Underwater drone mata-Mata dari China? Pakar ISKINDO: Biasa aja keleus

  • Whatsapp
M Putrawidjaja,M.Sc pakar Kelautan ISKINDO (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Beberapa hari belakangan ini beredar berita seputar penemuan drone bawah air yang ditengarai milik China di perairan Selat Makassar oleh nelayan.

Apa tanggapan pakar kelautan dari Ikatan Sarjana Kelautan (ISKINDO), M Putrawidjaja, M.Sc atau biasa disapa Mas Ciput ini?

Read More

Kata penemuan di atas mestinya menggunakan tanda kutip saja.

“Saya kasih tanda kutip di kata penemuan lantaran sebenarnya benda itu adalah alat survey hidrooseanografi yang tersangkut di jaring nelayan kemudian diangkat ke permukaan, dan karena ketidaktahuan benda apa itu gerangan, mereka serahkan saja ke pihak berwajib,” jelasnya melalui akun Facebook-nya.

Menurut Ciput, yang merupakan Environmental Safeguard Specialist pada perusahaan konsultan Castlerock Consulting ini, kejadian tersebut bukan baru sekali ini terjadi, dan tidak melulu milik negara asing.

Dia menyebut alat-alat survey kelautan milik Indonesia sendiri pun sering “ditemukan” oleh nelayan, bahkan tsunami buoy yang seharusnya jadi alat peringatan dini terhadap bahaya tsunami pun sering “ditemukan” oleh nelayan.

“Syukur-syukur kalau diserahkan ke pihak berwajib, kebanyakan dipreteli, dijual ke tukang loak atau kalau ada buoy-nya dijadikan pelampung jaring! Miris,” lanjutnya.

Menurut Ciput, alat tersebut sebenarnya adalah UUV (Unmanned Underwater Vessel) atau semacam kapal selam tak berawak, bisa dioperasikan secara jarak jauh (remote) dari satelit atau sepenuhnya autonomous dengan kecerdasan buatan (AI=Artificial Intelligence).

“Data yang dikumpulkan bermacam-macam, misalnya data batimetri (kedalaman laut), suhu, salinitas (kadar garam), penetrasi cahaya matahari ke dalam air, arus (arah dan kecepatan), tinggi gelombang, sampai klorofil,” tambahnya.

Data ini, lanjut Ciput, bisa dimanfaatkan untuk pembuatan peta laut (peta pelayaran/maritim, peta perikanan, peta zonasi tata ruang laut, peta geologi, pengelolaan perikanan untuk menghitung stok ikan atau kesuburan perairan, ruaya dan migrasi ikan, dan lain sebagainya.

“Termasuk perencanaan infrastruktur pelabuhan, dermaga, jembatan, sampai memprediksi perubahan iklim,” imbuh mantan Direktur Marine Science Techno Park (MSTP) UNDIP ini.

“Apalagi digunakan untuk militer, tentunya sangat mungkin, dan bukan hal yg tak lazim sejak Age of Sails pun sudah dilakukan.  Makanya semua ekspedisi pelayaran antar benua di masa lalu merangkap juga ekspedisi hidrooseanografi dan pemetaan laut atau maritim,” terang alumni Ilmu dan Teknologi Kelautan Universitas Diponegoro ini.

Infografis terkat alat dimaksud (dok: istimewa)

Menurut Ciput, di Indonesia, alat ini pun bukan barang baru. Lembaga-lembaga penelitian kita, seperti BPPT, LIPI, Pusriskel KKP, atau Hidros TNI-AL juga punya, meskipun mungkin secara teknologi agak ketinggalan, tapi secara fungsi sama saja.

“Tahun 2016, saat saya bekerja di UNDIP, saya pernah ikut rapat dengan salah satu vendor produsen alat tersebut, kalau tidak salah dari Prancis, yang mengajak kerjasama UNDIP.

Saya yang waktu itu mengepalai MSTP UNDIP di Jepara diundang karena rencana mereka butuh pangkalan untuk alat tersebut,” ungkapnya.

Meski demikian, kerjasama tersebut batal lantaran UNDIP harus menyediakan biaya maintenance-nya yang mahal tentunya, sementara alat tersebut gratis.

“Kenapa baru sekarang ramai di media? Hanya karena ada aksara China di body alat tersebut, hebohlah dunia persilatan sampai ke isu mata-mata,” lanjut alumni Tropical Coastal Management at University of Newcastle upon Tyne ini.

Lah itu Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan negara-negara maju lainnya sudah lama mengoperasikan alat tersebut di Indonesia, baik secara terang-terangan maupun diam-diam,” sebutnya.

“Kenapa diam-diam? Kadangkala kalau minta resmi malah tidak dikasih, alasannya rahasia negara, padahal data semacam itu biasa saya kerjakan selama bertahun-tahun. B aja keleus, kata anak milenial,” pungkas peraih gelar Master Kelautan dari Inggris ini.

 

Editor: K. Azis

 

Related posts