Mahasiswa Departemen Promosi Kesehatan dan Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas, Syabila Nur Ramadhani Putri menelisik dimensi kemajuan teknologi di dunia pendidikan dan implikasinya pada prestasi, dan juga konsekuensi buruknya. Seperti apa? Mari simak.
PELAKITA.ID – Kemajuan zaman mendorong banyaknya perkembangan yang terjadi di masyarakat.
Kemajuan teknologi, sosial, budaya, dan gaya hidup menekankan masyarakat untuk terus berkembang dan mengikuti pola kehidupan zaman modern.
Kehidupan di zaman ini mendorong adanya perkembangan pesat dibidang pendidikan melalui dukungan teknologi digital sebagai tulang punggung pergerakan manusia.
Hal itu tentu saja akan memberikan tantangan kepada manusia terkhusus peserta didik untuk dapat menyeimbangi kemajuan teknologi komputerisasi dan data yang tidak terbatas.
Lalu mengapa hal ini menyebabkan tingginya angka depresi pada peserta didik?
Menurut pendapat Miss Zakhiyah salah satu guru SMA di Kota Makassar kemajuan yang terus terjadi mendukung siswa untuk dapat menggali informasi yang lebih luas melalui informasi digital yang dapat mereka akses menggunakan perangkat elektronik yang mereka miliki.
”Namun hal ini juga menimbulkan dampak negatif dimana mereka dituntut untuk selalu menguasai teknologi, dan mencapai standar akademis yang tinggi,” sebut Zakhiyah.
”Hal ini dapat menyebabkan stress berkepanjangan, bahkan berujung pada depresi,” ungkapnya.
Hal tersebut menjadi salah satu tantangan untuk peserta didik untuk bijak memanfaatkan perangkat elektronik untuk mengikuti kemajuan pendidikan. Sebab kegemaran menggunakan perangkat elektronik terkadang bisa menjadi bumerang bagi mereka jika tidak dikelola dengan baik.
Transformasi pendidikan sebagai tantangan
Kemajuan teknologi telah membawa banyak perubahan dalam dunia pendidikan, mempengaruhi berbagai aspek seperti pembelajaran, pengajaran, kurikulum, alat belajar, dan teknologi pendukung.
Akses teknologi yang semakin mudah memberikan perkembangan signifikan, memungkinkan siswa untuk belajar dengan cara yang lebih fleksibel dan interaktif.
Kurikulum modern kini dirancang tidak hanya untuk membantu siswa memahami materi pelajaran tetapi juga mengembangkan keterampilan seperti berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan komunikasi. Namun, kemajuan ini juga menimbulkan tantangan yang cukup berat bagi siswa.
Mereka dituntut untuk beradaptasi dengan perkembangan yang terus terjadi, menghadapi tekanan akademis yang tinggi, serta bersaing untuk meraih nilai terbaik dan memenuhi ekspektasi dari keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Tekanan semacam ini sering kali membuat siswa lebih rentan terhadap stres dan depresi.
Penulis merangkum pandangan beberapa siswi di salah satu SMA yang terletak di Kota Makassar, bahwa dengan adanya keterlibatan teknologi dalam kurikulum pendidikan, seperti aplikasi pembelajaran daring dan media sosial, sering kali membuat pelajar merasa terbebani.
”Harapan tinggi untuk terus berprestasi, ditambah dengan paparan berlebihan terhadap kesempurnaan hidup yang sering terlihat di media sosial, menjadi salah satu pemicu utama depresi yang mereka rasakan. Depresi yang dirasakan dapat muncul disertai kecemasan yang dapat dirasakan,” sebut mereka.
Kecemasan yang mereka rasakan ditandai dengan munculnya kekhawatiran yang berlebih. sementara, beberapa siswa lainnya mengungkapkan bahwa saat mengalami stres atau depresi, mereka cenderung merasa sedih, kehilangan minat pada aktivitas sehari-hari, dan sulit berkonsentrasi.
Hal ini menunjukkan bahwa tekanan dalam sistem pendidikan tidak hanya mempengaruhi performa akademik tetapi juga kondisi emosional siswa.
Kerentanan
Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Alva Tech Research menjelaskan bahwa remaja generasi masa kini lebih rentan mengalami gangguan depresi dibandingkan generasi sebelumnya.
Tekanan dalam dunia pendidikan yang semakin kompleks, seperti banyaknya tugas, kecemasan menghadapi ujian, dan persaingan akademik, menjadi faktor utama munculnya depresi.
Selain itu, tuntutan dari lingkungan sosial, termasuk keluarga dan guru, memperburuk kondisi ini.
Misalnya, orang tua sering kali mendorong anak mereka untuk mendapatkan nilai tinggi dan peringkat terbaik, sementara guru menuntut siswa untuk memahami dan menguasai semua mata pelajaran.
Faktor Pendorong
Dihadirkannya tuntutan dan tekanan bagi peserta didik disertai sanksi sosial yang akan diterima, akan berdampak bagi kesehatan mental peserta didik.
Di beberapa sekolah, tekanan ini diperparah dengan sanksi sosial bagi siswa yang gagal memenuhi ekspektasi, seperti hukuman atau ancaman tidak naik kelas.
Tak jarang, siswa yang mendapatkan nilai rendah juga menerima kritik atau hukuman dari keluarga di rumah. Jika terus dibiarkan hal ini akan menimbulkan masalah kesehatan mental hingga menyebabkan depresi pada peserta didik tersebut.
Depresi yang terus dibiarkan akan menimbulkan komplikasi yang lebih berat pada peserta didik seperti munculnya gangguan disorder. hal ini jika terus dibiarkan tanpa adanya penanganan akan memperparah kondisi depresi seseorang.
Pencegahan yang dapat dilakukan
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan upaya pencegahan dan intervensi dini. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah memasukkan program pendidikan kesehatan mental ke dalam kurikulum sekolah.
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran siswa akan pentingnya menjaga kesehatan mental serta mengajarkan strategi untuk mengelola stres.
Selain itu, sekolah dapat menyediakan layanan konseling yang memungkinkan siswa berbicara tentang masalah mereka dan mendapatkan dukungan yang diperlukan.
Pencegahan masalah kesehatan mental di kalangan siswa juga membutuhkan kolaborasi antara keluarga dan Masyarakat.
Keterlibatan keluarga terkhusus orang tua memiliki peran besar dalam mendampingi anak-anak mereka. Mendengarkan keluhan anak tanpa menghakimi, memberi waktu istirahat yang cukup, serta memastikan keseimbangan antara belajar dan bermain adalah langkah-langkah sederhana yang dapat membantu.
Keterlibatan masyarakat dalam hal ini menggubah stigma yang tertanam. Perlu adanya kesadaran bersama untuk tidak hanya berfokus pada mengejar prestasi akademik, tetapi juga memperhatikan kesehatan mental generasi muda.
Karena pada akhirnya, pendidikan yang baik bukan hanya soal angka dan gelar, tetapi juga tentang menciptakan individu yang sehat secara fisik dan mental.
Dengan adanya upaya bersama, dampak negatif dari kemajuan teknologi dalam pendidikan dapat diminimalkan, sehingga siswa dapat meraih prestasi tanpa harus mengorbankan kesehatan mental mereka.
____
Artikel ini tayang sebagai kerjasama penulis dengan Pelakita.ID untuk promosi dan perilaku kesehatan