Apa yang harus dilakukan untuk meminimalkan dampak buruk aturan baru pengelolaan ruang laut (seperti implikasi UU Cipta Kerja) di tengah anggapan bahwa kapasitas masyarakat di Papua Barat masih rentan? Ssampai di mana praktik kolaborasi yang sudah diinisiasi pada beberapa program pengelolaan berbasis ekosistem itu?
PELAKITA.ID – Capaian manis proyek-proyek pengelolaan pesisir dan ruang laut di Papua Barat dalam satu dasawarsa terakhir terefleksi dari praktik kolaborasi yang efektif, edukasi dan penyadaran sosial yang intenstif yang bermuara pada naskah dokumen dan kesungguhan mengusung tata kelola seperti RZWP3K.
Ke depan, bukan semata memberi ruang hidup bagi masyarakat pesisir atau publik tetapi juga memberi mereka kesempatan untuk mereka bisa tahu atau jangan ‘malas tahu’, terlibat dan upaya peningkatan kapasitas dan mau menjadi bagian dalam pelaksanaan aturan pengelolaan agar tidak disebut ‘lain latihan lain main’. Termasuk bersiap menerima substansi dan praktik penyatuan tata ruang laut dan darat dalam tubuh UU Cipta Kerja.
Demikian benang merah pada kegiatan #marinepodcasts #deepdivewithexperts bersama pakar atau penasehat ISKINDO Papua Barat yang juga pemerhati pesisir dan laut Christovel Rotinsulu dan Ketua Iskindo Papua Barat, Semuel Kondjol yang dipandu oleh Kamaruddin Azis, koordinator Bidang Komunikasi, Informasi dan Ketenagakerjaan DPP Iskindo, 12/6/2021.
Jadi pengalaman
Kegiatan #marinepodcast diapresiasi Chris sebagai wahana berbagi pengetahuan. Menurut alumni Università Politecnica delle Marche Master of Science – MS Field Of StudyMarine Biodiversity, – di Italia ini, pengalaman bisa menjadi pelajaran bagi pemerhati pesisir dan laut terutama anggota Iskindo atau siapapun yang ingin melihat laut sebagai sumber penghidupan atau jalan karir.
Chris yang merupakan lulusan ITK Universitas Sam Ratulangi Manado angkatan 1990 ini adalah mantan koordinator Usaid Sustainable Ecosystem Advance (SEA) untuk Papua Barat. Proyek lima tahun itu adalah salah satu proyek prestisius yang dianggap efektif memfasilitasi proses transformasi pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem di area Wilayah Pengelolaan Perikanan WPPNRI 715
Jejak rekam perjalanan Chris bermula dari salah satu proyek Usaid lainnya di Sulawesi Utara dan Kalimantan Timur, yaitu pada Proyek Pesisir sejak tahun 90-an. Pengalaman dari sini menurutnya sebagai basis mengapa dia mendapat dukungan untuk studi lanjut di luar negeri.
Sementara itu, Semuel Kondjol adalah ketua Ikatan Sarjana Kelautan Iskindo yang juga alumni Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi dan baru saja menyelesaikan pendidikan S2 bidang Studi Manajemen Sumberdaya Akuatik, Sekolah Pascasarjana, Universitas Papua, Indonesia.
Sem, begitu sapaannya, meriset hasil tangkapan nelayan udang di Kampung Bakoi Kabupaten Sorong Selatan Provinsi Papua Barat.
Khusus untuk Christovel, kiprahnya sejak dulu adalah ketika dia dan anggota Proyek Pesisir menyelesaikan beberapa panduan pengelolaan pesisir dan ruang laut di Sulawesi Utara. Di Desa Blongko, terdapat lokasi perlindungan laut secara partisipatif dan telah menjadi target studi para pihak dalam tahun 90-an.
Sebagai misal, tahun 1999, beberapa perwakilan masyarakat dari lokasi proyek COREMAP I fase I pernah studi banding ke Blongko karena dianggap model yang baik untuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara kolaboratif dan berbasis masyarakat.
Di Papua Barat, Pemerintah AS melalui USAID SEA telah memfasilitasi Tiga Kawasan Konservasi Perairan dan disebut dapat memberikan manfaat penghidupan bagi lebih dari 13,000 nelayan di 43 desa dari ketersediaan ikan yang lebih lestari serta peluang dari sektor ekowisata bahari.
Selama masa proyek, USAID SEA menginisiasi berbagai program dalam hal pengelolaan Perikanan Berkelanjutan, Kawasan Konservasi Perairan, Rencana Tata Ruang Laut, serta Penegakan Hukum dalam pembentukan dan penguatan masyarakat pengawas atau Pokmaswas termasuk cakupan kawasan konservasi mencapai 680,000 ha (KKP Teluk Berau dan Nusalasi Van Den Bosch di Fakfak serta KKP Teoenebekia Seribu Satu Sungai Sorong Selatan).
Apa yang dilaksanakan selama lima tahun di Papua Barat juga berhasil menyelesaikan rencana tata ruang laut provinsi Papua Barat di tahun 2019, dengan luasan pemanfaatan 7,246,608 ha perairan provinsi. Mendukung memfasilitasi ruang pemanfaatan laut ini. Bersama SEA, kolaborasi perencanaan dihelat, ada proses konsultasi publik, serta proses formalisasi hingga penetapan 3 (tiga) Kawasan Konservasi Perairan (KKP).
Selain itu, pada sektor perikanan berkelanjutan, Proyek SEA USAID juga telah mendukung penelitian, penilaian stok, merancang strategi pemanfaatan komoditas strategis yaitu ikan puri (teri) di Misool Selatan, Raja Ampat (dalam luasan ~76,000 ha), yang kedua ikan terbang di kawasan Fakfak (dalam luasan 639,000 ha.
Yang unik adalah upaya perlindungan perikanan adat yang mengacu pada perlindungan Masyrakat Hukum Adat, 36 Kawasan Perikanan Adat (KPA) seluas lebih dari 260,000 ha telah terbentuk di kawasan Raja Ampat khususnya di Teluk Mayalibit dan Selat Dampier. KPA ini bahkan menetapkan 10 persen luasannya sebagai wilayah larang tangkap yang merupakan jejaring larang tangkap KPA terbesar di Indonesia.
Konteks kini dan nanti
Apa yang digambarkan di atas sesungguhnya adalah modal untuk memandang masa depan Papua Barat dari pesisir dan ruang laut. Roda kehidupan terus berputar, pada ruang dan waktu, dinamika terus menggelinding. Pasca SEA, ada banyak tanda tangan tentang dengan cara apa agar kolaborasi bisa terus digaungkan dan ancaman bisa ditepis bersama.
Semisal, sistem usaha kelautan dan perikanan yang semakin fleksibel dan kadang tak melihat spirit di balik kolaborasi di atas, praktik reklamasi adalah salah satunya yang mengancam saat ini di Papua Barat terutama di sekitar Kota Sorong yang disebut berpotensi merusak keindahan laut setempat.
Lalu, belum lagi Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil belum dimanifestasikan secara intensif atau betul-betul operasional, datang lagi UU Cipta Kerja, ada aturan tambahan yang menggabungkan ruang darat dan laut. Akankah ada investasi yang jor-joran dan melabrak tatanan yang ada?
Apatah lagi kalau menyebut daya pukul pandemi yang nyaris meluluhtakkkan dunia kepariwisataan bahari dan sendi-sendi ekonomi masyarakat pesisir dan pulau-pulau. Akankah pemangkukepentingan bisa respek pada capaian-capaian manis di atas, seperti legacy SEA?
Seperti apa pandangan pemerhati ekosistem pesisir dan laut Bung Christovel Rotinsulu dan Ketua Semuel Kondjol atas situasi itu? Bagaimana sikap mereka atas gelindingan transformasi UU yang begitu cepat? Seberapa siap masyarakat pesisir di Papua Barat saat diperhadapkan aneka regulasi?
Apa yang harus dilakukan untuk meminimalkan dampak buruk regulasi pengelolaan di tengah anggapan bahwa kapasitas masyarakat di Papua Barat berbeda dengan masyarakat di barat Indonesia?
Apa yang bisa dilakukan bersama alumni, Iskindo atau para pemangkukepentingan di Papua Barat?
Silakan tonton obrolan berikut ini. Yuk!
Penulis: K. Azis