Alifiah Sabila | Di Balik Asap, Kisah Remaja Putri, Rokok dan Pencarian Jati Diri

  • Whatsapp
Mahasiswa semester lima FKM Unhas, Alifiah Sabila (dok: Istimewa)

DPRD Makassar

Alifiah Sabila, mahasiswa FKM Unhas semester lima membagikan catatan kegalauannya tentang kian merebaknya perokok di sekitar kita. Dia pun mencari tahu mengapa merokok menjadi pelarian kaum remaja putri. Mari simak temuannya.

PELAKITA.ID – Pernahkah terlintas di benak anda, bagaimana asap rokok menjadi teman setia bagi sebagian remaja putri di era modern ini?

Di sudut-sudut kota, mereka duduk dengan percaya diri, mengepulkan asap dari rokok elektrik yang berkilauan seperti simbol kebebasan baru.

Read More

Apakah ini bentuk ekspresi diri, gaya hidup, atau sekadar pelarian dari tekanan dunia?

Di balik setiap hembusan asap, tersimpan kisah tentang perubahan zaman yang merangkul perempuan dalam budaya yang dulunya dianggap tabu.

Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa jumlah perokok remaja putri di Tanah Air kini mencapai 22,04%.

Di Sulawesi Selatan, laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan peningkatan jumlah perokok perempuan, terutama di kelompok usia muda.

Di beberapa kabupaten-kota, persentase perempuan yang merokok kini berkisar antara 3-4 persen, dengan tren penggunaan rokok elektrik yang terus meningkat.

Merokok merupakan salah satu fenomena gaya hidup pada kebanyakan remaja putri saat ini. Kebiasaan merokok umumnya dilakukan pada saat usia remaja, hal ini karena perkembangan usia dan pribadi kebiasaanya mendorong seseorang cederung mencoba berbagai hal baru yang negatif.

Kebiasaan merokok, yang sebelumnya lebih dominan pada remaja pria, kini telah menyebar luas di kalangan remaja putri.

Merokok di kalangan remaja putri semakin menjadi perilaku yang mengkhawatirkan, terutama dengan meningkatnya prevalensi penggunaan rokok elektrik. Ketika perempuan merokok, pandangan aneh dapat terlontar dari mata masyarakat disekitarnya.

Mengapa menokok?

Berbagai penilaian moral miring sangat muda terlontar bagi remaja putri yang melakukan perilaku merokok di depan umum.

Anggapan buruk seperti perempuan tidak benar, perempuan nakal, perempuan liar, bahkan perempuan brandal dapat terbesit dalam benak masyarakat ketika melihat perempuan perokok.

Ketertarikan remaja putri untuk mencoba merokok sesungguhnya didorong oleh sifat-sifat alami generasi muda yaitu perasaan ingin tahu, perasaan ingin diakui lebih berani oleh lingkungannya, perasaan ingin lebih dianggap lebih hebat dan lebih dewasa dibanding teman dewasa dan perasaan setia kawan, senasib sepenanggungan.

Salah satu faktor utama yang mendorong remaja putri untuk mencoba merokok adalah keinginan untuk mengikuti tren.

Pada era digital dan media sosial, tren gaya hidup, termasuk merokok, sangat cepat menyebar dan memengaruhi perilaku anak muda.

Rokok elektrik, khususnya, sering kali dikemas dengan citra modern dan keren yang menarik perhatian remaja.

Alasan estetika dan kemudahan penggunaan rokok elektrik juga membuatnya tampak lebih aman dibandingkan rokok konvensional, meski dalam kenyataannya, bahaya kesehatan yang ditimbulkan tetap signifikan.

Rasa penasaran dan ingin mencoba sesuatu yang baru merupakan sifat alami remaja yang sedang dalam tahap pencarian jati diri. Remaja putri sering kali merasakan dorongan kuat untuk mengekspresikan identitas mereka atau mencari pengalaman baru yang belum pernah mereka coba.

Dalam lingkungan sosial yang dinamis, remaja yang belum merokok mungkin merasa tertarik mencoba demi membuktikan bahwa mereka bisa mengikuti gaya hidup yang dianggap lebih dewasa oleh sekelilingnya.

Menurut Mahajaya dalam artikelnya yang berjudul “Fenomena Merokok Elektrik di Kalangan Remaja Putri”, ada 4 faktor yang menjadikan remaja putri melakukan perilaku merokok yaitu keinginan untuk mengeikuti tren yang sedang berlansung, rasa penasaran untuk mencoba rokok, pengaruh dari teman sebaya yang lebih dulu merokok dan munculnya rasa ingin tahu terhadap rokok yang semakin memperkuat keinginan mereka untuk mencoba.

Pengaruh teman sebaya juga memainkan peran penting dalam keputusan remaja putri untuk mulai merokok.

Remaja sering kali memiliki keinginan kuat untuk diterima dalam kelompok sosial mereka, dan merokok bisa menjadi salah satu cara untuk membangun ikatan dengan teman-teman yang sudah terlebih dahulu merokok.

Tekanan dari lingkungan sebaya dapat mendorong mereka untuk merokok demi menjaga citra keberanian atau kepercayaan diri dalam lingkaran sosial mereka.

Dalam kasus ini, merokok dianggap sebagai simbol keberanian dan kedewasaan, yang semakin memperkuat kebiasaan tersebut.

Namun, merokok seperti banyak pilihan gaya hidup lainnya, adalah hak individu. Perempuan yang merokok dapat dilihat sebagai seseorang yang mengekspresikan kebebasan untuk membuat keputusan atas hidupnya sendiri, tanpa terikat oleh stereotip atau norma gender yang membatasi sikap masyarakat yang keras terhadap perempuan perokok sering kali berakar pada persepsi gender yang tidak adil.

Jika pria merokok dianggap sebagai hal yang lumrah, perempuan yang merokok cenderung mendapatkan penghakiman yang lebih berat.

Hal ini menciptakan tekanan sosial tambahan bagi remaja putri yang merokok, di mana mereka tidak hanya menghadapi risiko kesehatan, tetapi juga dampak psikologis dari pengucilan sosial dan stigma negatif.

Kebiasaan merokok, terutama di kalangan remaja, sering kali berujung pada pengeluaran yang signifikan.

Dengan harga rokok yang terus meningkat, seorang remaja putri yang sudah kecanduan harus menyisihkan sejumlah uang setiap harinya untuk memenuhi kebiasaan ini.

Bagi remaja yang umumnya masih bergantung pada uang saku, pengeluaran untuk membeli rokok dapat menguras keuangan mereka dan mengurangi alokasi untuk kebutuhan lain, seperti pendidikan, hobi, atau tabungan.

Selain pengeluaran sehari-hari, kebiasaan merokok juga membuka risiko biaya kesehatan yang lebih besar di masa depan.

Merokok dapat menyebabkan berbagai penyakit serius, seperti penyakit jantung, gangguan pernapasan, hingga kanker paru-paru, yang memerlukan biaya pengobatan yang tidak sedikit.

Pengakuan perokok

Berdasarkan wawancara dengan salah satu narasumber mengatakan “Awalnya cuma iseng,” ujar MH, seorang remaja putri berusia 20 tahun, mengenang masa-masa ketika ia pertama kali mencoba rokok di bangku kelas 3 SMA.

“Teman-teman bilang, merokok itu keren, jadi aku ikut-ikutan.” Di lingkungan pergaulan yang menilai status dari sebatang rokok di tangan, MH merasa menemukan cara untuk diterima. Namun, lebih dari sekadar simbol gaya, rokok perlahan menjadi pelariannya.

“Setiap kali stres atau kepala penuh, aku ambil rokok. Rasanya beban pikiran hilang seketika,” ungkapnya sambil tersenyum pahit.

Ilustrasi merokok (dok: sumber Pixabay.com)

Bagi MH, asap rokok bukan sekadar kebiasaan, tetapi seperti teman setia yang selalu ada, meski diam-diam merenggut lebih dari yang ia sadari.

Rokok konvensional maupun rokok elektrik mengandung zat berbahaya seperti nikotin, tar, dan bahan kimia lainnya yang dapat merusak sistem pernapasan dan memperburuk fungsi paru-paru.

Pada usia remaja, tubuh masih dalam fase perkembangan, sehingga paparan zat-zat beracun dari rokok akan lebih mudah merusak jaringan tubuh mereka, menyebabkan kerusakan yang mungkin baru terlihat beberapa tahun kemudian.

Remaja putri yang merokok juga berisiko mengalami gangguan kesehatan reproduksi. Merokok dapat memengaruhi kesuburan dan meningkatkan risiko komplikasi saat kehamilan di kemudian hari.

Pencegahan

Penting untuk dicatat bahwa fenomena merokok di kalangan remaja putri bukan sekadar masalah individu, tetapi juga masalah sosial yang memerlukan pendekatan multidimensi.

Intervensi tidak bisa hanya berfokus pada kampanye kesehatan, tetapi juga harus mencakup upaya untuk mengubah persepsi sosial dan norma-norma gender yang memberatkan.

Dukungan keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial perlu ditingkatkan agar remaja putri, dapat lebih mudah menghindari kebiasaan merokok.

Kebiasaan ini bukan hanya mencerminkan pengaruh tren dan gaya hidup, tetapi juga menyangkut aspek kesehatan dan ekonomi yang akan membebani mereka di masa depan.

Merokok bukan sekadar hak individu, tetapi membawa konsekuensi besar bagi kehidupan mereka dan lingkungan sekitarnya.

Pertanyaannya, apakah kita, sebagai masyarakat, siap memberikan dukungan dan edukasi yang mereka butuhkan?

Apakah kita akan memilih untuk membantu generasi muda menjauh dari kebiasaan ini atau justru membiarkan stigma dan norma yang membatasi terus berperan dalam membentuk pilihan mereka?

Bisakah kita menciptakan lingkungan yang mendukung remaja untuk mengeksplorasi jati diri mereka tanpa harus terjebak dalam kebiasaan yang merugikan?

____

Artikel ini tayang sebagai kerjasama penulis dengan Pelakita.ID untuk promosi dan perilaku kesehatan

Related posts