“Tiga hari lalu kawan saya di Pulau Rajuni Taka Bonerate buat status di Facebook: Hari ini ada lagi nyawa melayang karena bom ikan.” Miris bukan membacanya?”
PELAKITA.ID – Di tepian negeri, di Pulau Natuna, 12 Agustus 2020. Saya sedang rehat setelah latihan persiapan 17 Agustus, perayaan kemerdekaan NKRI. Akan ada pengibaran bendera merah putih bawah laut sebagai apresiasi atas nikmat kemerdekaan.
Di batas negeri, saya merenung. Sungguhkah kita sudah merdeka?
Tak lagi merusak masa depan anak cucu dengan perlikau destruktif, pada pantai, pada laut, pada karang, pada rumah masa depan generasi kita?
Sungguh, catatan spontan ini terbit setelah berpuluh desa pesisir, pulau-pulau kudatangi di Sulawesi.
Kehadiranku di Natuna, sejak awal tahun ini tak membuat pengalaman, kenangan dan hal-hal membebani pikiranku itu sirna. Apa itu? Destructive fishing, atau penangkapan ikan dengan merusak karang, membom dan membius. Pabo’ong, pabaraccung, kata orang di kampung halamanku.
Tiba-tiba saya terkenang obrolan dengan beberapa wanita janda di Pulau Barrang Lompo Makassar, atau perempuan yang memilih cerai setelah suaminya tak bisa lagi bekerja karena lumpuh penyelaman, karena terbius godaan rupiah dan berburu ikan dengan bius.
Akibatnya, dia lumpuh karena penyelaman. Ini di kampung halaman saya, di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan.
Sungguh malang pria itu. Istrinya pergi, kini dia nelangsa merenungi nasib.
Lalu saya bertanya dalam hari. Kenapa masih banyak masyarakat, nelayan yang menggunakan bom dan bius untuk menangkap ikan, padahal pemerintah sudah melarang, padahal UU sudah berlapis mengawalnya?
Contoh yang selalu kami diskusikan di Selayar, Sulsel. Apakah ada hubungannya dengan penggunaan kompresor yang mestinya dipakai untuk tambal ban itu?
Kenapa tidak melarang saja pemakaian kompresor? Atau setidaknya, memantau mereka saat membawa kompresor ke lautan?
Bertahun-tahun saya merenungi kenapa praktik itu tidak bisa hilang di negeriku. Pertanyaan ini sangat sederhana tapi saya merasa membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk mengurainya.
Saat ber-LSM pun saya tidak begitu yakin, apakah ini memang bisa dihilangkan.
Semua tahu bahwa dampak kerusakan ekosistem terumbu karang akan berimbas pada kualitas hidup sosial, ekonomi, pariwisata dan budaya. Akibat rakus pada hasil, terumbu karang jadi rusak.
Saat di Pulau Selayar, saya membaca bahwa praktik merusak ini terjadi turun temurun. Dari kakek, ayah, hingga cucu. Tapi yang pasti, mereka yang kekurangan kemampuan pendidikan, yang tak mau peduli masa depan generasi, biasanya merekalah penyebab kerusakan ini.
Saya tidak mengatakan bahwa itu masyarakat tetapi ada hubungannya dengan mereka di atas sana, bisa jadi para oknum aparat yang seharusnya menegakkan hukum juga.
Kalau lemah penegahakn hukum, masyarakat pasti berpesta pora di lautan.
Kalau ketat, mereka juga takut.
Jika demikian, kenapa tidak diperketat saja?
Padahal, masyarakat atau siapapun harusnya sudah tahu bahwa perputaran uang dalam sebuah desa nelayan akan semakin menurun seiring semakin menurunnya hasil tangkapan nelayan, kalau karang dibom, ikan pasti berkurang.
Saya mencatat di salah satu kampung di pesisir selatan Selayar, yang biasanya satu keluarga nelayan membelanjakan uangnya sebesar 100 rb per hari menurun menjadi 50 rb per hari.
Kenapa? karena nelayan tidak lagi mendapatkan ikan dengan jumlah yang sangat banyak, contohnya di Daerah Kabupaten selayar tepatnya di Desa Patikarya, terumbu karang sudah tidak bagus lagi, ini sangat berpengaruh dengan hasil tangkapan setiap harinya.
Pedagang sembako pun ikut mersakan dampak dari kerusakan ekosistem. Daya beli berkurang.
Tulisannya ngelantur ya? Tidak apa.
Jadi, selama beberapa tahun, saya menyaksikan akibat kerusakan terumbu karang pun terasa dalam kehidupan sosial.
Ada banyak pertengkaran-pertengkaran antara suami istri, konflik antara sesama nelayan, konflik antara nelayan dan aparat. Ini semua diakibatkan oleh kerusakan ekosistem yang menyebabkan nelayan kurang pendapat, rumah tangga guncang.
Saya yakin sekali bahwa jika pemboman ikan tidak segara dihentikan maka akan semakin banyak warga yang sengara.
Semakin hari penghasilan semakin menurun dan modal usaha semakin besar tentunya akan membuat kepala pusing dan stres.
Saya terenyuh saat ada di pulau terjauh di Selayar, di tenggara. Saya menyaksikan seorang ayah yang melampiskan amarahnya ke anak, anak dimarahi di pukul karena hal sepele saja (tidak wajar) akibatnya ke psikologi sang anak bisaja saja membuat anak tersebut jadi depresi, shok dan malas masuk sekolah yang akhirnya putus sekolah.
Lalu dampak lainnya pada kerusakan ekositem ke pariwisata. Pasti akan mengalami penurunan pengunjung khususnya wisatawan yang ingin meniknati keindahan underwater.
Ketika wisatawan melakukan penyelaman tidak ada kepuasan yang didaptkan hanya meninggalkan kenangan buruk di hatinya. Kenangan dan pastinya wisatawan tersubut tidak akan datang untuk ke dua kalinya.
Dampak lain kerusakan ekosistem adalah seluruh pantai kita akan habis tergantikan oleh tanggul, karena tanggul yang alami adalah terumbu karang itu sendiri, pasti kita banyak temui pembangunan tanggul-tanggul yang baru khusunya di daerah saya yang semakin banyak menggunakan batuan karang sebagai bahan dasar, padahal terumbu karang itu multi fungsi bisa menjadi pemecah ombak alami.
Padahal terumbu karang jauh lebih kuat dari tanggul buatan manusia, terumbu karang dijamin bisa meredam ombak yang besar dan insya Allah jika itu terjaga maka pantai kita akan aman dari tanggul beton.
Saat mengobrol dengan warga, mereka malah menjawab, jangan libatkan saya di kegiatan program LSM bapak karena lebih bahaya ke depannya.
“Saya malah akan setengah mati untuk cari uang yang secara tiba-tiba diperlukan. Dan biarlah takdir yang menentukan, saya lumpuh, setengah mati, atau mati gara-gara yang saya lakukan (nelayan),” kilah mereka.
Negeriku yang akan merayakan kemerdekaan, jika demikian adanya, adakah Jalan keluar?
Kebijakan sektor kelautan dan perikanan mana yang sudah serius meyelesaikan masalah ini? Bagai anak remaja yang baru menerima warisan, garis keturunan semakin rumit begitu juga masalah semakin rumit jika menyelesaikan masalah pada dahannya.
Bom ikan, bius, dan lain sebagainya kenapa masalah itu terus menerus berulang? Atau jangan-jangan sebagai bangsa kita tidak akan pernah berdaya?
Tiga hari lalu kawan saya di Pulau Rajuni Taka Bonerate buat status, “Hari ini ada lagi nyawa melayang karena bom ikan.” Miris bukan membacanya?
Negeriku, yang akan ulang tahun kemerdekaan, mari kita urai satu persatu masalah ini dan susun langkah baru. Untuk kesekian kalinya. Mungkin tak perlu tegas, keras atau hukum pelaku tapi curi hatinya, ajak dia bicara tanggung jawab, pada alam, pada generasi, pada lautan.
Bukankah di ayat suci disebutkan, telah terjadi kerusakan di darat dan bahari kareja ulah manusia? Karena ulah mereka yang rakus dan tak mau sabar berikhtiar?
Sudah jauh juga catatan saya ini. Mari sudahi. Toh, kopiku pun sudah tandas.
Jadi kebijakan itu, di manakah dia?
Kepada siapa kebijakan ini berpihak? Untuk aparat negara atau siapa? Kepada rakyat biasa, kepada nelayan, atau kepada pemodal besar?
Negeriku, jika masih bisa, mari merdeka, merdekakan rakyat dari ancaman destructive fishing yang bikin stres jiwa dan raga ini.
Natuna, 12 Agustus 2020
Penulis: Daeng Cambang