PELAKITA.ID – Menjadi peserta pada Focus Group Discussion atau FGD bertema Mainstreaming Isu Bencana Banjir dan Tanah Longsor di Sulawesi Selatan yang digelar KAHMI Sulsel adalah berkah sekaligus inspirasi pengetahuan.
Itu kesan penulis.
Pada acara yang digelar di Ruangan Juku Eja Hotel Maxone Makassar, Sabtu, 28 September 2024 itu ada sekurangnya 9 poin menarik dan penting untuk dicermati sesuai pembacaan penulis.
Tentang bagaimana organisasi sebesar dan sekuat KAHMI Sulsel bisa ‘cawe-cawe ngurus banjir’ di tengah hangatnya persiapan Pemilihan Kepala Daerah di Sulawesi Selatan. Juga tentang harapan baik di baliknya serta bagaimana meanjutkan napas advokasi organisasi sesudahnya.
9 Poin
Pertama, FGD lahir dari kesadaran individu ke kesadaran kolektif organisasi.
Ide kegiatan ini dipantik oleh kegalauan seorang Bachtiar ’Batti’ Manajeng, salah satu The Magnificent 7 KAHMI Sulsel atau anggota Presidium KAHMI Sulsel atas problematika banjir yang saban tahun menggenangi kampung halamannya Malangke di Luwu Utara.
”Kami tidak pungkiri, salah satu alasan mengapa FGD ini begitu penting dan mesti segera dieksekusi karena kegalauan sahabat kita ini,” sebut Ketua Panitia FGD Asri Tadda, sosok lain yang sebagaimana Batti, juga datang dari Luwu Raya.
Dia menunjuk Batti yang matanya masih rada merah lantaran baru kembali dari rutinitas sibuknya di Gorontalo. Batti nampak kurang tidur. ”Ada kegalauan sekaligus kesadaran kolektif kami di KAHMI bahwa ini barang tidak bisa dipandang sebelah mata,” sebut Batti.
Apa yang bisa disimpulkan dari poin satu itu adalah jika ada persoalan dan solusi yang melekat dengan diri pengurus dan mereka mau mengeksekusinya itu berarti jalan pasti terbuka, dan mereka mengeksekusinya di tengah kesibukan sejumlah pilar panitia.
Batti sibuk dengan pekerjaan utamanya sebagai Regional Manager Syngenta sementara Asri dengan posisinya sebagai Juru Bicara salah satu kontestan Pilgub.
Kedua, KAHMI Sulsel menjadi organsiasi berbeda, peduli dan kreatif memberi solusi.
Ada keinginan kuat dari Koordinator Presidium KAHMI Sulsel,Ni’matullah Rahim Bone atau akrab disapa Ketua Besar untuk menjadikan organisasi tidak sekadar ’business as usual’.
”Sudah lama kita memikirkan betapa selama ini orang-orang mengambil sumber daya alam kita begitu masif, lalu ada banjir dan longsor. Harus ada payback ke alam,” kata Ni’matullah di depan Asri Tadda, akademisi ‘Si Kuncir’ Dr Aloq Natsar, Bachrianto Bachtiar, penulis dan sejumlah jurnalis
Payback yang dimaksudnya adalah harus ada yang dikontribusikan kembali ke alam sebagai bentuk pertanggung jawaban, kurang lebih begitu harapannya.
”Oleh sebab itu, kita mendorong adanya mandatory spending, harus ada tanggung jawab pengeluaran pembiayaan yang harus dikerjakan atau mandatory,” ujar sosok yang juga berpengalaman sebagai akuntan ini.
Menurut Ni’matullah, mandatory spending adalah sebuah keniscayaan bagi pemerintah untuk menganggarkan dan membiayai kebutuhan dan peruntukan keberlanjutan fungsi alam, seperti konservasi, penanaman pohon, adopsi pengelolaan yang berkelanjutan hingga penggunaan dana-dana CSR atau TJSL bagi perusahaan.
”Termasuk bagaimana mendorong agar ada peraturan daerah yang mensyaratkan itu, sebagai ketua DPD Partai saya masih punya kekuatan untuk itu,” imbuhnya.
Dia juga mengaku bangga dengan antusiasme peserta FGD, yang menyiakan data dan informasi yang kaya dan beragam. ”Banyak pale data dan informasi seperti ini,” celetuknya.
Poin ketiga, kolaboratif dalam berbagi pengalaman dan solusi.
Para peserta FGD ini nyaris lengkap, setidaknya dari sisi pihak-pihak yang mewakili pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten kota, aktivis LSM, warga KAHMI, media, perguruan tinggi bahkan mahasiswa pendemo pengusahaan tambang yang dianggap merusak lingkungan.
”Jika ada yang kurang itu adalah belum hadirnya BPBD atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah,” timpal Ilham Alimuddiin, kepala Pusat Kebencanaan Unhas.
Poin keempat, dari politik ke lingkungan, mainstreaming isu lingkungan di organisasi sosial kemasyarakatan.
Momen ini bisa disebut sebagai manifestasi atensi kepedulian aktivis HMI atau KAHMI pada isu lingkungan, isu yang sering dikesampingkan. “Karena orang-orang lebih suka proyek fisik, infrastruktur yang jelas uangnya,” kata Ni’matullah.
”Biasanya KAHMI bicara politik, kali ini kita bicara lingkungan, luar biasa ini,” tambah Fasilitator FGD Bachrianto Bachtiar.
Dia yang mengaku sepertinya sudah tidak cocok lagi sebagai fasilitator dan berharap ada generasi muda yang menjalankan fungsi itu, ’harus’ menerima ’godaan Asri Tadda’ yang menemuinya. Itu semua karena kadar persoalan bencana banjir dan longsor yang kian gawat. Semua terpanggil, memanggul persoalan.
Pria yang akrab disapa Opu Anto ini mengingatkan peserta untuk tidak lagi melaksanakan kegiatan seperti ini sebagai sekadar ’workshop-workshop forever’.
”Harus ada tindak lanjutnya, sebab kami sudah beberapa kali melakukan kajian tapi belum ditindaklanjuti,” ucapnya. ”Dokumen sudah ada, rekomendasi sudah diberikan ke pemerintah daerah namun sampai sekarang tidak ada tindak lanjutnya.”
Dia menyebut itu dengan mencontohkan bagaimana kajian spasial, kerentanan ekologi dan pemetaan rawan bencana di sekitar Latimojong beberapa waktu lalu namun gayungnya tak bersambut.
Poin kelima, reinforcing ‘coordination for the truth’
Tidak ada koordinasi, tidak ada kesepahaman yang sama di balik banyaknya pihak yang terlibat dalam kajian namun tak berbuah manis itu disampaikan pula oleh Husba Phana.
Pria yang mengaku anak Asli Bajo Latimojong ini menyebut ada beberapa bukti bahwa ’sesama institusi’ namun melakukan kajian dengan hasil kontradiktif, padahal yang mau diterima adalah kebenaran faktual dan hakiki.
”Di satu sisi menyebut ada ancaman pada DAS, pada bentang gunung, dengan adanya usaha pertambangan namun di sisi lain ada juga penelitian menyebut tak masalah, atau tak ada persoalan,” kurang lebih begitu ucapannya.
”Jadi yang benar yang mana,” katanya sembari melirik ke Kapus Kebencanaan Unhas, Ilham Alimuddin.
Poin keenam, KAHMI menunjukkan contoh bentuk kepedulian totalitas.
Meski ada sejumlah komunitas atau representasi kawasan Luwu Raya hingga Enrekang, Sidrap dan Wajo yang pada bulan Mei 2024 didera bencana, namun hadirnya perwakilan Kerukunan Keluarga Luwu Raya bisa disebut sebagai bukti keseriusan untuk menjadi bagian dalam penyelesaian persoalan banjir dan longsor terutama di Luwu Raya.
”Ada Pak Hasbi di sini, sebagai wakil KKLR, sudah menyuarakan bahwa pengusahaan tambang di hulu harus dihentikan,” seru Husba Phada.
Poin ketujuh, bukan semata kolaborasi tetapi juga penegakan hukum
Hadir perwakilan KLHK seperti Pusat Perubahan Iklim, Bio Ekoregion Sulawesi dan sejumlah pemerhati konservasi yang menyuarakan koordinasi, pentingnya kolaborasi, namun bagi seorang Dr Hasanuddin Molo, alumni Kehutanan Unhas, yang lebih penting adalah penegakan hukum dan pentingnya mendengar suara masyarakat yang tinggal di lokasi rawan bencana itu.
Dia menyebut demikian sebab ada indikasi lahan konservasi atau yang seharusnya menjadi ’preserve’ dan cadangan plasma nutfah untuk tidak diganggu oleh peruntukan eksploitasi seperti tambang emas.
Ada informasi – ini perlu dicek rinci lagi oleh jejaring KAHMI- bahwa lahan sekiar ribu hektar yang mestinya dilindungi namun dijadikan lokasi tambang dengan menggeser koordinat dan fungsi lahan sebelumnya.
Kedelapan, mengajak pihak swasta untuk berbagi peran dan sumber daya.
Jika melihat logo pendukung FGD KAHMI Sulsel ini nampak logo Pemkot Makassar dan PT Vale. Ada optimisme bagi KAHMI dan kita semua.
Oleh Asri Tadda disebut sebagai gambaran bahwa kegiatan digelar di Kota Makassar, kota yang juga ruwet pengelolaan kawasannya seperti waduk, pesisir, sungai, dan rentan banjir.
”Pengalaman banjir Makassar beberapa waktu lalu erat kaitannya dengan ketidakefektifan koordinasi dan pengendalian bencana karena kewenangan yang sulit jalan bersama,” kata Asri.
Sementara, kata Asri, hadirnya PT Vale sebagai supporter FGD iin tanda bahwa perusahaan besar nikel di segitiga Provinsi Sulsel, Sultra dan Sulteng itu committed pada ’win win solutions’ ketimbang menolak tambang sama sekali.
Sembari menganggukkan kepala dan menaikkan alis, Ni’matullah dan Asri Tadda memberi tanda bahwa ke depan KAHMI Sulsel siap bekerjasama dengan perusahaan seperti Vale.
Entah apa lagi di benak mereka tapi saya menduga keduanya akan setuju jika ada gelaran FGD seperti ini dengan output yang jelas hingga Ngopi Santai Membawa Solusi Bersama KAHMI Sulsel bisa jadi pilihan.
Kesembilan, KAHMI pedulil isu-isu sosial, ekonomi dan lingkungan dalam skala luas
KAHMI Sulsel, sesuai hemat penulis sedang bertransformasi menjadi organisasi yang tidak sekadar workshop wrokshop forever, atau semata bahas politik, atau, siapa berkuasa, siapa menang dan siapa dapat apa.
Mereka sedang bertransformasi sebagai penyedia data, informasi, ’pisau bedah analisis persoalan’ dan menawarkan solusi atas nama keselamatan bersama di Sulawesi Selatan.
Bukan hanya untuk warga Luwu Raya tetapi juga untuk mereka yang bermukim di Pesisir Teluk Bone, di pesisir Selat Makassar, bukan semata Latimojong tetapi bagi mereka yang berdiam di pegunungan Lombattang, Bawakaraeng hingga Bulusaraung. Bukan semata di Bajo atau Ulu Salu’ tetapi juga mereka yang tinggal di Taka Boneratee hingga Kalu-Kalukuang.
Penulis ingat saat Ketua Besar menutup pelaksanaan FGD.
”KAHMI tidak sedang berpolitik, kita tidak di situ, kita sedang menyiapkan sejumlah rekomendasi untuk calon kepada daerah kita, siapapun pemenangnya harus menjalankan ini semua,” kunci Koordinator Presidium KAHMI Sulsel itu.
Ketua Besar benar, bukan hanya KAHMI tetapi juga seperti IKA-IKA yang ada.
Okelah kalau begitu.
Penulis Denun