PELAKITA.ID – Kala itu, di tahun 2018, Pemerintah Desa Rajuni Kecil, Kecamatan Taka Bonerate, Kabupaten Selayar memamerkan jumlah anggaran pembangunan desa sebesar 1,4 miliar. Informasi itu tertulis di depan ‘Baruga Sayang’ yang plafonnya runtuh dan berlubang di sana-sini.
Beratus-ratus juta dianggarkan untuk biaya operasional pemerintahan desa berikut insentifnya, pembelian alat-alat kantor desa, juga pemberdayaan masyarakat namun tak dirinci di lembaran infografis mereka. Misalnya nama kegiatan, tujuan, uraian sub000-kegiatan dan anggarannya.
Sebuah AC juga terlihat di kantor desa yang selama ini acap diguyur angin tenggara nan menggigilkan.
Mereka punya banyak uang tahun itu.
Meski begitu, ada suasana geregetan kenapa fasilitas penadah air hujan tidak menjadi bagian dari rencana aksi mereka — membangun desa dengan dana itu. Intinya solusi agar air tak lagi dikais seperti ini yang menurutku rentan terkontaminasi partikel atau bahkan bibit bakteri.
Bisakah? Maksudnya, bisakah masing-masing warga yang belum punya bak penampungan air dibantu melalui pengadaan bak air bervolume besar atau wadah yang lebih inovatif dan dikelola oleh desa seperti di Pasifik yang dilakukan dengan membangun bak kolektif beberapa rumah.
Atau bikin kolam besar di salah satu bagian pulau (tidak harus) seluas lapangan bola, sedalam 4 atau 5 meter lalu air hujan diarahkan ke sana? Ini pikiran dangkal saja.
Harapannya agar fakta yang sudah bertahun-tahun dimana warga masih mengais air di lubang-lubang jebakan air hujan ini bisa ‘move on’ sedikit. Air yang mereka kais ini digunakan untuk masak nasi dan untuk diminum juga. Kita pasti kepikiran tentang unsur kapur di dalamnya.
“Air ini masih payau tapi kami campur lagi dengan air hujan yang ada di rumah,” kata perempuan dari Kampung Bajo, Pulau Rajuni, Taka Bonerate, satu pulau dalam atol ketiga terbesar dunia ini.