Dia Mengenda, mahasiswa semester lima Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas membagikan pandangannya tentang kecenderungan pelecehan seksual yang kian marak di dunia maya. Mari simak berikut ini.
PELAKITA.ID – Siapa sih yang tidak mengenal Bernadya, penyanyi muda asal Indonesia yang tengah naik daun dengan karya-karyanya yang penuh emosional dan relatable bagi banyak pendengarnya.
Meski begitu, baru-baru ini penyanyi tersebut ramai diperbincangkan bukan hanya karena karyanya yang dekat dengan hati pendengarnya, melainkan karena kolom komentarnya yang dipenuhi dengan kata-kata tidak pantas.
Dalam unggahan terbaru bernadya di sebuah platfrom sosial media, muncul berbagai komentar-komentar yang tidak pantas seperti “Bernadya pulen”, “tobrut”, dan berbagai komentar lainnya yang bermakna negatif.
Kasus ini mencerminkan bentuk kekerasan verbal melalui media sosial, dimana platfrom digital menjadi ruang bebas bagi oknum-oknum untuk melakukan pelecehan, bahkan terhadap figur publik.
Sayangnya, para pelaku pelecehan verbal melalui media sosial bersembunyi di balik anonimitas atau kebebasan berpendapat, tanpa menyadari bahwa kata-kata mereka dapat meninggalkan luka yang mendalam bagi korbannya.
Hal ini juga menunjukkan bahwa meskipun sosial media memberikan kebebasan berekspresi, tanpa pengawasan dan etika hal itu justru dapat menjadi ruang bagi perilaku merugikan yang berdampak serius pada korban.
Dampak Medsos
Penggunaan media sosial yang tidak bijak sadar maupun tidak sadar, seringkali menyebabkan terjadinya kasus pelecehan seksual, mulai dari komentar yang tidak senonoh, pengiriman foto yang tidak diinginkan, bahkan kasus yang lebih serius seperti pemerasan seksual secara online.
Yang lebih mengkhawatirkan, para pelaku tidak memandang latar belakang seperti usia, status Pendidikan, ataupun kondisi korban, bahkan pelaku dapat menyerang korban tanpa adanya hubungan nyata dikehidupan sehari-hari.
Hubungan yang dimaksud seperti pertemuan langsung atau pernah berkomunikasi secara langsung.
Akibatnya korban mengalami dampak yang signifikan seperti rasa malu, ketakutan, serta penurunan rasa percaya diri, yang pada akhirnya dapat menghambat perkembangan potensi dan bakat mereka karena terpengaruh oleh komentar negatif dan perilaku tidak bermoral.
Pada 2019, tercatat ada 218 kasus kekerasan seksual melalui media sosial, namun dalam 10 bulan terakhir saja jumlahnya sudah mencapai 659 kasus.
Kekerasan berbasis media sosial diperkirakan akan meningkat lebih dari 40 % setiap tahunnya.
Penelitian terbaru juga mengungkapkan bahwa mayoritas korban adalah generasi muda. Hal ini disebabkan oleh tingginya penggunaan media sosial oleh anak muda.
Elsa (20 Tahun), seorang pengguna aktif media sosial, membagikan pengalaman pahitnya sebagai korban pelecehan seksual di media sosial.
”Saya pernah menerima pesan berupa gambar berisi konten pornografi dari seseorang yang tidak dikenal,” ujarnya.
Peristiwa tersebut membuatnya merasa terhina dan tidak dihargai sebagai perempuan. “Saya merasa sangat terganggu dan tidak aman,” ujarnya.
Elsa juga mengingatkan pentingnya menjaga etika dalam berinteraksi di dunia maya dan menyerukan agar korban lainnya berani berbicara.
Lonjakan kasus kekerasan seksual di media sosial, terutama di kalangan generasi muda, menunjukkan urgensi masalah ini yang semakin kompleks.
Tingginya penggunaan media sosial oleh anak muda membuat mereka lebih terekspos terhadap risiko kekerasan, terutama karena banyak yang belum sepenuhnya memahami cara melindungi diri secara efektif di ruang digital.
Keterbatasan literasi digital di kalangan generasi muda mempermudah pelaku untuk memanfaatkan ketidaktahuan atau kerentanan korban. Selain itu, anonimitas yang ditawarkan media sosial memungkinkan pelaku melakukan kekerasan tanpa takut dikenali atau dihukum, yang semakin memperparah situasi.
Tanpa intervensi yang tepat, seperti edukasi digital yang lebih kuat dan peraturan yang lebih ketat dari platform digital, tren peningkatan kekerasan ini diperkirakan akan terus memburuk, menempatkan generasi muda dalam posisi yang semakin rentan.
Meskipun ada pandangan bahwa pelecehan seksual di media sosial dapat dianggap kurang serius karena terjadi di dunia maya, pandangan ini sepenuhnya keliru.
Pelecehan yang terjadi secara online dapat memiliki dampak psikologis yang sama merusaknya seperti pelecehan di dunia nyata.
Banyak korban melaporkan perasaan trauma, cemas, dan takut yang berkelanjutan akibat pelecehan digital.
Selain itu, media sosial sering kali menjadi sarana penyebaran pelecehan yang lebih luas, memperburuk dampak terhadap korban karena audiensnya bisa jauh lebih besar.
Mengabaikan pelecehan seksual di dunia maya juga mengabaikan hak korban untuk merasa aman di ruang digital.
Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk tidak meremehkan masalah ini dan menuntut tindakan hukum yang tegas serta edukasi publik tentang pentingnya etika digital.
Perlu literasi
Pelecehan seksual melalui media sosial, seperti yang dialami oleh Bernadya maupun Elsa menegaskan bahwa meskipun platform digital memberikan kebebasan berekspresi, hal ini juga dapat disalahgunakan untuk melakukan kekerasan verbal yang berdampak serius pada korban.
Dengan meningkatnya jumlah kasus dan kerentanan generasi muda yang kurang literasi digital, penting bagi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan etika penggunaan media sosial dan melindungi hak-hak individu di ruang digital.
Tanpa tindakan tegas dan edukasi yang memadai, tren kekerasan berbasis media sosial diperkirakan akan terus meningkat, mengancam kesejahteraan mental dan emosional korban.
Jadi, menurut pembaca sekalian, pelecehan seksual melalui media sosial merupakan masalah sangat serius atau bukan?
____
Artikel ini tayang sebagai kerjasama penulis dengan Pelakita.ID untuk promosi dan perilaku kesehatan