PELAKITA.ID – Konvensi CEDAW, konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women sejak 22 tahun lalu menjadi pijakan sekaligus ajakan meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik.
Demikian pengungkapan Mardiana Rusli, ketua Bawaslu Sulawesi Selatan terkait dasar hukum, hambatan dan pentingnya partisipasi perempuan dalam politik pada Seri Dialog Kebangsaan ICMI Sulsel.
Dialog mengusung tema Masa Depan Demokrasi dan Kedaulatan Seri 4 bertopik Pemilu, Demokrasi dan Peran Politik Perempuan.
Kegiatan berlangsung pada Minggu malam, 10 September 2023.
Sebagai narasumber adalah Dr Andi Yuliani Paris (ICMI Pusat), Ketua Bawaslu Sulsel, Mardiana Rusli, Ketua DPRD Sulsel, A Ina Kartika Sari dan akademisi UMI, Prof Naidah Naing.
Selain CEDAW, Mardiana yang akrab disapa Ana menambahkan, dasar hukum lainnya adalah Undang-undang No. 7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (disingkat sebagai Konvensi Wanita).
“Lalu ada Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan (Inpres PUG),” tambahnya.
“Harapannya pembangunan nasional akan mengintegrasikan perspektif gender sejak proses perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, hingga evaluasi serta pemanfaatan hasil-hasilnya,” jelasnya.
Lalu, lanjut Ana, Undang-Undang 7 Tahun 2017 Pemilihan Umum dimana terdapat 14 pasal yang menjelaskan tentang pencalonan perempuan memiliki hak sekurang-kurangnya 30 persen.
“Itu berlaku dalam seluruh bidang jabatan politik dan menjadi persyaratan untuk Partai Politik dalam mengikuti Pemilu,” terangnya.
Representasi perempuan
Menurutnya, representasi politik perempuan adalah elemen utama jika kita hendak membicarakan upaya mempromosikan demokrasi yang ramah gender (gender democracy).
“Pada tanggal 6 Desember 2007 saat disahkannya UU Partai Politik, memberi jaminan keterlibatan perempuan 30 persen dalam proses politik,” jelas dia.
Dia juga menjelaskan dua dimensi penting keterlibatan Perempuan.
“Menyangkut upaya untuk mempengaruhi proses-proses pengambilan keputusan-keputusan publik dan politik Usaha untuk membangun basis sosial representasi politik perempuan baik melalui lembaga-lembaga representasi politik, baik formal maupun informal, dan partisipasi langsung,” paparnya.
Di depan, 50-an peserta Zoom, Ana mengungkap hambatan pada partisipasi politik Perempuan
Yang pertama adalah praktik budaya patriarkis.
“Pengaruh dan masih mengakarnya peran dan pembagian gender antara laki-laki dan perempuan yang tradisional yang membatasi atau menghambat partisipasi perempuan dibidang kepemimpinan dan pembuatan kebijakan atau keputusan,” jelas dia.
“Kedua adalah kendala-kendala kelembagaan yang masih kuat atas akses perempuan terhadap kekuasaan yang tersebar di berbagai kelembagaan sosial dan politik,” tambahnya.
Berikutnya adalah akses pendidikan dan informasi
“Kesadaran kritis perempuan tidak sekuat kaum laki-laki dikarenakan informasi dan pendidikan politik,” ujar Ana.
“Dampaknya, minat perempuan untuk terlibat dalam politik baik sebagai peserta Pemilu, pemilih maupun penyelenggaran Pemilu,” jelasnya.
“Yang keempat, kendala-kendala kelembagaan. Yang masih kuat atas akses perempuan terhadap kekuasaan yang tersebar diberbagai kelembagaan sosial dan politik,” sebut Perempuan yang pernah menjadi Ketua AJI ini.
Berikutnya adalah masih adanya stereotype gender. “Ini berkaitan dengan masalah perempuan dan politik, khususunya dalam hal kepemimpinan politik,” jelasnya.
“Perempuan tidak terlalu pas untuk masuk dalam dunia politik, dan yang lebih khusus lagi duduk di dalam posisi kepemimpinan politik. Tuntutan yang tinggi bahwa perempuan yang terlibat dalam kekuasaan dan otoritas harus mampu segalanya,” ungkapnya.
Dia pun memaparkan mengapa perempuan penting berpartisipasi pada aspek politik.
“Keadilan dan kesetaraan budaya partriarkis yang tidak ramah pada perempuan,” tegasnya.
“Ada konstruksi sosial budaya yang menempatkanperempuan seolah[1]olah hanya boleh mengurus soal-soal domestik saja. Tak ada hak untuk merambah area publik yang lain,” imbuh dia.
“Berikutnya adalah demi kepentingan Perempuan, bahwa tidak semua kepentingan perempuan dapat diwakili. Banyak sekali isu-isu yang sifatnya spesifik dan karenanya hanya bisa direpresentasikan oleh Perempuan,” ungkapnya.
Lalu berkaitan dengan emansipasi perempuan.
Menurut Ana, pengurus utamaan gender di semua bidang kehidupan, khususnya di semua lini dan strata mempercepat persamaan akses, partisipasi, kontrol, serta manfaat yang sama antara perempuan dan laki-laki.
Dia juga menilai perempuan sesungguhnya bisa membuat perbedaan.
“Politik adalah arena pertempuran. perubahan politik mempunyai dampak yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan, dan dalam banyak kasus gaya politik perem puan dan laki-laki berbeda,” kata dia.
Lalu, lanjut Ana, adalah bagaimana menjadi panutan.
“Bahwa perempuan bisa menjadi inspirasi dan pemberi semangat perempuan lainnya,” terangnya.
Sebagai perbandingan, Ana membeberkan data pemilih, data caleg laki-laki dan perempuan serta indikator peningkatan caleg perempuan.
Berdasarkan Berita Acara KPU Sulsel 2685/PL.01.2.BA/73/Prov/XII/2018 disebutkan ada 6.670.582 data pemilih Sulawesi Selatan untuk Pemilu 2018.
Ada laki-laki sebanyak 3.244.626 dan perempuan 3.425.956 yang tersebar pada 24 kabupaten kota, 331 kecamatan dan 3.059 kelurahan desa.
Lalu ada 26.357 Tempat Pemungutan Suara dan 194.077 pemilih AC atau non KTP Elektronik.
“Jumlah Caleg dan Aleg DPR RI dan DPD Pemilu 2019 Sulawesi Selatan untuk DPR RI, dari 218 laki-laki ada 24 terpilih, dari 116 aleg Perempuan, terpilih 5, dari 33 calon DPD teprilih Perempuan 1,” sebut Ana.
Untuk konteks Sulsel, Aleg DPRD Provinsi hasil Pemilu 2019, terdapat 85 kursi dengan distribusi Aleg Perempuan 23 dan Aleg Laki-laki 62 orang.
Dia juga menangkap fakta, tantangan sekaligus peluang peningkatan keterwakilan Perempuan dengan menyebut UU 7 tahun 2017.
Tentang aturan yang menegaskan kuota perempuan penetapan rekapitulasi DPB nomor 78/PL.01.2/2022 oleh KPU Provinsi Sulawesi Selatan.
“Dimana ditetapkan jumlah pemilh Laki-laki 3.244.626, sementara perempuan 3.425.956 total 6.670.582,” ungkapnya.
Ana menilai dari sisi jumlah perempuan lebih banyak, harusnya yang dipilih dari kalangan mereka tetapi yang terjadi sebaliknya.
Yang kedua adalah dari aspek Daerah Pemilihan yang menurutnya menggunakan dapil-berwakil-banyak yang rata-rata berjumlah tujuh – sembilan kursi juga mewajibkan perempuan ada dalam satu dapil.
“Sehingga partai harus bekerja keras untuk pemenuhan dapil. Salah satu Dapil di Makassar untuk partai PBB kehilangan 1 dapil dikarenakan ketiadaan calon dari kelompok perempuan,” ungkap dia.
Kedua, lanjut Ana, sistem Ziper pasal 245 dan Pasal 246 ayat (1) dan ayat (2).
“Namun demikian, sebagian besar Caleg perempuan masih ditempatkan pada nomor urut 3 dan 6,” tambahnya.
“Dengan demikian zipper system diharapkan dapat meningkatkan angka keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Quota dibagi rata, mengadopsi formula proporsional dengan metode kuota. sante lague,” pungkasnya.
Editor: K. Azis