PELAKITA.ID – Tak seorangpun bisa melihat dunia apa adanya. Manusia dalam melihat dunia harus menggunakan “alat bantu”.
Para ilmuan atau intelektual akademik melihat dunia dengan bantuan teori yang diyakininya. Sementara orang awam melihat dunia dengan bantuan dugaan-dugaan dan atau asumsi-asumsi.
Saya sependapat dengan pihak yang berpandangan demikian.
Secara teoritis, kedudukan teori dan praktik adalah sama. Kecuali teori spekulatif, hal itu terjadi karena semua teori empiris dibangun dari praktIk: realitas empirik, sehingga teori bukanlah kumpulan idealitas dan normativitas yang lepas dari dunia realitas.
Sedangkan praktik bisa dibangun dari teori, sehingga memungkinkan praktik mendekati idealitas dan normativitas.
Namun secara praktis, kedudukan teori dan praktik adalah berbeda. Hal itu terjadi karena teori hanya berisi kemampuan untuk mengabstraksi, mengonseptualisasi, menggambarkan, menjelaskan, menimbang, mengevaluasi, dan meramal suatu praktik: fenomena tertentu.
Teori tak mampu mengubah praktik yang ada. Sementara, praktik yang dipenuhi realitas empirik tidak bisa menyalahkan teori yang sarat dengan idealitas dan normativitas.
Prediksi Putusan MK
Merespon ketidakpuasan politik dari berbagai pihak terhadap kecurangan pemilu 2024 terutama pilpres, di berbagai kesempatan saya telah menyarankan kepada pihak yang memiliki legal standing untuk mengurungkan niatnya mengajukan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) ke MK.
Sebaliknya, saya menyarankn agar menempuh jalur politik untuk menghindari kekalahan berantai yang berimplikasi terhadap menurunnya semangat memperbaiki kualitas demokrasi.
Dengan jalur politik, selain waktunya panjang (selama lima tahun), juga memiliki varian karena akan melibatkan berbagai elemen pejuang demokrasi.
Sejumlah pertimbangan mengapa saya sarankan demikian, lima diantaranya yang paling pokok, yakni:
Pertama, secara teoritis dan praktis, hukum adalah produk politik. Dengan demikian maka praktik hukum merupakan bagian dari praktik politik. Implikasinya adalah praktik hukum ditentukan oleh pihak yang mampu mengkonsolidasikan kekuatan politik;
Kedua, Pemilu adalah hajatan politik, sementara PHPU di MK adalah hajatan hukum. Dengan logika politik itu maka absurd bagi MK untuk memasukkan pertimbangan politik dalam menilai kecurangan pilpres 2024.
Patut disadari bahwa MK bukanlah lembaga peradilan independen yang khusus dibentuk untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tanpa batas terhadap kecurangan pemilu. Tugas dan fungsi pokok MK adalah menguji UU terhadap UUD. Memutus PHPU dapat katakan hanyalah “tugas sampingan” MK.
Pula patut diingat MK bukanlah seperti DPR yang bisa bekerja luas layaknya dalam hak angket. Juga jangan pernah berpikir bahwa cara kerja MK sama dengan peradilan kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan.
Bahkan andaipun kasusnya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dalam pemilu, tetap tidak bisa diangkat ke MK apalagi ke Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) dimana Indonesia bukanlah anggota ICC;
Ketiga, PHPU di MK adalah sengketa hasil, bukan sengketa proses. Sengketa proses ada pada penyelenggara pemilu: Bawaslu, KPU, dan DKPP. Dengan pembagian kewenangan itu maka sangat mudah bagi para hakim MK dan penyelenggara pemilu membersihkan dirinya dari berbagai tudingan;
Keempat, semua pejabat politik dan aparat negara termasuk hakim MK dan penyelenggara pemilu berada dalam psikologi politik yang tidak ingin pilpres ulang atau hasil pilpres dibatalkan. Psikologi politik itu disebabkan oleh dua tekanan politik, yakni beban-beban pertimbangan dan kemustahilan praktis.
Kelima, pada beban-beban pertimbangan, para pejabat politik dan aparat negara termasuk MK dan penyelenggara pemilu tidak ingin menghadapi kemungkinan resiko politik buruk.
Di bawah psikologi politik itu mengendap ketakutan politik akan terjadinya kekacauan politik berantai yang timbul dari gerakan pemakzulan presiden dan gerakan anti politik dinasti yang menemukan momentum politiknya.
Pada kemustahilan praktis, sangat mustahil MK mengadili dirinya sendiri, dimana putusannya yang meloloskan Gibran, putra Jokowi, sebagai cawapres dituding berkontribusi besar terhadap kecurangan pilpres.
Selain itu, MK tak memiliki kapabilitas politik mengadili Presiden Jokowi dalam kasus politik cawe-cawe (political endorsement) dan politik dinasti (political kinship) yang juga berkontribusi terhadap kecurangan pilpres.
Kelima, penolakan hasil pilpres 2024 oleh berbagai pihak merupakan bentuk konflik politik, tepatnya konflik politik vertikal dan horizontal. Secara teoritis dan praktis suatu konflik politik harus diselesaikan lewat jalur politik, bukan lewat jalur hukum.
Sebagai konflik politik yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah dan MK bagian dari pemerintah, maka PHPU di MK mustahil terdapat mediator netral dalam mengadili kebijakan pemerintah.
Dalam teori konsensus politik, suatu konsensus politik hanya bisa terjadi jika melalui restorative justice. Sebab, penyelesaian konflik politik dan konsensus politik melalui jalur hukum atau an sich pengadilan merupakan cara terburuk. Hal itu disebabkan karena satu pihak merasa dikalahkan dan satu pihak lain merasa dimenangkan, sehingga syarat penyelesain konflik politik atau konsensus politik yakni win-win solution tidak tercapai.
Prediksi Pembangkangan Politik
Secara defenitif, demokrasi adalah pemerintahan repsentatif yang diselenggarakan oleh otoritas sipil secara periodik.
Demokrasi yang kuat ditandai oleh otoritas sipil yang legitimate, yakni pejabat politik hasil pemilu demokratis terlepas apakah mengantongi perolehan suara repsentatif minimal (minority repsentative) atau suara repsentatif maksimal (majority repsentative).
Sampai di titik ini tidak ada masalah.
Namun masalah serius akan muncul jika otoritas sipil yang terpilih berlangsung dalam pemilu yang tidak demokratis terlepas statusnya mengantongi suara minority repsentative atau majority repsentative.
Jika MK nekad memutus PHPU sama dengan yang diumumkan oleh KPU, maka itu berarti otoritas sipil yang akan membentuk dan menyelenggarakan pemerintahan repsentatif hingga tahun 2029 tidak memiliki legitimasi politik yang kuat.
Implikasi politik dari putusan MK yang “menguatkan” putusan KPU tentang hasil pilpres 2024 adalah dalam waktu tertentu terkonsolidasinya empat kekuatan politik yang menginginkan Indonesia bebas dari cengkeraman oligarki dan pemerintahan non-demokratis. Keempat kekuatan politik itu, yaitu:
Pertama, Kelompok kembali UUD45 dengan adendum. Kekuatan politik ini menginginkan pilpres kembali ke MPR dengan argumen pokok pilpres langsung terbukti membuat parpol jadi kerajaan oligarkis dan membuat anak bangsa terbelah;
Kedua, kelompok pemakzulan, dengan target semua penguasa non-demokratis: otoriter dan despotis harus jatuh melalui people power,
Ketiga, kelompok pemilu demokratis, dengan target semua pihak yang terlibat dalam pemilu curang merupakan lawan yang harus diawasi setiap saat; dan
Keempat, kelompok pro-demokrasi, dengan target tahap transisi, tahap konsolidasi, dan tahap tertib demokrasi harus berjalan secara simultan. Kekuatan politik keempat inilah yang akan menjadi oposisi politik loyal.
Menyelamatkan Persatuan
Nicollo Machiavelli, putra tunggal Renaisans, telah menulis padat tentang cara culas penguasa dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan lewat kombinasi hukum, kelicikan, dan kekuatan.
Tulisan itu sejatinya bertujuan untuk melakukan pendidikan politik agar rakyat atau siapapun dia selalu mewaspadai penguasa dan senantiasa berhati-hati atas berbagai tindakannya.
Tiga nasehat Machiavelli yang patut diingat untuk menjamin adaptasi politik, integrasi politik, dan stabilitas politik, yakni:
Pertama, penguasa agar bersifat kikir daripada bermurah hati kepada rakyat. Sebab, kalau penguasa bermurah hati dalam memberi bantuan pasti menggerogoti keungan negara lewat korupsi hingga berakhir pada tindakan memeras rakyatnya lewat pungutan pajak dan berbagai pungutan terselubung lainnya.
Pesan tersirat di dalamnya bahwa tidak ada gunanya subsidi kepada rakyat jika uang subsidi itu bersumber dari hasil pemerasan terselubung kepada rakyat;
Kedua, penguasa jangan sekali-kali merampas harta orang, karena orang lebih mudah melupakan pembunuhan orang tuanya daripada hartanya yang dirampas. Di sini tersirat pesan bahwa tidak ada gunanya pembangunan jika pembangunan itu hanya menyensarakan rakyat; dan
Ketiga, jangan pisahkan agama dengan negara, karena agama merupakan media efektif dalam mempersatukan rakyat.
Pesan tersiratnya adalah tidak ada gunanya mendorong persatuan atau toleransi umat beragama jika hasilnya hanya membuat penganut agama itu menjauhi agamanya.
Mengabaikan tiga nasehat itu sama saja jika sengaja membesarkan pembangkangan politik. Terlebih lagi jika pemimpin rezim politik tidak lagi konsisten antara pikiran, ucapan dan tundakannya, dan telah melanggar norma umum yang dianut oleh masyarakat luas.