Refleksi atas Terpilihnya Prof. Arief Satria sebagai Ketua BRIN
PELAKITA.ID – Ada satu kalimat sederhana namun mengguncang makna yang pernah diucapkan Prof. Arief Satria: “Kami ingin setiap inovasi BRIN dirasakan di dapur ibu, di sawah petani, dan di bengkel kecil di kampung-kampung Indonesia.”
Kalimat itu terdengar seperti doa bagi masa depan ilmu pengetahuan di negeri ini — agar sains tak hanya bersemayam di laboratorium, tetapi juga menyalakan kompor, menggerakkan cangkul, dan menghidupkan obeng di tangan rakyat kecil.
Kini, setelah terpilih sebagai Ketua Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Arief membawa semangat yang sama seperti ketika ia memimpin IPB: semangat yang menolak memisahkan antara ilmu dan kehidupan.
Di tangannya, riset bukan lagi sekadar kumpulan jurnal akademik, melainkan percikan harapan yang menyala di pelosok negeri.
Bayangkan seorang ibu di Lombok yang dapat menghemat bahan bakar berkat kompor hemat energi hasil riset anak bangsa.
Bayangkan petani di Bone yang tak lagi khawatir gagal panen karena bibit unggul hasil inovasi BRIN tumbuh subur di sawahnya. Atau bengkel kecil di Purwokerto yang mampu memproduksi suku cadang presisi berkat teknologi sederhana dari kolaborasi peneliti muda.
Semua bayangan itu adalah wajah dari riset yang membumi — riset yang menetes menjadi kesejahteraan.
Prof. Arief Satria bukan hanya ilmuwan; ia adalah pemikir kebangsaan yang percaya bahwa kedaulatan pengetahuan adalah bagian dari kedaulatan bangsa. Baginya, riset bukan milik para akademisi semata. Ia milik rakyat. Dan ketika ilmu pengetahuan berpihak kepada rakyat, kemajuan tidak lagi menjadi mimpi yang jauh.
Dalam setiap langkahnya, Prof. Arief seakan membangun jembatan antara ruang-ruang sunyi laboratorium dengan denyut kehidupan di kampung-kampung. Ia ingin agar teknologi tak hanya menjadi alat, tetapi juga pencerah — penumbuh harapan baru.
BRIN di bawah kepemimpinannya tampak akan bertransformasi: dari lembaga riset yang elitis menjadi rumah besar bagi kolaborasi — antara ilmuwan dan petani, antara peneliti dan nelayan, antara mahasiswa dan pengrajin kecil.
Ia ingin agar inovasi tak hanya diukur dari jumlah paten, tetapi dari senyum warga yang merasakan manfaatnya.
Inilah arah baru riset nasional: Ilmu yang tidak hanya memuliakan pikiran, tetapi juga memuliakan kehidupan.
Ketika riset menjangkau dapur ibu, ilmu pengetahuan menjadi hangat dan beraroma kehidupan. Ketika teknologi hadir di sawah petani, sains menemukan tanahnya sendiri. Dan ketika inovasi menghidupi bengkel-bengkel kecil di kampung, kemajuan tak lagi milik kota besar — melainkan milik seluruh anak bangsa.
Prof. Arief Satria seakan menulis bab baru dalam sejarah riset Indonesia: bahwa inovasi sejati adalah ketika ilmu pengetahuan menyentuh manusia, bukan sekadar angka dalam laporan.
Kini, saat ia menakhodai BRIN, publik menaruh harapan besar: semoga riset tak lagi berjalan sendirian di menara gading, melainkan beriringan dengan rakyat — menyatu dalam denyut nadi bangsa, mengalir hingga ke dapur, ke sawah, dan ke bengkel kecil di kampung Indonesia.
Karena sejatinya, kemajuan bukanlah hasil dari pengetahuan yang tinggi, melainkan dari ilmu yang mau membumi.
Muliadi Saleh
Esais Reflektif | Pemikir Peradaban | Penggerak Literasi
