PELAKITA.ID – Sudah lama, nama warung coto ini menyeruak di ruang grup Whatsapp Klaners Gowes Community (KGC). Bukan hanya itu, beberapa kolega juga menyebut warung coto di kawasan Turikale Maros ini sebagai coto juara.
“Menurutku ini yang terbaik, coto Dili,” kata Ammang, jurnalis senior di Makassar.
Pendek cerita, Boger Ji, salah satu pendiri KGC melempar ide ke grup Whatsapp: Gowes KGC ke Coto Dili. Tentu saja saya yang antusias bersepeda belakangan ini dan merasa siap untuk gowes jarak jauh menyatakan ikut. Tak tanggung-tanggung, istri saya pun terdaftar dalam list tur kali ini.
Kami bergerak tinggalkan rumah di Tamarunang, pukul 5.45 Wita. Sempat khawatir karena suasana mendung tapi kami terus bergerak. Tertahan di Jalan Alauddin Makassar karena hujan.
Setelah berteduh selama 5 menit, kami kembali mengayuh sepeda mengarah Jalan Pettarani, tujuan Urip Sumiharjo.
Sepanjang jalan saya melihat lebih banyak pengendara sepeda ketimbang roda empat.
Boger, sang penginisiatif tur sudah ada di depan Graha Pena menunggu saat kami sampai. Suasana mendung, membuat kami waswas, tapi sampai Tamalanrea tiada hujan.
Di sini, Ardi Muhammad ikutan. Sebelum lanjut ke Daya, kami sempat foto bertiga di depan kampus tercinta, Unhas.
“Imad dan Idol batal,” ucap Boger sembari mengayuh sepeda. Di Tamalanrea ada Ardi menunggu.
Kami sempat berhenti di ujung tanjakan Daya, dan dikejutkan berita OTT. “Ririe menyusul, dia sudah di jalan,” kata Boger. Jadi misi kali ini kami berlima. Saya, istri, Boger, Ardi dan Ririe.
Jarak Tamarunang Urip sekitar 13 kilometer sementara Graha Pena hingga Coto Dili Turikale Maros sekira 25 kilometer. Jadi untuk saya, total 38 kilometer. Perjalanan kami tempuh kurang lebih satu jam setengah.
Istri saya duluan sampai di Coto Dili. Di sana ada kejutan karena terparkir mobil Alphard DD 5 YL. Saya menyapa pemilik mobil, Redindo SYL yang merupakan Sekretaris Dinas Pariwisata Sulawesi Selatan. Dia masih ingat saya karena pernah bersua di acara Dinas Pariwisata.
Coto Dili memang enak. Sungguh! sangat enak, nikmat. Penulis bilang begini bukan karena telah menempuh jarak 37 kilmeter atau ditraktir Boger Ji tetapi asli enak.
Tak seperti coto-coto khas di Makassar yang berkuah sangat kental dan nyaris hitam-pekat, Coto Dili kuahnya lebih terang, aroma kacangnya sangat terasa dan ‘ada manis-manisnya’. Entah, in pengaruh kecap atau bagaimana yang jelas ada nuansa manisnya.
Menurut pria yang melayani kami, Coto Dili diilhami oleh nama usaha jualan coto di Kota Dili Timor Timur (Timor-Leste).
“Saat kerusuhan, pemilik warung coto ini, Hajja Hadrah meninggalkan Dili dan buka di sini,” katanya.
Kerusahan Dili terjadi tahun 1999 yang berujung referendum. Jadi boleh dibillang Coto Dili eksis lebih dari 20 tahun. Tahun-tahun yang menyempurnakan khasiat coto ini.
Oh iya, yang unik, di Coto Dili ini selain ketupat tersedia pula burasa, telur ayam masak dan kacang. Asesoris yang tak banyak dijumpai di warung coto lain. Lokasinya pun asik, persis di pintu masuk Kota Maros dari arah Makassar.
Mauki juga?
Penulis: K. Azis