Resky Amelia Syamsuddin, mahasiswa FKM Unhas membagikan pandangannya terkait kecenderungan semakin meningkatnya penyakit diabetes. Apa penyebab dan apa saja risikonya jika konsumsi gula aberlebihan? Mari simak penjelasannya berikut ini.
PELAKITA.ID – Indonesia berada di ambang krisis kesehatan yang mengancam masa depan generasi mendatang. Diabetes, penyakit kronis yang dahulu dianggap sebagai masalah kecil, kini menjelma momok menakutkan dan menggerogoti kualitas hidup jutaan orang.
Berdasarkan data dari International Diabetes Federation (IDF), jumlah penderita diabetes di Indonesia pada tahun 2021 adalah 19,47 juta. Jumlah ini mengalami peningkatan pesat dalam sepuluh tahun terakhir.
Selain ditingkat dunia dan indonesia peningkatan diabetes melitus juga mengalami peningkatan di tingkat provinsi khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan data yang di dapatkan dari profil kesehatan provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2019 terdapat 148.311 jumlah kasus penderita diabetes melitus.
Kota Makassar menempati posisi pertama jumlah kasus Diabetes Melitus terbanyak di Sulawesi Selatan yaitu dengan jumlah kasus 27.004.
Di balik ancaman ini, ada satu musuh yang diam-diam menyusup ke dalam kehidupan sehari-hari yaitu gula.
Dalam bentuknya yang paling menggoda, gula telah menjadi zat adiktif yang tidak hanya merusak metabolisme tubuh, tetapi juga memerangkap kita dalam lingkaran kecanduan yang berujung pada penyakit mematikan.
Saat ini, gula bukan lagi sekadar pemanis tetapi ia adalah ancaman laten yang mengintai setiap sendok makan, setiap tegukan minuman, dan setiap detik kesehatan kita.
Gula, terutama dalam bentuk tambahan seperti yang ditemukan dalam minuman manis dan makanan olahan, telah menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya angka diabetes di seluruh dunia.
Ketika kita mengonsumsi gula berlebih, tubuh memproduksi insulin untuk mengatur kadar glukosa dalam darah. Namun, konsumsi gula yang tinggi secara terus-menerus dapat menyebabkan resistensi insulin, di mana sel-sel tubuh tidak lagi merespons insulin dengan baik.
Akibatnya, kadar glukosa darah tetap tinggi, yang dapat berujung pada diabetes.
Selain itu, makanan yang kaya gula seringkali rendah nutrisi, sehingga mengarah pada penambahan berat badan.
Obesitas merupakan faktor risiko utama untuk diabetes, karena lemak berlebih, terutama di area perut, dapat mengganggu fungsi insulin.
Gula, yang sering kali disembunyikan dalam berbagai produk makanan dan minuman, semakin terbukti bersifat adiktif. Fenomena ini memicu peningkatan prevalensi diabetes yang mengkhawatirkan di kalangan masyarakat Indonesia.
Gula tidak hanya meningkatkan risiko obesitas, tetapi juga dapat menyebabkan resistensi insulin, yang merupakan pintu gerbang menuju diabetes tipe 2.
Dalam beberapa dekade terakhir, industri makanan dan minuman telah meningkatkan penggunaan gula tambahan untuk meningkatkan rasa produk mereka, tanpa disadari bahwa hal ini berkontribusi pada krisis kesehatan yang sedang berkembang.
Munculnya kasus anak-anak yang mengalami gagal ginjal dan harus melakukan cuci darah secara rutin, harus menjadi perhatian bagi orang tua untuk memperhatikan anaknya dalam hal makanan dan minuman termasuk jajanannya.
Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Sulawesi Selatan-pun menegaskan agar para orang tua memperhatikan anak-anaknya dalam mengkonsumsi gula.
“Pertama tentu peran orang tua dalam memberikan pola asuh kepada anak-anaknya supaya tidak memberikan banyak makan kira-kira bisa merusak kesehatan ya. Artinya pemilihan makanan dan minuman banyak mengandung gula itu harus kita (kurangi) mulai dari keluarga,” kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulsel Dr dr HM Ishaq Iskandar.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Serge H Ahmed menunjukkan bahwa gula dapat mempengaruhi otak dengan cara yang mirip dengan zat adiktif lainnya, seperti nikotin atau kokain.
Dikatakan Serge, konsumsi gula merangsang pelepasan dopamin, neurotransmitter yang terkait dengan perasaan senang dan reward. Hal ini menyebabkan keinginan untuk mengonsumsi lebih banyak gula, menciptakan siklus adiktif yang sulit dihentikan.
Akibatnya, individu cenderung mengonsumsi lebih banyak gula daripada yang dibutuhkan tubuh, yang kemudian meningkatkan risiko terkena diabetes.
Gula dan Diabetes
Sebuah studi yang diterbitkan Clinical Nutrition and Metabolic Care menemukan bahwa makanan manis dapat lebih membuat ketagihan daripada kokain.
Meskipun penelitian dilakukan pada hewan, para peneliti menemukan bahwa rasa manis yang kuat dapat melampaui efek kokain, bahkan pada individu yang peka terhadap obat-obatan dan kecanduan.
Diabetes bukan hanya sekedar penyakit kronis, tetapi juga merupakan penyebab utama berbagai komplikasi kesehatan serius.
Penderita diabetes berisiko lebih tinggi mengalami penyakit jantung, stroke, gagal ginjal, dan amputasi. Selain itu, diabetes juga berdampak pada kualitas hidup, menyebabkan gangguan pada penglihatan, neuropati, dan berbagai masalah kesehatan lainnya.
Tingginya angka penderita diabetes juga memberikan beban ekonomi yang besar bagi sistem kesehatan di Indonesia.
Terdapat sebuah anggapan bahwa kecanduan gula bukanlah fenomena nyata. Namun, penelitian di bidang ilmu saraf dan psikologi telah mengungkap sifat adiktif gula.
Mengonsumsi gula memicu pelepasan dopamin di otak, neurotransmitter yang sama yang terlibat dalam kecanduan narkoba.
Seiring waktu, asupan gula yang berulang dapat menyebabkan toleransi, ketergantungan, dan keinginan, mirip dengan yang dialami oleh penyalahgunaan zat.
Selain itu, terdapat juga pendapat bahwa anak-anak tidak berisiko akibat konsumsi gula karena umurnya yang masih muda.
Padahal, risiko akibat konsumsi gula ini tidak memandang umur dan dapat menyerang siapa saja.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Vradea Pramesta tahun 2021, kesukaan kita terhadap rasa manis telah dimulai sejak awal kehidupan dan menetap sepanjang masa kanak-kanak.
Hal ini menjelaskan mengapa sebagai pemberi rasa manis konsumsi gula di tengah masyarakat cukup tinggi. Namun demikian konsumsi gula yang berlebihan diketahui merupakan faktor risiko obesitas dan DM tipe 2.
Hal ini merupakan krisis kesehatan serius, dengan diabetes sebagai salah satu ancaman utamanya. Gula, yang sebelumnya dianggap sebagai pemanis biasa, kini terbukti memiliki sifat adiktif yang berbahaya, berperan besar dalam peningkatan kasus diabetes tipe.
Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa gula memiliki efek pada otak yang mirip dengan zat adiktif seperti narkoba, memperparah kecanduan dan mengakibatkan konsekuensi kesehatan jangka panjang. Krisis ini tidak hanya merugikan kesehatan masyarakat, tetapi juga memberi beban ekonomi besar pada sistem kesehatan Indonesia.
Apa yang perlu dilakukan?
Dalam menghadapi fenomena konsumsi gula berlebih di masyarakat membutuhkan pendekatan holistik untuk mengatasinya, dimulai dari peningkatan edukasi dan kesadaran akan dampaknya terhadap kesehatan.
Masyarakat perlu diberikan informasi yang jelas tentang risiko gula berlebih, seperti obesitas, diabetes tipe 2, penyakit kardiovaskular, dan kerusakan gigi.
Kampanye kesehatan melalui media sosial, televisi, dan komunitas lokal dapat menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan pesan ini.
Di tingkat individu, perubahan gaya hidup juga sangat penting, seperti membaca label makanan, memilih alternatif rendah gula, dan memasak sendiri untuk mengontrol asupan gula.
Di sisi lain, produsen makanan dan minuman perlu didorong untuk mengurangi kandungan gula dalam produk mereka, misalnya dengan pemberian insentif untuk menghasilkan produk sehat.
Pemerintah juga memiliki peran penting melalui kebijakan seperti pengenaan pajak pada minuman manis, pelabelan yang jelas tentang kandungan gula, dan pembatasan iklan makanan tinggi gula terutama yang ditujukan kepada anak-anak.
Upaya ini harus didukung oleh akses yang lebih baik terhadap makanan sehat, seperti buah-buahan segar, untuk memberikan alternatif yang lebih baik bagi masyarakat.
Pendekatan menyeluruh ini dapat membantu mengurangi konsumsi gula berlebih secara signifikan dan mendorong masyarakat menuju pola makan yang lebih sehat.
Kini saatnya kita semua mengambil langkah nyata untuk melawan ancaman krisis kesehatan akibat konsumsi gula berlebih. Gula bukan hanya masalah individu, tetapi tantangan kolektif yang membutuhkan kesadaran dan aksi bersama.
Mulailah dari diri sendiri dengan membatasi asupan gula, memilih makanan sehat, dan mendidik keluarga tentang bahaya yang tersembunyi di balik manisnya gula.
Bersamaan dengan itu, pemerintah, industri, dan masyarakat perlu berkolaborasi menciptakan lingkungan yang mendukung pola hidup sehat, seperti menerapkan kebijakan pengurangan gula, menyediakan alternatif yang lebih sehat, dan mengedukasi masyarakat luas.
Masa depan kesehatan generasi kita dipertaruhkan, dan tindakan kita hari ini akan menentukan apakah kita berhasil menyelamatkan mereka dari ancaman penyakit kronis yang dapat dicegah.
____
Artikel ini tayang sebagai kerjasama penulis dengan Pelakita.ID untuk promosi dan perilaku kesehatan