Selamat Jalan Kakak dan Sahabatku, Ammuliang maki ri Allah Ta’ala Akang.
Akomo lohe muni-muningmu, ambamoh maeki ri stadion.
PELAKITA.ID – Tidak biasanya seorang sahabat lama di LSM sekaligus mantan anggota DPRD Sulawesi Selatan, Wahyuddin AB Kessa, tiba-tiba menelepon saya.
Ia meminta saya menulis testimoni untuk mengenang almarhum H. Mappinawang, SH.
Semasa hidup, Mappinawang pernah menjabat sebagai Direktur LBH Makassar, Dewan FIK ORNOP Sulsel, dan Ketua KPUD Sulsel. Kata Pak Wahyu, nama saya disebut dalam tulisan Rusdin Tompo, sehingga saya diminta berkontribusi dalam buku tersebut.
Karena kesibukan, saya mulai menulis saat perjalanan dari Makassar ke Jakarta, lalu melanjutkannya saat pulang dari Jakarta ke Makassar. Namun, tulisan ini masih belum rampung.
Pak Wahyu kembali mengingatkan agar segera menyelesaikannya dalam 1-2 hari. Alhamdulillah, akhirnya saya menyelesaikan tulisan ini pada tanggal 12 Ramadhan 1446 Hijriyah.
Lintasan dan Irisan Cerita Saya Bersama Almarhum
Kak Mappi (sapaan akrabnya) telah meninggalkan kita untuk selamanya. Namun, kesan dan kenangan bersamanya masih terasa, seolah ia masih ada di sekitar kita.
Sebagai aktivis ORNOP (Organisasi Non Pemerintah), kami sering berinteraksi dalam mendampingi masyarakat, terutama kelompok rentan yang terkena dampak kebijakan pembangunan.
Kami berhimpun dalam FIK LSM (Forum Informasi dan Komunikasi Lembaga Swadaya Masyarakat), yang kemudian berganti istilah menjadi ORNOP karena banyaknya LSM abal-abal. Ini dilakukan agar jelas pembedanya.
Interaksi saya dengan Kak Mappi sudah terjadi sejak saya masih mahasiswa, sedangkan beliau sudah aktif di LBH Makassar bersama Andi Rudiyanto Asapa (alm), Nasiruddin Pasigai, Muh. Hasbi (alm), dan lainnya.
Di akhir masa kuliah, saya bersama Prof. Dr. Ir. H.M. Natsir Nessa, M.S. (alm) dan Hj. Mubha Kahar Muang, S.E., mendirikan LSM Yasindo (Yayasan Samudra Indonesia).
Saya masuk UNHAS tahun 1987, lulus tahun 1996, tetapi masih sering ke kampus hingga 1999.
Yasindo kemudian bergabung dengan FIK LSM Sulsel yang dikoordinatori Asmin Amin dari LML (Lembaga Mitra Lingkungan).
Pada periode 1995-2000, aktivisme LSM sedang marak. Bahkan, banyak LSM yang didirikan atau dibentuk oleh orang-orang di pemerintahan.
Di FIK LSM, saya banyak berinteraksi dengan Kak Mappi. Beliau menjadi anggota Badan Musyawarah (Bamus) yang berperan sebagai pengawas. Transparansi pengelolaan dana donor menjadi perhatian utama.
Sejumlah donor yang saya ingat, antara lain USAID-OTI (demokrasi dan HAM), AusAID (AIDS), Yappika (penguatan masyarakat sipil), Yasppuk (usaha kecil perempuan), DML (Dana Mitra Lingkungan), serta Unicef (ibu dan anak).
Kami juga membentuk Konsorsium LSM Kelautan, yang fokus pada isu kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Saya diberikan mandat sebagai koordinatornya.
Lewat lembaga dan konsorsium ini, saya dan Kak Mappi berinteraksi dengan banyak aktivis ORNOP seperti Asmin Amin, Zohrah Andi Baso, Christina Joseph, H. Azhar Arsyad, dan lainnya.
Ada pula tokoh-tokoh seperti Bachrianto Bachtiar, Bahtiar Besar (Lekmas), Bahtiar Kecil (BLPM Lakpesdam), Agus Salim Munadah (Yalbindo), May Januar (Tengko Situru), Sombolinggi, dan banyak lagi.
Dalam interaksi, Kak Mappi selalu tampil sederhana dan tenang. Ia sering memberikan nasihat serta masukan bagi aktivis yang lebih muda.
Kami juga tergabung dalam LPA (Lembaga Perlindungan Anak) Sulsel. Ketua pertamanya adalah Prof. Dr. H. Mansyur Ramli, sementara pengurusnya antara lain Asmin Amin, Fadiah Machmud, Christina Joseph, dan lainnya.
Suatu malam, saya mendapat kabar dari Nuryanto G. Liwang (alm), bahwa terjadi kasus yang membuat kami semua marah dan geram.
Seorang pengemis tua buta (WP) berusia sekitar 60 tahun, dengan bantuan penuntunnya, merudapaksa seorang anak perempuan tunawisma berusia sekitar 12 tahun.
Saya pun terpaksa membangunkan Kak Mappi lewat telepon. “Assalamu Alaikum Kak Mappi, maaf saya ganggu ki malam-malam. Ada kondisi emergency,” kata saya.
Almarhum menjawab singkat dalam dialek Selayar, “Tajangma.” Ia segera datang ke Rumah Singgah Yasindo yang kami sewa di Jalan Baji Minasa sekitar pukul 01.00 dini hari.
Saat itu, saya dan aktivis lainnya tengah duduk melingkar bersama korban dan dua pelaku. Saya yang geram sempat memukul kaki pelaku dengan tongkat kayunya.
Kak Mappi dengan tenang menegur saya dan menyimpan tongkat tersebut. Ia berkata, “Jangan dikerasi, pelaku sudah tua. Mau diproses hukum ini. Jangan sampai malah menderita dan kita yang repot.”
Setelah diskusi panjang hingga menjelang pagi, kami sepakat untuk mengirim pelaku ke keluarganya di Parepare dan memberikan pendampingan psikososial kepada korban.
Dalam kesempatan lain, saya bertemu Kak Mappi di acara IAPIM (Ikatan Alumni Pesantren IMMIM). Dengan bercanda, ia bertanya, “Kenapa ko bisa diangkat jadi anggota kehormatan di IAPIM?”
“Saya pasti gagalkan kalau tahu sebelumnya,” lanjutnya sambil tertawa. Saat itu, teman-teman seperti Armin Mustamin Toputtiri dan Mustafa Irate juga tertawa bersama.
Kami kembali bertemu di Malaysia sebelum pertandingan Indonesia vs Malaysia di Stadion Bukit Jalil. Saya bersama rombongan DPP Partai Demokrat, sedangkan Kak Mappi bersama PSSI.
Ia kembali bercanda, “Pencinta bola ko juga rupanya. Saya juga ini terpaksa nonton bola jauh-jauh ke sini karena diajak Pak NH.”
Saya menimpali, “Saya kan anak buahnya Kak Mappi di IAPIM dan teman di LSM. Bedanya, saya pengurus di MFS (Makassar Football School) dan pengelola LIGINA VI & VII bersama Pak Reza Ali.”
Dalam dialek Selayar, almarhum berkata, “Akomo lohe muni-muningmu, ambamoh maeki ri stadion.”
Kami pun tertawa bersama.
Banyak kenangan bersama almarhum, tetapi hanya sekelumit ini yang bisa saya tuliskan. Pak Wahyuddin AB Kessa sudah mendesak bahwa proses editing tinggal menunggu tulisan saya.
Selamat jalan Kak Mappi, surga menantimu. Aamiin.
Salahuddin Alam Dettito adalah Direktur Eksekutif IKA Unhas
___
Editor: Rusdin Tompo