PELAKITA.ID – Prof Dwia Aries Tina Pulubuhu sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Demokrasi, Konflik, Budaya, dan Humaniora Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM)-Universitas Hasanuddin menawarkan pendekatan ‘soft power’ untuk Papua.
Hal itu dinyatakan saat menjadi narasumber pada Focus Group Discussion (FGD) terkait penanganan kelompok bersenjata di Papua melalui pendekatan pengelolaan Pengamanan Daerah Rawan dalam rangka mendukung Pendekatan Kesejahteraan (Mixed Approach) di Jakarta.
Acara FGD berlangsung tanggal 6 sampai 7 Desember 2022 di Ruang Rapat Nakula, Gedung A Lantai 16 Kemenko Polhukam, Jl. Medan Merdeka Barat No.15 Jakarta Pusat.
Bersama Prof Dwia hadir Prof Muhammad Ruslin WR bidang akademik dan kemahasiswaan Unhas serta dan Dr. Sawedi Muhammad, Kepala Kantor Sekretariat Rektor Unhas.
Ketuga diundang Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia (Kemko Polhukam RI) Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri sebagai nara sumber pada Focus Group Discussion (FGD) itu.
Prof Dwia paparkan malakah ‘Soft-Power untuk Damai di Papua’. Dwia membandingkan konflik Papua dengan Aceh.
Beberapa jenis perbandingan itu; Pertama, Karakter. Papua bersifat horizontal sedangkan Aceh bersifat vertikal.
Kedua, Aktor. Papua aktornya adalah OPM (KKB) yang cenderung tidak terstruktur, dan memiliki banyak pemimpin. Sedang konflik Aceh, aktornya adalah GAM yang organisasinya terstruktur dan tokoh kunci teridentifikasi.
Ketiga, Peranan internasional. Konflik Papua keterlibatan dunia internasional terselubung dan juga provokatif. Sementara konflik Aceh peranan dunia internasional dimonitor oleh NGO Internasional dan juga fasilitatif.
Keempat, Trigger. Konflik di Papua pemicunya adalah pelanggaran HAM, marginalisasi OAP, ketidakadilan ekonomi internal dan pusat. Semenetara di Aceh pemicunya adalah dominasi militer.
Penjelasan berikut yang disampaikan Prof Dwia adalah terkait status hukum. Menurut mantan Rektor Unhas itu bahwa Papua sejak awal tidak pernah masuk di dalam 3 kategori Hukum Internasional untuk selfdetermination (Bekas Jajahan, Perwalian, dan Tidak Berpemerintah Sendiri).
Berbeda dengan Timor Timur yang masuk daftar tidak berpemerintah sendiri.
Penguatan status hukum berikut adalah Papua masuk ke Republik Indonesia melalui Persetujuan New York yang ditandatangani oleh Belanda dan Indonesia pada 15 Agustus 1962.
Persetujuan itu dicatat oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusinya pada 21 September 1962, Nomor 1752 (XVII).28 Belanda akan menyerahkan kedaulatan Papua Barat ke United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA).
Status hukum berikutnya yang disorot Prof Dwia adalah status otonomi khusus untuk Papua melalui Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001. Hak Masyarakat Adat atas tanah ulayat dan wilayah di Papua.
Masyarakat Adat di Papua diakui dan dilindungi oleh Undang-Undang Otonomi Khusus. Masyarakat adat harus dilibatkan dalam pembahasan pengadaan tanah ulayat untuk mencapai konsensus terkait transfer dan kompensasi tanah.
Jika ada perselisihan tentang pengadaan tanah ulayat, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota akan secara aktif menjadi penengah secara adil.
Dwia juga menyampaikan masalah tantangan konflik Papua. Ia mengidentifikasi tantangan tersebut berupa; Kondisi Geografis Sulit, IPM Rendah dan Kemiskinan tinggi, Populasi Pendatang meningkat, Distribusi Pembangunan dan Otsus belum merata (Polarisasi), Konteks adat dan ulayat terabaikan, Pelanggaran HAM berlangsung, berita disinformasi memecah-belah masyarakat/ saling curiga, dan Social capital rendah.
Tawaran Soft Power
Tawaran Prof Dwia sebagai resolusi konflik dan damai di Papua adalah soft-power berupa; Security Approach yang humanis, dialog dengan entitas Papua, peningkatan kapasitas SDM, Kesejahteraan melalui community development.
“Lahirkan bibit perdamaian, penegakan sanksi hukum,” tegas Dwia.
Nara sumber lain yang hadir adalah Cahyo Pamungkas (Brin), Bambang Shergi Laksmono (Fisip-UI), Gabriel Lele dan Arie Ruhyanti (UGM), dan Teuku Rezasyah (Unpad).