PELAKITA.ID – Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (DPW ISKINDO) Provinsi Sulawesi Tenggara, Amadhan Takwir, S.Kel, M.Si, menyatakan bahwa perairan Sulawesi Tenggara yang meliputi Wilayah Pengolahan Perikanan (WPP) 714 mempunyai pontensi kelautan dan perikanan yang sangat besar meski di sisi lain juga menyisakan persoalan pelik.
Kontributor Pelakita.ID, Jawadin mewawancarai Amadan terkait efektfivitas atau status WPP 714. Berikut laporannya.
Kaya dan luas
Menurut Amadhan Takwir yang juga dosen di Fakultas Kelautan dan Ilmu Kelautan UHO Kendari ini, potensi WPP 714 dapat diihat pada geliat pelaku ekonomi perikanan yang memanfaatkan area sekitar Teluk Tolo hingga Laut Banda.
“Ini area penangkapan ikan yang berpotensi sangat besar, setiap tahun dimanfaatkan. Setidaknya untuk kebutuhan ekonomi warga yang berdiam di sekitar pesisir. WPP 715 adalah kawasan migrasi jalur pontensi sektor perikanan,” kata Amadhan, (23 Juli 2020).
Ditambahkannya, Wilayah Pengolahan Perikanan WPP 714 memiliki garis pantai yang sangat panjang.
“Mulai dari wilayah perairan sekitar Kolaka, Perairan Bombana, sampai wilayah perairan Wakatobi. Daerah inilah yang memiliki pontensi pengembangan pengolahan perikanan yang sangat besar, dari usaha perikanan tangkap, budidaya laut dan pengembangan pariwisata,” ujarnya.
Meski demikian, dia menilai bahwa area ini juga minim sarana prasaran perikanan serta kian rawan karena ancaman alat tangkap merusak atau tak memperhatikan aspek keberlanjutan.
“Permasalahannya sangat jelas, selain karena konektivitas infrastruktur sektor Kelautan dan perikanan juga karena ancaman pola ekspploitasi yang merusak seperti masih adanya bom ikan, bius hingga alat tangkap tak ramah lingkungan lainnya,” tambahnya.
Salah satu yang diandalkan oleh Amadan di wilayah ini adalah potensi kelautan dan kepariwisataan, seperti keberadaan wilayah perairan Wakatobi.
“Ini salah satu harapan kita, merupakan satu dari sepuluh destinasi wisata nasional. Tak hanya itu, di WPP ini ada wilayah perairan Kota Kendari yang mempunyai Pulau Bokori, wilayah perairan Buton Induk, yang memiliki pantai Koguna, pantai Topa, lalu ada pantai Talaga, Katembe,” imbuhnya.
“Dan jangan lupa, di WPP ini ada wilayah perairan Muna memiliki Pantai Meluara, dan wilayah perairan Kolaka memiliki banyak pontensi wisata, potensi budidaya laut hingga usaha perikanan skala kecil,” tandasnya.
Nilai WPP
“Potensi perikanan di WPP 714 yang meliputi Teluk Tolo dan Laut Banda ini sebesar 788.939 ton/tahun, dengan JBT sebesar 631.151 ton/tahun,” ungkap Amadan.
Menurutnya, tingkat pemanfaatan komoditi di WPP yang meliputi wilayah Sultra, Sulteng, Maluku dan NTT ini sudah sampai pada kategori fully exploited dan over exploited,” jelasnya.
“Lobster dan kepiting telah over exploited sementara ikan karang dan pelagis besar telah masuk kategori fully exploited artinya penangkapan perlu dimonitor dengan ketat,” kata Amadhan.
Dia menjelaskan bahwa yang masuk kategori moderat adalah ikan pelagis kecil dan udang, artinya upaya penangkapan masih dapat ditambah.
Dari data ini, menurut Amadhan situasnya plus minus, antara peluang pengembangan yang masih terbuka dan pada sisi yang lain ada ancaman hebat. Karena itu dia berharap efektivitas penangkapan dapat diarahkan untuk memaksimalkan potensi pelagis kecil yang masih berpeluang besar.
“Misalnya, pemerintah daerah perlu mempersiapkan sentra-sentra industri pengolahan/pengalengan ikan, karena kasus yang terjadi beberapa tahun terakhir, jenis ikan pelagis kecil ini tidak dapat ditampung oleh industri yang ada sehingga harus dibuang khususnya pada saat musim puncak,” jelasnya.
Amadhan setuju bahwa kebijakan terkait penambahan armada untuk pelagis besar perlu dikaji dengan prinsip kehati-hatian.
“Hal lain yang perlu diperhatikan adalah sistem logistik ikan nasional. Salah satu kendala terbesar yang dialami oleh pelaku usaha perikanan di WPP 714 khususnya wilayah Sultra, Sulteng, Maluku dan NTT adalah rantai pasar yang tidak efektif,” ucapnya lagi.
“Wilayah-wilayah ini perlu memikirkan untuk menyediakan sarana pelabuhan atau bandara yang dapat melakukan ekspor langsung ke luar negeri,” lanjutnya.
Menurut pria yang biasa disapa Awier iin, pada tahun 2017 Sultra merupakan eksportir domestik ikan cakalang terbesar di Indonesia.
“Ada 26,71 persen produksi cakalang Indonesia dihasilkan oleh Sultra dan sebagian besar dikirim ke Jawa Timur dan DKI Jakarta,” jelasnya.
“Padahal di WPP 714 terdapat ALKI III yang dapat dimanfaatkan sebagai alur transportasi ekspor internasional, sehingga kebijakan tentang tata kelola sistem logistik ikan ini perlu dikaji dan menjadi concern bersama baik di level pemerintah daerah maupun di level nasional,” paparnya.
“Tentu saja, kesiapan infrastruktur dasar di daerah juga harus berkembang untuk mempersiapkan adanya investasi dibidang ini,” pungkas Awier.
Tanggapan dari Buton
Sementara itu, Kepala Dinas Perikanan Buton Rasmin Rahman S. Pi, M. MA menyatakan bahwa pengolahan atau pemanfaatan WPP 714 yang juga melingkupi daerahnya belum efektif.
“Salah satu alasannya karena belum banyak kapal-kapal ikan yang melakukan usaha penangkapan di WPP dimaksud khususnya dari Sulawesi Tenggara atau lebih khusus Buton. Demikian pula industri pengolahan yang ikan belum cukup tersedia jika usaha penangkapan dioptimalkan,” tandasnya.
Hal lain yang disampaikannya adalah bahwa di WPP ini langkah-langkah pengawasan untuk pelaku usaha perikanan skala kecil yang merusak belum optimal.
“Pengawasan atas kegiatan perikanan di WPP 714 belum dilakukan dengan baik sehingga ada kecenderungan kapal-kapal ilegal dari luar Buton melakukan aktivitas penangkapan ikan di WPP 714,” ucapnya.
Menurut Rasmin, ini salah satu konsekuensi dari telah ditariknya wewenang Pemerintah Kabupaten oleh Pemerintah Provinsi dan Pusat terkait ruang laut dan periiznan usaha perikanan untuk 30 groston ke atas. (*)
Kontributor: Jawadin