PELAKITA.ID – Potensi kelautan dan perikanan menghadapi banyak ancaman yang dapat mengurangi manfaatnya pada pembangunan berkelanjutan.
Di masa lalu, pengelolaan perikanan menggunakan pendekatan spesies tunggal, yang paling sering berhasil di negara-negara beriklim sedang dengan tata kelola dan kepatuhan yang baik.
Waktu berlalu, tantangan berubah, pengelolaan perikanan yang efektif menjadi kebutuhan sekaligus tantangan dalam perikanan multi-spesies dan multi-alat yang kompleks di banyak negara. Meski demikian, karena potensi perikanan di kawasan seperti Asia Tenggara telah menurun, kebutuhan akan pengelolaan yang lebih efektif dan adil menjadi semakin nyata.
Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan (EAFM) adalah pendekatan pengelolaan terpadu di seluruh wilayah pesisir dan laut serta sumber daya alamnya yang mempromosikan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan seluruh ekosistem.
FAO (2003) mendefinisikan Ecosystem Approach to Fisheries (EAF) sebagai : an ecosystem approach to fisheries strives to balance diverse societal objectives, by taking account of the knowledge and uncertainties about biotic, abiotic and human components of ecosystems and their interactions and applying an integrated approach to fisheries within ecologically meaningful boundaries.
Mengacu pada definisi tersebut, secara sederhana EAF dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan seperti kesejahteraan nelayan, keadilan pemanfaatan sumberdaya ikan, dll.
Itu dicapai dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan.
Dalam konteks ini, beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAF) antara lain adalah bahwa usaha perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh ekosistem;
Kedua, Interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan ekosistemnya harus dijaga;
Ketiga, perangkat pengelolaan sebaiknya compatible untuk semua distribusi sumberdaya ikan; keempat, prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan; Kelima, tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia (FAO, 2003).
Berdasarkan definisi dan prinsip EAFM tersebut di atas, maka implementasi EAFM di Indonesia memerlukan adaptasi struktural maupun fungsional di seluruh tingkat pengelolaan perikanan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Dengan adaptasi itu, maka prinsip, cakupan dan substansinya bbisa ditnasformasikan, baik dalam perencanaan maupun implementasi dan evaluasinya.
Indikator EAFM
Indikator secara sederhana didefinisikan sebagai sebagai sebuah alat atau jalan untuk mengukur, mengindikasikan, atau merujuk sesuatu hal dengan lebih atau kurang dari ukuran yang diinginkan.
Menurut Hart Environmental Data (1998) dalam Adrianto (2007), indikator ditetapkan untuk beberapa tujuan penting yaitu mengukur kemajuan, menjelaskan keberlanjutan dari sebuah sistem.
lalu, memberikan pembelajaran kepada stakeholders, mampu memotivasi (motivating), memfokuskan diri pada aksi dan mampu menunjukkan keterkaitan antar indikator (showing linkages).
Selanjutnya, dalam konteks manajemen perikanan sebuah indikator dikatakan sebagai sebuah indikator yang baik apabila memenuhi beberapa unsur seperti menggambarkan daya dukung ekosistem.
Kedua, relevan terhadap tujuan dari ko-manajemen. Tiga, mampu dimengerti oleh seluruh stakeholders.
Lalu keempat, dapat digunakan dalam kerangka monitoring dan evaluasi; kelima, long-term view; dan keenam menggambarkan keterkaitan dalam sistem ko-manajemen perikanan (Hart, 1998).
Sementara itu, menurut Pomeroy and Rivera-Guieb (2006), indikator yang baik adalah indikator yang memenuhi kriteria seperti dapat diukur, mampu dicatat dan dianalisis secara kuantitatif atau kualitatif.
Tepat: didefinisikan sama oleh seluruh stakeholders, konsisten atau tidak berubah dari waktu ke waktu. Sensitif atau secara proporsional berubah sebagai respon dari perubahan aktual.
Dalam beberapa kasus, pemilihan indikator terkait dengan tujuan yang akan dicapai dari monitoring dan evaluasi.
Ketika satu indikator sudah ditentukan, proses berikutnya adalah pemilihan metode untuk mengukur indikator tersebut.
Beberapa syarat penting yang harus diperhatikan adalah bahwa metode tersebut sebaiknya akurat dan reliabel, artinya tingkat kesalahan yang ditimbulkan dari koleksi data dapat diminimalisir.
Kedua, biaya efektif, artinya sejauh mana metode ini akan menghasilkan pengukuran indikator yang baik dengan biaya yang rendah.
Ketiga, kelayakan, artinya apakah ada unsur masyarakat yang dapat melakukan metode pengukuran indikator; dan keempat, ketepatan, artinya sejauh mana metode yang dipilih sesuai dengan konteks perencanaan dan pengelolaan perikanan.
Dalam pengembangan indikator bagi pengelolaan berbasis ekosistem (EBM), salah satu pendekatan yang sering digunakan adalah pendekatan DPSIR (Drivers-Pressures-State-Impact-Response) seperti yang ditawarkan oleh Turner (2000) untuk konteks pengelolaan pesisir atau yang lebih sederhana dalam konteks hanya Pressures-State-Impact oleh Jennings (2005), Adrianto (2007) dalam konteks pengelolaan perikanan.
Dalam hal ini, indikator dibangun berdasarkan siklus DPSIR atau PSI sehingga idenfitikasi mitigasi kebijakan sebagai respon dari perilaku indikator dapat dilakukan dengan tepat.
Sementara itu, dikutip dari newsletter Bay of Bengal Large Marine Ecosystem BOBLME, EAFM disebut sejatinya pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan.
Disebutkan, EAFM adalah cara praktis untuk mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan untuk perikanan dengan menemukan keseimbangan antara kesejahteraan ekologi dan manusia melalui tata kelola yang baik. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan terpenuhinya kesejahteraan umat manusia dan keberlanjutan fungsi ekosustem, ini bisa terlaksanana jika ada tata kelola yang baik.
Lalu apa itu keberlanjutan ekologi? Yaitu fungsi ekosustem yang dapat memaksimalkan jasa ekosistem secara terus menerus, atau berfungsinya keanekaragaman hayati yang mengarah pada ketahanan ekosistem. Selain itu, tercipta struktur dan habitat ekosistem yang mendukung, lautan, wilayah pesisir, dan daerah aliran sungai yang sehat serta jaring makanan berdasarkan beragam sumber produksi primer
Kesejahteraan manusia, pada aspek kekayaan, kesehatan, pendidikan, ketahanan pangan, hak azasi manusia, koneksi dan hubungan sosial dan budaya serta keamanan
Lalu apa itu tata kelola yang baik? Yaitu, cara aturan dan peraturan formal dan informal ditetapkan dan diterapkan. Ini mencakup mekanisme perencanaan dan implementasi, proses dan lembaga yang melibatkan warga dan kelompok masyarakat lainnya yang menyuarakan kepentingan mereka, menengahi perbedaan, menggunakan hak hukum mereka dan memenuhi kewajiban mereka melalui pengelolaan sumber daya
Keberlanjutan ekologis meliptui ekosistem laut, kondisi lingkungan, jaring makanan, dan DAS yang terhubung.
Kesejahteraan manusia: semua komponen manusia yang bergantung dan mempengaruhi ekosistem sementara tata kelola yang baik meliputi kelembagaan dan pengaturan yang efektif untuk pengaturan dan peraturan pelaksanaannya.
Catatan tambahan
Prinsip EAFM bukanlah hal baru, Untuk perikanan telah ditetapkan Kode Etik Perikanan yang Bertanggung Jawab (CCRF) yang dikembangkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) dimana semua negara anggota FAO setuju ke CCRF pada tahun 1995.
Pendek cerita, EAFM dibangun di atas “manajemen perikanan” konvensionl yang meliputi target spesies; spesies tunggal atau multi-spesies.
EAFM mencakup sasaran dan tangkapan sampingan, dampak perikanan terhadap ekosistem, pengelolaan terpadu, pengelolaan multiguna , ancaman terhadap perikanan dari faktor eksternal tata kelola yang baik dan manfaat sosial-ekonomi.
Untuk perencanaan tata ruang laut (MSP) seperti digambarkan di atas adalah suatu proses publik untuk menganalisis dan mengalokasikan distribusi spasial dan temporal kegiatan manusia di wilayah pesisir dan laut untuk mencapai tujuan ekologis, ekonomi dan sosial yang biasanya ditentukan melalui proses politik.
Pemanfaatan jejaring kawasan konservasi laut sering menjadi aspek dari MSP.
EAFM adalah bagaimana “menemukan keseimbangan, keseimbangan antara konservasi dan penggunaan berkelanjutan sumber daya alam, keseimbangan tujuan ekologis, ekonomi dan sosial.
Pilihan akan membutuhkan pertukaran dan kompromi. Oleh karena itu, EAFM adalah sebuah proses negosiasi seputar alokasi sumber daya (baik yang hidup maupun yang tidak hidup).
Dikutip dari berbagai sumber seperti FAO, KKP, hingga BOBLME.
Editor: K. Azis