Perasaanku sedih. Karena, kita tidak terbiasa bertanggung jawab. Korannya dibawa dari rumah. Lalu, dilepas begitu saja di ruang publik, menjadi sampah.
PELAKITA.ID – Dalam hidupku dari SMP sampai SMA, rasanya saya hanya bisa baca koran dua kali setahun. Saat Idul Fitri dan idul Adha.
Itulah kesempatan berharga yang tidak pernah saya sia-siakan. Koran-koran ini berhamburan di lapangan, usai salat Ied. Lebih sering di lapangan sepakbola Gelora Kie Raha Ternate Maluku Utara, tempat kami berdomisili.
Sudah lupa dengan siapa tetapi saya termasuk yang paling terakhir pulang. Itu karena saya harus mengumpulkan koran-koran bekas itu lebih dahulu. Tentu, bukan untuk dijual kembali. Sebab waktu itu, rasanya belum ada jasa beli koran bekas.
Kalaupun ada, mungkin saya tidak menjualnya. Saya kumpul koran ini semampu yang bisa dibawa pulang. Semua koran ini saya tumpuk di rumah. Sesudah itu, dibaca satu persatu sampai habis.
Banyak jenis korannya. Namun yang paling saya ingat adalah Berita Yudha, Kompas dan Suara Pembaharuan. Kalau majalah, saya sering membaca Panji Masyarakat dan Suara Masjid karena dua ini yang bisa ditemukan gratis di Masjid.
Semua berita saya lahap. Bahkan, cerita bersambung yang paling saya gemari adalah rubrik wayang yang ditulis di sudut bawahnya koran Berita Yuda.
Ada juga satu tulisan di koran Kompas yang sangat saya gemari. Walaupun kurang mengerti alias puyeng setelah membacanya. Saya tetap setia membaca. Penulisnya bernama M.A.W. Brouwer. Nama lengkapnya Martinus Antonius Weselinus Brouwer.
Dia yang lahir di Delft, meninggal di negeri Belanda itu, adalah seorang fenomenolog, psikolog, budayawan yang sangat dikenal karena kolom-kolomnya yang tajam, sarkastik dan humoris di berbagai media cetak Indonesia tahun 70 hingga 80-an.
Belakangan saya dapat cerita dari sahabat saya, Tasrif Siara. Beliau kabarkan mengenai seorang penulis lain yang mengulas tulisan Brouwer. Dialah Mahbub Junaidi yang adalah seorang sastrawan Indonesia.
Entah bergurau atau serius. Mahbub Junaidi pernah sebut, hanya ada dua orang yang mengerti tulisan-tulisannya Brower, yaitu, dia (Mahbub) dan Brower Sendiri.
Saya senang dengar cerita ini, karena menemukan alasannya. Mengapa dahulu kala, saya sangat bingung membaca tulisannya Brouwer tersebut. Brouwer menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Indonesia dan harus kembali ke negeri Belanda dan kemudian meninggal di sana oleh karena permohonannya untuk menjadi Warga Negara Indonesia tidak dikabulkan.
Hari ini tanggal dua Mei 2022, saya melihat koran-koran berhamburan usai sahalat Idul Fitri di lapangan Watulemo Palu.
Memoriku menjalar jauh ke belakang. Saya mengamati, tidak ada orang yang peduli dengan koran-koran itu. Semua lalu lalang sambil menginjaknya.
Barangkali sedikit lagi, akan dikumpulkan oleh para pemulung, atau, dinas kebersihan. Perasaanku sedih. Karena, kita tidak terbiasa bertanggung jawab. Korannya dibawa dari rumah. Lalu, dilepas begitu saja di ruang publik, menjadi sampah. Sebab itu, artikel ini saya tulis.
Pesan besar yang ingin saya titip adalah literasi. Agama ini, awal kedatangannya dimulai dengan perintah membaca. Dan, hari wisuda pasca training ramadan ini bertepatan dengan hari pendidikan nasional.
Hari wisuda itu bernama Idul Fitri. Tidak tahu di rotasi ke berapa atau kapan lagi, hari Idul Fitri ini bertemu dengan hari pendidikan Nasional Indonesia ini.
Rugi bila tidak terenungkan. Buktinya, koran-koran lebaran ini bertebaran dan berhamburan begitu saja. Padahal, di dalamnya ada begitu banyak informasi, berita dan ilmu pengetahuan terpatri. Sayang sekali.
Penulis:
Muhd Nu Sangadji,, M.Sc akademi Universitas Tadulako, Palu, founder COMMIT Foundation dapat ditemui pada email muhdnursangadji@gmail.com.
Editor: K. Azis