hukum di Indonesia yang belum tegas dan tidak adil dalam pelecehan seksual serta lemahnya hukum membuat masalah pelecehan seksual pada anak di Indonesia semakin meningkat.

Pesan dari Kampanye Anti Kekerasan Anak dan Perempuan (dok: Nabila)

Menurut, Asni, Koordinator Tim Substansi RUU PKS, hukum pelecehan seksual di Indonesia belum kuat.

Terutama pada perlindungan korban, seringkali masalahnya korban sulit untuk membutikan saat dia menjadi korban pelecehan seksual, proses peradilan yang lama membuat masalah terhambat dan tidak ditindaklanjuti.

Mirisnya lagi, pelaku dapat menuntut kembali korban atas pencemaran nama baik. Dalam hal ini, kita dapat melihat UUD tentang perlindungan anak yang membuat pelaku dipenjarakan selama 15 tahun.

Akan tetapi, menurut penulis tidaklah sebanding dengan apa yang dialami oleh korban. Mengingat kejadian ini dapat membawa pengaruh yang sangat besar bagi si korban, dimulai dari gangguan fisik hingga gangguan psikologis yang akan dideritanya seumur hidup.

Pendapat dokter didukung dengan hasil penelitian menyebutkan bahwa pelecehan seksual terhadap anak akan mengganggu proses tumbuh dan berkembangnya anak tersebut.

Dampak buruk psikologis yang dapat dideritanya antara lain depresi, trauma pasca kejadian, paranoid akan hal-hal tertentu seperti pergi ke kamar mandi atau bertemu orang-orang.

Secara fisik, korban akan kehilangan harga diri nya dan tidak ada cara untuk memulihkan hal tersebut. Selain itu, juga bisa menurunkan performa belajar, depresi, dan rendah diri.

Masalah kekerasan seksual pada anak di Indonesia akan selalu meningkat apabila hukum di Indonesia tidak tegas. Perlu adanya penguatan implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) di dunia Pendidikan.

Pemerintah juga harus membuat rencana aksi nasional pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan agar seluruh masyarakat dapat berpartisipasi dalam mencegah hal ini. Selain itu, perlunya penilaian kepada calon dan pengajar  berdasarkan perilaku dan kompetensi di sekolah sehingga adanya sikap profesional sebagai pengajar.

Tujuannya untuk mencegah calon pengajar memiliki orientasi seksual yang menyimpang terhadap anak.

Perlunya pembentukan sistem deteksi dini kekerasan seksual di lingkungan pendidikan sehingga ketika ada potensi terjadinya kekerasan dapat dicegah. Serta pelayanan konseling pada korban pasca mengalami kejadian tersebut.

Menurut Dr. Indra Fajarwati Ibnu, dosen FKM Unhas, yang juga berkecimpung dalam psikologi kesehatan.

“Masalah kekerasan seksual adalah tanggung jawab semua komponen dalam sekolah yaitu semua civitas di sekolah tersebut,” kata Dr Indra.

“Peran konselor sebaya juga sangat penting, konselor sebaya yang aktif dan mampu berinteraksi baik dengan teman-temannya,” lanjutnya.

Selain itu, menurutnya, para siswa/i harus diberikan kemampuan untuk dapat survive dari kekerasan seksual serta memiliki kematangan emosional dan berani menolak pelecehan seksual.

“Serta mempunyai batasan antara laki-laki dan perempuan sehingga siswa/i mempunyai benteng yang kuat dalam dirinya untuk menolak pelecehan seksual,” kuncinya.

____
Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, dan merupakan kerjasama antara penulis dengan Pelakita.ID untuk promosi kesehatan dan ilmu perilaku. 

 

Related posts