Hiruk Pikuk di Vardoces Coffee Shop

  • Whatsapp
Ilustrai warkop tempo dulu (dok: Istimewa)

DPRD Makassar

Mereka nampak seolah-olah sebagai pelurus sejarah, pengurai sengkarut persoalan bangsa-bangsa Latino, seolah yang lain bajingan pengkhianat dan mata duitan.

PELAKITA.ID – Ada satu tempat minum kopi yang diminati para aktivis pergerakan tahun 30-an di kota kami, Puerto Negrito.

Mereka, para aktivis yang berhasil menjungkalkan rezim banal Sebastian Gaucho Pedrosa itu di pertengahan 1910-an itu menyebut warkopnya sebagai Vardoces Coffee Shop.

Saban hari, dari subuh hingga masuk waktu dinihari, mestinya membaca kitab suci di malam tenang, di warkop itu, percakapan terus berlangsung. Laksana dar-der-dor pertempuran udara.

Aneka tema, dari urusan kelamin hingga politik dinasti, dari urusan cawe-cawe Boss Ferguso pada sekelompok Pendidikan Anak Usia Diin hingga pengangkangan usaha tali tambang di Pesisir Maccarena.

Taluan gelas, petikan napas dan gurauan silih berganti.

Begitulah Vardoces Coffee Shop. Mereka yang lahir tahun 1870-an dan beberapa sesudahnya itu nampak intelek dengan jubah sejumlah retorika, analisis, penggeledahaan dan peluruhan persoalan atau isu.

Mereka nampak seolah-olah sebagai pelurus sejarah, pengurai sengkarut persoalan bangsa-bangsa Latino, seolah yang lain bajingan pengkhianat dan mata duitan.

Jika membaca nada bicara tidak ada yang bersuara rendah, amarahnya terjaga, celanya selalu ada, seolah dialah yang paripurna, yang lain tungau atau kecoak yang kacau balau cara beripikirnya.

Jika ada yang layak ditertawai pada mereka, itu adalah ketika mereka membahas tema-tema global, perihal Mercedez Benz, gagasan terbang Wright Bersauara hingga teori bumi bulat, yang mestinya diulik dengan bahasa global, tepat, tidak salah kutip dan tidak rancu bahasa.

Begitulah mereka, yang selalu percaya diri dan terus terbahak-bahak seolah tiada yang keliru.

Sepertinya mereka tidak pernah belajar Sastra dan bahasa global ala Cicero selain kemampuan menafsir mimpi ala Juan Manuel Cessako yang puritan dan punya gundik selusin.

Pada ruang dan waktu mereka hanya bangga dan yakin dengan masa lalu dan bahasa yang dia pahami sendiri, bahan omongan yang dipungut dari pendulum kitab-kitab merah terowongan London yang penuh kelelawar.

Mereka,para penikmat di Vardoces Coffee Sjop itu tidak percaya dan tunduk pada pemikiran dan pandangan berbeda.

Senin pagi tiba, mana estafet itu Fergusso?


Denun

___
*Setelah membaca petikan-petikan Paulo Coelho

 

 

Related posts