Asriadi, mahasiswa Pascasarjana Institut Teknologi 10 November Surabaya yang juga Aparatur Sipil Negara pada Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Makassar, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan membagikan pokok-pokok pikirannya terkait manifestasi Ekonomi Biru, Pengelolaan Sumber Daya dan dimensi pengembangan wisata bahari sesuai semangat desentralisasi.
Berikut tulisan bagian keduanya.
Wisata Bahari dan Permasalahan Kewenangan
Wisata bahari merupakan salah satu bentuk pengembangan destinasi pariwisata yang pusat aktivitasnya berada di sekitar pantai, pulau-pulau kecil, perairan pesisir dan laut.
Sebagai Negara megabiodiversity, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dan menjadi daya tarik kunjungan wisatawan mancanagera (wisman) dan wisatawan nusantara (wisnus) untuk melihat dan menikmati keindahannya, memiliki pulau-pulau kecil yang menawan dan eksotik dan kultur budaya masyarakat pesisir yang sederhana dan ramah.
Karena bertumpu pada sumberdaya alam maka menjaga, melestarikan dan memperhatikan daya dukungnya adalah kunci agar wisata bahari bisa lestari-berkelanjutan.
Yang perlu disadari bahwa pembangunan berkelanjutan seperti halnya pariwisata juga membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang konsisten dengan mencerminkan prinsip-prinsip keberlanjutan.
Pembangunan berkelanjutan membutuhkan pendekatan pencapaian terhadap keberlanjutan ataupun kesinambungan berbagai aspek kehidupan yang mencakup keberlanjutan ekologis, ekonomi, sosial budaya, politik, serta keberlanjutan pertahanan dan keamanan.
Keberlanjutan Ekologis merupakan prasyarat bagi pembangunan dan keberlanjutan kehidupan. Memelihara habitat dan ekosistemnya dapat menjamin sistem produktivitas, adaptabilitas dan pemulihan bagi sumberdaya yang ada dalam sistem ekologinya.
Memperhatikan daya dukung alami, daya asimilasi dan pemulihan sumberdaya, termasuk pula menghindari konversi alami dan modifikasi ekosistem karena berpotensi merusak sistem alamiahnya sumberdaya alam. Proses keberlanjutan ekologis dapat dicapai dengan memelihara keanekararagaman hayati, yakni genetika, spesies dan habitat/tatanan lingkungannya.
Kemudian pembangunan dikelola agar berwawasan lingkungan sehingga mendukung keberlanjutan ekosistem, seperti menghindari pencemaran lingkungan, merehabilitasi dan memulihkan ekosistem dan sumberdaya alam yang rusak.
Pembangunan itu hakekatnya adalah upaya sistematis dan terencana oleh seluruh komponen bangsa untuk mengubah suatu keadaan menjadi lebih baik melalui pemanfaatan sumberdaya yang tersedia secara optimal, efisien, efektif dan akuntabel dengan tujuan akhir adalah meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat secara berkelanjutan.
Mari melihat pembukaan UUD RI 1945 secara khusus disebutkan tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Secara simplifikasi nampak bahwa mandat yang diberikan Negara kepada para pemangku kepentingan, terkhusus bagi penyelenggara negara dan pemerintahan di NKRI adalah memuliakan manusia dan kehidupan bermasyarakat mulai dari unsur terkecil hingga skala global.
Sebagai negara kepulauan berciri nusantara maka potensi wisata bahari di Indonesia sangat besar. Potensi yang sangat besar ini perlu optimalisasi pengelolaan yang efektif, efisien, tepat, profesional dan melibatkan masyarakat lokal dengan berpedoman pada kerangka Ekonomi Biru maka sektor wisata bahari ini menjadi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.
Sayangnya pada beberapa kasus terjadi perseteruan antar pusat dan daerah berkaitan kewenangan mengelola potensi wisata bahari di daerah.
Kita menemukan beragam regulasi yang mengatur tentang pengelolaan kawasan pesisir dan laut seperti UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juncto UU No.1/2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32/2014 tentang Kelautan, dan UU No.10/2009 tentang Kepariwisataan.
Bagi pemerintah daerah, mengelola potensi wisata bahari di daerahnya adalah upaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan menyejahterahkan masyarakatnya.
Namun itu tidak mudah, sebab seringkali terjadi konflik kewenangan dalam mengelola sumberdaya tersebut, karena komunikasi yang minim dan kekakuan menerapkan regulasi sehingga seringkali terjadi komunikasi yang buntu antara pusat dan daerah, padahal kesemuanya adalah NKRI.
Perhatian serius tertuju pada soal jika seluruh potensi Pariwisata di suatu daerah dikelola oleh Pemerintah Pusat, padahal pemerintah daerah juga memiliki kewenangan dalam mengelolanya, sehingga menjadi pertanyaan apakah seluruh hasil pendapatan dari pariwisata tersebut dikelola dan direalisasikan oleh Pemerintah Pusat?
Apakah daerah tempat wisata berada dapat pula merasakan secara langsung pendapatan yang diperoleh dari aset tersebut?
Lebih dari itu, bagaimana kepastian hukum kewenangan pengelolaan sektor wisata pada daerah dalam konteks sebagai upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Masalah lainnya adalah berkaitan dengan pelaksanaan UU Kepariwisataan, terutama soal sarana dan prasarana, sumberdaya manusia, kebijakan skala daerah, penegakan hukum (penerapan sanksi), investasi (penanaman modal, terutama PMA).
Lalu juga berkaitan dengan rumitnya proses pembangunan pariwisata, pengelolaan dan pelestarian lingkungan tempat wisata berada, ketertiban dan keamanan tempat wisata, kewenangan dan koordinasi antar lembaga terkait pariwisata, minimnya anggaran pendanaan pengelolaan dan pengembangan kepariwisataan.
Mengelola Wisata Daerah Untuk Meningkatkan PAD
Dalam UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah terdapat hubungan kewenangan antara pusat dan daerah, antara lain bertalian erat dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah tangga daerah.
Melalui UU No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah, memberi kewenangan untuk mengatur pengelolaan kepariwisataan dan ditunjang pula melalui UU No.10/2009 tentang Kepariwisataan.
Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menyatakan bahwa Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa hubungan keuangan, pelayan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Kemudian dalam Pasal 18B ayat (1) berbunyi Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Pasal 1 angka (6) UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem NKRI.
Dalam sistem negara kesatuan, memiliki asas seluruh kekuasaan dalam negara berada di tangan pemerintah pusat meskipun ada kemungkinan mengadakan dekonsentrasi yang tidak diatur dalam konstitusi.
Konsep penyelenggaraan pemerintah daerah dalam praktik ketatanegaraan RI dengan adanya beberapa daerah yang berstatus istimewa/berotonomi khusus seperti Papua, Papua Barat, Aceh, DKI Jakarta dan DI Yogyakarta diselenggarakan dengan konsep desentralisasi asimetris.
Desentralisasi asimetris adalah pemberlakuan/transfer kewenangan khusus yang hanya diberikana pada daerah-daerah tertentu dalam suatu negara, yang dianggap sebagai alternatif untuk meneyelesaikan permasalahan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam rangka menjaga eksistensi daerah dalam NKRI.
Bagi daerah-daerah yang memiliki keistimewaan, mesti melihat regulasi atau Undang-undang yang mengatur sistem pemerintahannya yang istimewa dan diberi kewenangan khusus dalam mengatur dan mengurus pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya.
Sebagaimana dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
Kemudian Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Bagi pemerintah daerah yang tidak memiliki otonomi khusus, di Pasal 12 ayat (3) UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah membagi urusan pemerintahan menjadi urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren dan urusan pemerintahan umum.
Urusan pemerintahan konkurenlah yang menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah. Urusan pemerintahan konkuren terdiri dari urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Sehingga berkaitan dengan urusan wisata dalam UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, ini menjadi wewenang daerah otonom pada sub urusan pemerintahan pilihan sesuai dengan Pasal 12 ayat (3) UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa:
Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi:
- Kelautan dan perikanan;
- Pariwisata;
- Pertanian;
- Kehutanan;
- Energi dan sumberdaya mineral;
- Perdagangan;
- Perindustrian; dan
Dalam hal pengelolaan pariwisata maka dapat merujuk pada Pasal 30 UU No.10/2009 tentang Kepariwisataan yang menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang:
- Menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota;
- Menetapkan destinasi pariwisata kabupaten/kota;
- Menetapkan daya tarik wisata kabupaten/kota;
- Melaksanakan pendaftaran, pencatatan, dan pendataan pendaftaran usaha pariwisata;
- Mengatur penyelenggaraan dan pengelolaan kepariwisataan di wilayahnya;
- Memfasilitasi dan melakukan promosi destinasi pariwisata dan produk pariwisata dan produkpariwisata yang berada di wilayahnya;
- Memfasilitasi pengembangan daya tarik wisata baru;
- Menyelenggarakan pelatihan dan penelitian kepariwisataan dalam lingkup kabupaten/kota;
- Memelihara dan melestarikan daya tarik wisata yang berada di wilayahnya;
- Meneyelenggarakan bimbingan masyarakat sadar wisata; dan
- Mengalokasikan anggaran kepariwisataan.
Peran Pemerintah Daerah
Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”.
Kemudian pada Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.
Jika mengacu pada Pasal 1 angka (6) UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem NKRI. UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD).
Operasionalnya berdasarkan undang-undang tentang pajak dan retribusi daerah, yakni UU No.28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Berdasar pada ketentuan UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada Pasal 16 Ayat (1 dan 2) menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian perairan pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki Izin Lokasi. Izin lokasi ini menjadi dasar pemberian Izin Pengelolaan.
Kemudian dalam Pasal 20 pada Ayat (1) bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi pemberian Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional. Pada Ayat (2) bahwa Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional, yang melakukan pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil, untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Pemerintah Daerah menurut UU No.27/2007 Tentang Pengeloaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Plaua Kecil adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.
Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2022 Tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan pada Bab I Ketentuan Umum pada Pasal 1 Angka (5) disebutkan bahwa Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagaian urusan pemeirntah yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah provinsi kepada daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintah yang menjadi kewenangan daerah provinsi.
Kemudian disebutkan bahwa Tugas pembantuan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi, yang selanjutnya disebut Tugas Pembantuan Provinsi adalah penugasan dari Pemerintah Daerah provinsi kepada daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi.
Pada UU No. 23/2014 Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan.
Aktivitas pengelolaan sektor kelautan dan perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, energi dan sumberdaya mineral, perdagangan, perindustrian, dan transmigrasi berdasarkan Pasal 12 Ayat (3) adalah kegiatan yang masuk dalam urusan pemerintahan pilihan.
Karena itu pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi serta daerah kabupaten/kota harus didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional.
Kepentingan strategis yang dimaksud disini adalah urusan pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional, sehingga berdasarkan prinsip di atas mengenai kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota adalah: (a) urusan pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota, (b) urusan pemerintahan yang penggunaannya dalam Daerah kabupaten/kota; (c) urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam Daerah kabupaten/kota; dan/atau (d) urusan pemerintahan yang penggunaan sumberdayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota, berdasarkan pada Pasal 13 Ayat (4).
Bersambung…
Editor: K. Azis