Dari Pesisir Desa Ara, Tentang Mahakarya Menjawab Tantangan Maritim Dunia

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.IF

Refleksi I La Galigo dan Geopolitik Maritim Indonesia Hari Ini

PELAKITA.ID – Di tepian Desa Ara, Bulukumba, suara palu dan gergaji tak sekadar penanda kerja keras. Di sana, setiap getaran kayu dan denting logam adalah gema masa lalu—ketika orang-orang Bugis-Makassar membangun kapal bukan hanya untuk menyeberangi lautan, tetapi untuk menapaki takdir mereka.

Di sinilah Pinisi, mahakarya warisan leluhur, dilahirkan. Dan dari sinilah pula kita belajar: bahwa laut bukan sekadar bentangan geografis, tetapi ruang identitas, spiritualitas, sekaligus medan geopolitik.

Kisah I La Galigo menjadi cermin kejayaan peradaban maritim Nusantara, yang berakar kuat di tanah Sulawesi Selatan.

Namun di tengah dunia yang terus berubah, kisah ini perlu dibaca ulang dalam konteks kontemporer—ketika Indonesia dihadapkan pada perebutan jalur laut, sengketa zona ekonomi eksklusif, dan tantangan membangun ekonomi maritim yang adil dan berdaulat.

Dari Sawerigading ke Jalur Sutra Laut Modern

Dalam epos I La Galigo, Sawerigading melintasi samudra demi cinta dan takdir. Pelayaran menjadi perwujudan spiritual sekaligus budaya. Kini, pelayaran kembali menjadi arena perebutan kekuasaan global.

Jalur rempah Nusantara telah menjelma menjadi jalur strategis perdagangan dunia—bagian penting dari inisiatif Maritime Silk Road yang kini menjadi perhatian negara-negara besar.

Sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau dan dua pertiga wilayah berupa laut, Indonesia sejatinya berada di pusat gravitasi maritim dunia. Namun realitasnya belum sejalan.

Logistik nasional masih terpusat di Jawa, Tol Laut belum optimal, nelayan kecil terjebak dalam rantai distribusi yang menindas, dan di perairan Natuna, kapal-kapal asing justru lebih sering terlihat dibanding armada nasional.

Pinisi: Simbol Teknologi Lokal yang Mendunia

Di tengah kelesuan arah maritim nasional, Phinisi tampil sebagai paradoks yang memukau. Dibangun tanpa cetak biru formal dan tanpa gelar akademik, kapal ini mampu menjelajah Samudra Hindia dan diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia (2017).

Ini bukti nyata bahwa Indonesia tidak kekurangan teknologi—yang kurang adalah keberpihakan.

Teknologi lokal yang hidup dalam tradisi Pinisi mengajarkan keseimbangan antara manusia dan alam: keberlanjutan, efisiensi, dan spiritualitas.

Bila nilai-nilai ini dijadikan fondasi pembangunan maritim nasional, Indonesia bukan hanya menjadi pemain di pasar global, melainkan pemimpin peradaban laut.

Maritim: Antara Ekonomi dan Kedaulatan

Indonesia hari ini berada di persimpangan: apakah laut akan terus dilihat sebagai koridor logistik semata, atau dikembalikan menjadi halaman depan identitas dan kedaulatan?

Ketika negara-negara besar saling mengunci kepentingannya di Laut Cina Selatan, ketika jalur ekspor bergantung pada armada asing, dan ketika hasil laut lebih banyak dinikmati korporasi besar ketimbang nelayan kecil—saat itulah kita ditantang untuk kembali ke laut sebagai tuan rumah, bukan tamu.

Refleksi dari Desa Ara menjadi sangat relevan. Jika nenek moyang Bugis bisa menjelajah hingga Madagaskar dan Australia tanpa GPS dan satelit, maka pertanyaannya: mengapa kini kita justru menjadi penonton di panggung laut kita sendiri?

Penutup: I La Galigo sebagai Rencana Aksi

Kita tidak hanya butuh kebijakan maritim. Kita butuh narasi maritim yang hidup. I La Galigo bukan sekadar puisi masa lalu, melainkan peta jalan budaya, spiritual, dan geopolitik yang berakar pada kedaulatan laut.

Dari geladak Pinisi yang dirakit di Desa Ara, kita diingatkan bahwa menjadi bangsa maritim bukan hanya soal dermaga dan kapal kontainer—tetapi soal keberanian menapaki laut dengan identitas, keadilan, dan martabat.

Dunia sedang bertarung di atas lautan. Tapi sebelum kita ikut dalam pertarungan itu, kita harus terlebih dahulu menyelami lautan kita sendiri. Dan Pinisi—lahir dari tangan rakyat, hidup dari doa dan kayu—masih menunggu untuk kembali kita naiki.

Gowa, 21 Juni 2025


Tentang Penulis:
Rizkan Fauzie adalah alumni Program Studi Mekanisasi Pertanian, Universitas Hasanuddin. Ia aktif dalam kajian keislaman, etika sosial, dan budaya religius, baik di masyarakat pedesaan maupun perkotaan.

Catatan Redaksi Pelakita.id:
Tulisan ini disiapkan sebagai refleksi kultural-politik, yang menghubungkan warisan budaya lokal Sulawesi Selatan dengan tantangan maritim Indonesia di ranah nasional dan global.