AWALUDINNOER atau akrab disapa Wawan Mangile alumni Kelautan Unhas yang bertahun-tahun bekerja di Papua Barat berbagi cerita pengalamannya merekam kibasan ekor Cenderawasih. Kepada pembaca Pelakita,ID dia bagikan kisah memikat itu. Dia pun terinspirasi aktivitas Kelompok Tani Warkesi yang tetap setia menjaga si Burung Surga itu.
PELAKITA.ID – Dering alarm di gawai membangunkanku. Sudah pukul 5 subuh rupanya. Terlihat ada panggilan masuk dari Valdo yang tidak sempat saya angkat. Tak berselang lama dia kembali menelpon “Kaka kami jemput 10 menit lagi kita ke Warkesi,” kata Valdo, kawan sejawat di tempat kami bekerja.
Kami bergerak memecah dinginnya subuh. Mobil melaju menuju pengunungan Warkesi yang berada di belakang Bandara Udara Marinda, Waisai, Raja Ampat. Dibutuhkan waktu sekira 20 menit untuk mencapai Warkesi dari Kota Waisai.
Suara burung-burung menyambut kami di depan pintu masuk ke jalur pandakian. Valdo, dan dua kolega lainnya, Yanuar dan Etang, menyiapkan senter kepala (headlamp). Sepatu boat dan senter merupakan alat penting jika kita memilih waktu subuh untuk berjalan menuju lokasi burung Cenderawasih.
Kanopi hujan tropis yang begitu tebal membuat jalur pendakian masih sangat gelap. Selama perjalanan saya lebih banyak bertanya karena ini adalah kali pertama saya mengunjungi Warkesi. Sesekali mengatur langkah pelan menyesuaikan dengan terjalnya tanjakan.
Saya bisa merasakan bahwa jalur pendakian dirawat dengan baik, meski sudah ditutupi oleh dedaunan karena tamu burung berkurang drastis selama masa pandemi.
Masih jauh dari tempat hiding, suara burung Cenderawasih Merah (Red Bird of Paradise) terdengar jelas. Jenis burung ini adalah salah satu endemik Pulau Batanta dan Waigeo dengan ciri khas warna merah dan dua helai ekor panjang untuk jantan. Jenis lain yang juga berbagi habitat adalah Cenderawasih Botak atau Wilson Bird of Paradise.
Januar mulai menaiki rumah pohon atau hiding yang disiapkan oleh kelompok Tani Hutan (KTH) Warkesi untuk memudahkan wisatawan melihat burung Cenderawasih. Saya menyusul dengan kamera dan tripod.
Rumah pohon yang dibuat cukup kokoh mampu menampung 8 hingga 10 orang dewasa. Yanuar mengarahkan saya untuk memilih lokasi yang tepat mengambil gambar. Suara Cenderawasih makin ramai dan kencang.
Valdo akhirnya sampai di atas hiding yang tingginya 20 meteran. Mata saya tak pernah lepas dari ranah bidik kamera, suatu kemewahan menyaksikan burung surga ini bermain di alam.
Tak bisa dipungkiri Red Bird Paradise memiliki kemampuan menari yang sangat baik, mengerakkan sayap dan bulu-bulunya untuk menarik perhatian betina. Saya berhasil mengabdikan momen luar biasa ini.
Pembaca sekalian, tak terbantahkan bahwa jika ingin menjaga Cenderawasih, kita harus menjaga hutan, menghentikan perburuan dan perdangangan Cenderawasih sebagai cinderamata.
Dalam Buku Kepulauan Nusantara, Alfred Russel Wallace mengisahkan “New Guinea atau Papua saat ini adalah sebuah wilayah yang mungkin saja tidak akan pernah saya kunjungi lagi, sebuah wilayah dimana tidak seorang naturalis pun pernah tinggal di sana sebelumnya, sebuah wilayah yang memiliki lebih banyak benda-benda alam yang asing, baru dan indah dibandingkan belahan dunia lain.”
Begitulah Pace Wallace menggambarkan betapa tingginya keanekaragaman hayati tanah Papua yang harus kita jaga bersama.
Pembaca sekalian, kunjungilah Warkesi jika ingin melihat si Burung Surga Cenderawasih di habitatnya, rasakan sensasi menapak jalan setapak dan rimbun hutan Raja Ampat. Pastikan datang dengan cinta, sebab dengan demikian kita bisa ikut membantu KTH Warkesi menjaga hutan dan sumber penghidupan dari kegiatan Birdwatching.
Ayo ke Raja Ampat, ayo ke Warkesi, nikmati pesona si Burung Surga!
Editor: K. Azis