Kolom Iqbal Djawad: Mimpi Honda San

  • Whatsapp
Iqbal Djawad (dok: koleksi pribadi)

DPRD Makassar

Akademisi Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas dan pernah menjadi atase pendidikan di Tokyo, Iqbal Djawad, Ph.D, membagikan catatannya empat tahun lalu tentang kisah inspiratif Keisuke Honda, pemain AC Milan nan tenar. Meski editor fans Juventus, kali ini mau saja merilis artikel keren ini. Penting untuk sesiapa yang selalu mau berjuang demi cita-cita luhurnya. 

PELAKIITA.ID – Hujan lebat di Makassar beberapa hari ini memaksa saya untuk lebih banyak berdiam diri di rumah. Untungnya anak saya Vanya mau bersedia memberikan remote control televisi walaupun dia lagi asik menonton Channel Waku-waku Japan.

Kebetulan di Channel NHK acaranya tentang salah seorang pemain bola terbaik Jepang yang saat ini merumput di klub AC Milan Italia, namanya Keisuke Honda.

Seperti biasa NHK (TVRI nya Jepang) menampilkan acara ini untuk membangkitkan semangat nasionalisme anak-anak muda Jepang.

Acara ini menampilkan bagaimana Keisuke Honda bisa sampai pada puncak karier seorang pemain bola dunia.

Masih terbayang di ingatan saya pada tahun 1994 ketika Tabloid Bola “menugaskan” saya untuk mengirim berita setiap pertandingan bola di Japan League. Japan league sendiri dimulai tanggal 15 Mei, 1993 dimana waktu itu pertandingan perdananya antara Verdy Kawasaki melawan Yokohama Marinos.

Waktu itu Keisuke Honda masih berumur 5 tahun dan masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak.

Acara itu juga membahas bagaimana seorang Honda san bermimpi tentang masa depannya. Sangat menarik dan membuat saya terharu karena mimpi nya dimulai dengan menulis esai yang ditulis saat Honda san lulus dari SMP. Menulis keinginan di masa depan adalah salah satu tradisi sekolah di Jepang.

Saya teringat anak saya Vanya, juga menuliskan esai sewaktu tammat SD di Jepang kalau suatu saat dia mau menjadi seorang chef dan pembuat kue.

Esai yang dibuat oleh Honda san pada bulan Maret 1999. Essainya berjudul “Mimpi Saya di Masa Depan”. Esainya panjang tetapi intinya seperti ini: “Saat saya besar nanti, saya ingin menjadi pemain sepakbola terbaik di dunia. Untuk menjadi pemain terbaik di dunia, saya harus berlatih lebih keras dari orang lain. Saya bukan pemain yang sangat bagus, tapi saya akan bekerja keras dan akan menjadi pemain terbaik di dunia. Ketika saya jadi yang terbaik, saya ingin jadi kaya dan membalas jasa orangtua saya. Saya akan jadi terkenal di Piala Dunia dan akan dipanggil bermain untuk tim Serie A. Setelah itu, saya akan jadi pemain inti dan bermain dengan nomor 10. Setelah bermain bagus di Italia, saya akan kembali ke Jepang. Melakukan pertemuan (dengan Federasi Jepang), diberikan nomor punggung 10 dan menjadi pemimpin tim. Saya ingin mengalahkan Brasil 2-1 di final (Piala Dunia).”

Esai ini tersimpan di SMP Honda san, dan menjadi kenyataan tahun 2014 ketika Honda san dikontrak untuk bermain di AC Milan dengan nomor punggung 10.

Tidak terasa, ada haru di dalam hati, terasa betul aura mimpi dan gairah yang muncul di dalam hati Honda san.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana tipisnya perbedaan antara mimpi dan ekpektasi yang dibayangkan oleh Honda san pada saat itu. Mimpi berasal dari alam bawah sadar sedangkan ekspektasi dibuat dengan alam sadar yang terkadang dipengaruhi oleh banyak faktor dan hal.

Saya juga belum bisa membayangkan sekiranya mimpi Honda san tidak terkabul. Di akhir acara Honda san mengatakan bahwa “Mengejar impian tidak mengenal kata kadaluarsa”.

Mungkin Honda san ingin mengatakan kejarlah mimpimu dengan cara yang baik, waktu dan semesta suatu saat akan menjadikan mimpimu menjadi kenyataan.

Beberapa waktu lalu ketika berkunjung ke Hiroshima bertemu dengan para Profesor dan teman-teman lab, kita berceritera tentang siapa klub Yakyu (baseball) dan Sakka (Soccer) yang terkuat di Jepang saat ini.

Saya mencoba untuk menanyakan tentang siapa yang menjadi dekan di Fakultas Applied Biological Science pasca meninggalnya Prof. Kazumasa Uematsu. Seperti kebanyakan orang Jepang, tidak suka membicarakan mengenai posisi atau kedudukan seseorang, para mahasiswa di lab Aquatic Animal Physiology tidak tahu siapa dekan mereka.

Mungkin karena mereka merasa tidak relevan membicarakan suatu posisi struktural di Fakultas, mungkin juga karena mereka menganut paham orang Jepang yaitu di posisikan (lebih tepatnya ditugaskan) bukan memposisikan diri apalagi mencari-cari posisi.

Mereka paham betul bahwa mimpi bisa dicapai dengan usaha keras, bukan dengan bergantung kepada seseorang atau kelompok, dan yang terpenting mereka percaya posisi merupakan resultante usaha keras dan performance kerja. Ketika saya menyebut bagaimana dengan Ichiro Suzuki, mereka bergairah lagi untuk bercerita dan ber”gosip”.

Cerita Ichiro San (pemain profesional baseball yang bermain di Mariners Seattle, Liga Utama Amerika) lebih menarik dibanding dengan pembicaraan posisi seseorang di fakultas, dan mungkin juga di Universitas.

Cerita tentang data home run Ichiro yang mencapai 118 Homerun dalam musim tahun lalu jauh lebih menarik. Ini terbukti dengan ketidaktahuan mereka termasuk para Profesor di lab tentang pejabat-pejabat Universitas. Menurut teman saya, orang Jepang tidak memiliki ekspektasi apa-apa tentang posisi dan jabatan.

Mereka lebih suka bekerja keras atas penugasan yang diberikan kepada mereka, mereka tidak berpikir individu, tetapi lebih berpikir kolektif untuk kemajuan suatu tempat kerja mereka.

Pembicaraan berlanjut dengan cerita tentang produk animasi atau film kartun jaman waktu saya masih kuliah di Hiroshima, tentang dragon ball, sailor moon, card captor, doraemon, termasuk Captain Tsubasa.

Tidak terasa jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.15 waktu Hiroshima, saya minta ijin untuk pulang ke Saijo Stasiun karena khawatir ketinggalan bus terakhir dari Hiroshima University ke Saijo Stasiun.

Selain itu saya harus cukup istirahat untuk mempersiapkan sesuatu keesokan harinya demi membawa nama Universitas dan Indonesia.

 

Editor: K. Azis

Related posts