PELAKITA.ID – SYAMSUDDIN Umar namanya. Biasa dipanggail Syam atau “Pak Syam” bagi yang lebih muda. Namun ada juga yang menyapanya, “Pak Haji”. Mungkin kesan religius yang kental dalam dirinya saat ini.
Syam adalah seorang legenda hidup. Bagi dunia sepakbola Indonesia.Terutama bagi pecinta olahraga si “kulit bundar” di Indonesia timur, khususnya Makassar yang selama ini menjadi salahsatu kiblat sepakbola tanah air.
Sebagai legenda, tentu saja prestasinya terbilang moncer dan komplit. Sebagai pemain, dia pernah membawa PSM Makassar menjadi juara Piala Soeharto era perserikatan tahun 1974.
Sebagai pelatih, rasanya Syam satu-satunya sosok yang pernah membawa tim “Juku Eja” (julukan lain PSM, red) juara di era berbeda, yakni juara Perserikatan 1992 dan Liga Indonesia (Ligina) musim 1999-2000.
Bahkan pada era Ketum PSSI Kardono, Syam pernah dikirim oleh federasi “berguru” kepelatihan ke Brazil bersama Rusdi Bahalwan dari Persebaya. Ketika itu usianya masih relatif muda.
Di luar sepakbola, Syam tercatat sebagai PNS di Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Pemprov Sulawesi Selatan (Sulsel).
Jabatan terakhir sebagai Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Sulsel sebelum pensiun 1 Desember 2015 di era Gubernur Syahrul Yasin Limpo yang kini Menteri Pertanian kabinet Presiden Joko Widodo.
Menelisik ke lorong sejarah PSM, sependek ingatan saya, Syam memiliki kelebihan dibandingkan legenda PSM lainnya.
Selain berlabel anak Makassar asli, ia tak sekadar menghadirkan Piala bergengsi bagi klub berjuluk “Ayam Jantan” dari timur. Namun Syam juga mewariskan sentuhan warna filosofi sepakbola “Jogo Bonito” ala Brazil pada PSM Makassar yang dikenal spartan, agresif dan pantang menyerah ala “kick and rush”.
Syam mengubah warna filosofi PSM Makassar. Setelah pulang dari Brazil. Ciri keras dipertahankan, kecepatan (speed) juga.
Hanya ditambah teknik (skill). Ia menilai filsofi tersebut diterjemahkan dalam skema bertahan serta memanfaatkan serangan balik cepat yang efektif dan mematikan dengan ditunjang komposisi pemain memadai.
Sedangkan koleganya Rusdi Bahalwan ketika itu juga memberi sentuhan baru kepada Persebaya Surabaya dengan mewariskan filosofi yang dikenal dengan “coming from behind”.
Kalau mau ditarik dalam konteks kekinian, dalam pekembangannya, taktik warisan Syam tersebut mirip dengan strategi ‘transisi” ala Bernardo Tavares saat dipercaya menukangi PSM Makassar hingga sukses menjadi jawara kompetisi BRI Liga-1 tahun 2021/2022.
Di tangan Tavares, para pemain diramu dengan formasi yang kelihatannya simpel. Penguasaan bola bukan yang utama. Di beberapa pertandingan yang dimenangkan PSM, justru penguasaan bola hanya 30 persen ke bawah.
Namun coach berkepala plontos asal Portugal itu mengandalkan pola penyerangan yang efektif, lewat kecepatan pemain sayap, dan bola pantul dari pemain tengah. Terbukti. Banyak gol dihasilkan dari 3-4 sentuhan saja.
Ketika kehilangan bola, semua pemain aktif melakukan pressing, kecuali William J Pluim yang siap menunggu bola kembali dikuasai dan memberi operan “true pass” ke pemain depan.
Keduanya sama-sama suka mengorbitkan “wonderkid” dengan memberi kesempatan menit bermain pemain muda. Yang berbeda. Syam pelatih yang kalem dan elegan. Tapi Tavares ekspresif. Selalu berteriak di pinggir lapangan.