Sahrul Aril, mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin semester lima membagikan temuan dan pandangannya terkait pentingnya layanan psikologi menangani kesehatan mental agar mahasiswa tak lagi merasa sendiri. Mari simak.
PELAKITA.ID – Pernah dengar atau membaca berita tentang dokter yang sedang pendidikan namun memilih bunuh diri?
Dunia pendidikan kedokteran dihebohkan oleh kasus seorang mahasiswa di Kedokteran Universitas Diponegoro, dr Aulia Risma Lestari, sekaligus dokter muda di RS Kardinah Tegal, meninggal dunia diduga karena bunuh diri dengan cara menyutikkan obat ke dalam tubuh.
Penyebab Aulia memilih bunuh diri diduga karena tidak kuat menahan bully yang dialaminya selama menjalani pendidikan PPDS Anastesi Universitas Diponegoro Semarang.
Korban ditemukan meninggal dunia di kamar kosnya di Jalan Lempongsari Kota Semarang pada Senin, 12 Agustus 2024.
Kasus bunuh diri akibat bullying menjadi pengingat betapa pentingnya kesehatan jiwa, yang kini menjadi fokus dalam SKI 2023.
Trend gangguan depresi
Penilaian gangguan depresi menggunakan instrumen Mini International Neuropsychiatric Interview (MINI). Tingginya angka depresi di kalangan pemuda, khususnya mereka yang berusia 15-24 tahun, perlu mendapatkan perhatian serius.
Sebanyak 61% dari kelompok ini mengaku mengalami depresi dan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup dalam sebulan terakhir. Berpikir positif itu mudah, tapi kadang pikiran negatif itu seperti penyanyi rock, keras dan sulit untuk dibungkam!.
Kasus kesehatan mental di kalangan mahasiswa yang mengalami bullying hingga memicu tindakan bunuh diri sangat memprihatinkan. Lingkungan kampus seharusnya menjadi tempat yang mendukung perkembangan pribadi dan akademik, tetapi perundungan dapat menciptakan suasana yang sebaliknya.
Tekanan sosial dan akademik yang dihadapi mahasiswa sering kali diperburuk oleh intimidasi, yang dapat mengakibatkan depresi dan kecemasan. Ketika dukungan emosional tidak tersedia, dampak dari pengalaman buruk ini bisa sangat fatal.
Penting bagi institusi pendidikan untuk mengambil langkah proaktif dalam menangani masalah bullying dan kesehatan mental. Ini termasuk menyediakan program pencegahan, pelatihan untuk staf, dan akses yang mudah ke layanan konseling.
Membangun budaya kampus yang inklusif dan saling mendukung dapat membantu mengurangi stigma terkait kesehatan mental, sehingga mahasiswa merasa lebih nyaman untuk mencari bantuan sebelum masalah menjadi lebih serius.
Kesadaran dan pendidikan tentang perundungan dan dampaknya juga harus menjadi bagian dari kurikulum untuk menciptakan perubahan positif di lingkungan kampus.
Kasus kesehatan mental di kalangan mahasiswa yang berujung pada tindakan bunuh diri, menunjukkan bahwa masalah ini semakin serius dan memerlukan perhatian mendalam dari berbagai pihak.
Menurut data dari WHO 2024, sekitar 726.000 orang mengakhiri hidup mereka, dan mahasiswa merupakan salah satu kelompok yang rentan. Tekanan akademik, stigma terhadap masalah kesehatan mental, dan pengalaman bullying berkontribusi besar terhadap meningkatnya angka kejadian ini.
Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa program studi bimbingan konseling, Universitas Lambung Mangkurat menyebutkan bahwa, Perundungan dapat memiliki dampak yang serius, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Dalam jangka pendek, tindakan ini sering kali menyebabkan luka fisik, perasaan tidak aman, ketakutan, dan rasa terisolasi. Namun, dampak jangka panjang yang ditimbulkan oleh Perundungan jauh lebih mengkhawatirkan, karena dapat mengakibatkan trauma berkepanjangan dan bahkan, dalam beberapa kasus, berujung pada upaya bunuh diri.
Tekanan akademis yang tinggi menjadi salah satu penyebab utama masalah kesehatan mental di kalangan mahasiswa. Tuntutan untuk berprestasi sering kali menimbulkan perasaan putus asa ketika ekspektasi tidak terpenuhi.
Mengapa depresi?
Menurut temuan dari Medical Center di sebuah perguruan tinggi negeri, antara 2016-2019 tercatat 115 kasus gangguan kesehatan mental, mayoritas terjadi pada mahasiswa berusia 21-23 tahun.
Depresi dan gangguan kecemasan adalah masalah psikologis yang paling umum, dengan 29% mengalami kecemasan dan 25% mengalami depresi.
Perundungan, baik secara langsung maupun melalui media sosial, semakin memperburuk kondisi mental ini, dengan korban memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan mental dan memikirkan bunuh diri.
Kasus dr. Aulia Risma Lestari, yang diduga bunuh diri akibat perundungan. menggambarkan dampak serius dari lingkungan yang tidak mendukung.
Selain masalah tekanan akademis dan perundungan, kekerasan seksual juga menjadi isu yang semakin meresahkan di lingkungan perguruan tinggi. Sebagai contoh, seorang mahasiswi di Universitas Hasanuddin, diduga menjadi korban kekerasan seksual oleh seorang dosen.
Kasus ini dikonfirmasi oleh Satuan Tugas PPKS Universitas Hasanuddin melalui press release di media sosialnya. Insiden ini menambah deretan panjang kasus serupa di perguruan tinggi di Indonesia, dengan tren kekerasan seksual yang terus meningkat setiap tahunnya.
Kejadian ini semakin menekankan pentingnya perlindungan dan peningkatan kesadaran akan pentingnya menciptakan lingkungan kampus yang aman dan mendukung bagi mahasiswa, agar mereka dapat belajar dan berkembang tanpa rasa takut atau terancam.
Dari perspektif solusi, institusi pendidikan perlu mengimplementasikan program yang efektif untuk menangani kesehatan mental, termasuk menyediakan layanan psikologi yang mudah diakses bagi mahasiswa.
Hal itu mencakup pelatihan bagi dosen dan staf untuk mengenali tanda-tanda masalah mental, sehingga mereka dapat merujuk mahasiswa ke layanan yang tepat.
Statistik menunjukkan bahwa 70% mahasiswa yang mengalami masalah mental tidak mencari bantuan, sering kali karena stigma atau ketidakpahaman tentang sumber daya yang tersedia.
Dengan menciptakan lingkungan yang mendukung dan meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental, termasuk akses ke layanan psikologi, kita dapat mengurangi angka kejadian bunuh diri di kalangan mahasiswa.
Kasus kesehatan mental di lingkungan kampus sering kali dipandang sebagai isu individu yang disebabkan oleh faktor pribadi, namun ini meremehkan peran lingkungan sosial dan budaya yang signifikan.
Banyak yang berargumen bahwa mahasiswa harus dapat mengatasi tekanan akademik secara mandiri, tetapi ini mengabaikan fakta bahwa lingkungan kampus sering kali penuh dengan stres, perundungan, dan isolasi sosial.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial dan intervensi yang tepat sangat penting dalam mencegah masalah kesehatan mental.
Jalan keluar
Layanan kesehatan mental di lingkungan kampus sangat penting karena mahasiswa sering menghadapi tekanan akademik, sosial, dan emosional yang signifikan.
Kampus harus menyediakan akses yang mudah ke konseling psikologis untuk membantu mahasiswa mengelola stres, kecemasan, dan depresi yang dapat memengaruhi kinerja akademik dan kesejahteraan mereka.
”Dengan adanya layanan ini, kampus dapat menciptakan lingkungan yang mendukung, mendorong keberhasilan akademik, serta membantu mahasiswa mengembangkan keterampilan coping yang penting untuk kehidupan mereka ke depan,” ujar dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Dr. Muhammad Arsyad, SKM., M.Kes.
Menurutnya, beberapa pihak mungkin berpendapat bahwa institusi pendidikan telah menyediakan cukup sumber daya untuk menangani kesehatan mental.
”Namun, meskipun ada layanan psikologi, banyak mahasiswa masih merasa tidak nyaman untuk menggunakan layanan tersebut akibat stigma atau ketidakpahaman. Ini menunjukkan bahwa hanya menyediakan layanan tidak cukup,” kata Muhammad Arsyad.
”Perlu ada perubahan dalam budaya kampus yang mendukung pencarian bantuan. Tanpa pendekatan yang holistik dan inklusif, upaya untuk menangani kesehatan mental di kampus mungkin tidak akan efektif,” sebutnya.
Kasus kesehatan mental di kalangan mahasiswa yang terpengaruh oleh bullying dan tekanan akademis sangat memprihatinkan dan memerlukan perhatian serius dari institusi pendidikan.
Lingkungan kampus yang seharusnya mendukung justru sering kali menjadi sumber stres dan intimidasi, yang berkontribusi pada peningkatan risiko depresi dan tindakan bunuh diri.
Oleh karena itu, penting untuk mengimplementasikan program pencegahan yang efektif, menyediakan akses ke layanan psikologi, serta meningkatkan kesadaran dan pendidikan tentang kesehatan mental.
Dengan menciptakan budaya kampus yang inklusif dan saling mendukung, kita dapat membantu mahasiswa merasa lebih nyaman untuk mencari bantuan, sehingga mengurangi angka kejadian bunuh diri dan meningkatkan kesejahteraan mental secara keseluruhan.
Apakah instansi pendidikan akan diam?
____
Artikel ini tayang sebagai kerjasama penulis dengan Pelakita.ID untuk promosi dan perilaku kesehatan