Pernah merasa marah atau naik pitam karena ujaran dan postingan kebencian di media sosial? Jika ya, anda sedang diserang feomena ‘trolss’.
PELAKITA.ID – Di awal tahun 2021 sebuah tulisan yang dirilis oleh Microsoft Digital Civility Index (DCI) atau Indeks Keberadaban Digital menempatkan Indonesia di peringkat 29 dari 32 negara yang disurvei.
Survei terkait DCI dilakukan terhadap 16 051 responden pada 22 April – 15 Mei 2020 tersebut menunjukkan bahwa prilaku kesopanan atau keberadaban netizen Indonesia dalam bermedia sosial sangat rendah.
Sangat sering kita menemukan perilaku orang berselancar di aplikasi media sosial membuat emosi bergejolak, seperti hate speech, cyberbullyng, hoax atau penyebarluasan berita bohong, play victim, ujaran kebencian pada kelompok tertentu, pelecehan kelompok marginal, doxing berupa penyebarluasan data pribadi melalui dunia maya serta tindakan lainnya.
Itu dilakukan dengan sengaja memancing kemarahan dengan menuliskan pendapat kontroversi kemudian menjadi kerusuhan di dunia maya.
Fenomena perilaku yang mengganggu (disruptive), merusak (destructive) atau bahkan menipu (deceptive) dalam postingan media atau dunia maya biasa diistilahkan dengan troll atau trolling.
Sebenarnya, istilah troll telah ada dalam cerita rakyat dan sastra fantasi selama berabad-abad dan diambil dari karakter dongeng barat, mahluk yang berpenampilan buruk dan jahat.
Sekarang, definisi troll berkembang, di lingkup sosial dunia maya diistilahkan dengan trolling online dan daftar kegiatan trolling di Internet juga bertambah dan akan ada selama internet ada.
Beberapa penelitian telah melaporkan mengenai dampak dari fenomena Internet trolling yang sangat memprihatinkan, bahkan banyak media mainstream memberitakan fenomena bunuh diri akibat serangan ke media sosial pribadi milik korban.
Internet trolls atau pelaku yang mengirim pesan (atau juga pesan itu sendiri) di Internet berupa pernyataan menghasut, kasar atau menjengkelkan dengan tujuan untuk membangkitkan tanggapan emosional atau kemarahan dari pengguna lainnya.
Perilaku itu biasanya dilandasi oleh senang dan puas ketika berhasil mendapatkan reaksi emosional dan suasana kekacauan dalam komunitas korban-korbannya.
Masa pandemik membuat banyak orang mendadak melek digital walaupun etika dan budaya digital belum diajarkan serius. Rendahnya pendidikan digital terbukti membuat kesopanan masyarakat Indonesia dalam bermedia sosial merosot.
Ibaratkan saja bahwa, internet itu seperti air yang memenuhi sebuah guci dan kita adalah gelasnya. Kita akan mengalami kelebihan muatan lalu semuanya menjadi tumpah berantakan jika kita terlalu banyak menerima begitu saja air dari guci tersebut.
Troll mencari respons, menghabiskan banyak waktu tidak produktif untuk mencoba membuat orang marah dan tidak sabar. Olehnya itu, “Jangan beri makan troll”.
Produk troll dari mereka yang tidak peduli terhadap etika, postingan online yang sengaja ofensif atau provokatif berusaha merasuki pikiran dengan tujuan membuat marah.
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (Q.S Al-Anfal ayat 46).
Baraya, 17 Des 2021