Tulisan ini adalah petikan pernyataan diskusi offline terkait gerakan Feminisme grup ‘Whatsapp FIK-Ornop SS’ di Makassar, 11 Januaeri 2014. Ditulis ulang untuk menjadi oase perenungan.
PELAKITA.ID – Alwy Rahman, akademisi Unhas dan berpengalaman di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia didapuk sebagai narasumber sekaligus pemantik sumbu diskusi keluarga besar FIK ORNOP Sulsel.
Bersama Alwy, hadir Mappinawang Yusuf, mantan Direktur LBH Makassar, Asmin Amin, Khudri Arsyad, keduanya pernah Koordinator Forum Informasi Komunikasi Organisasi Nonpemerintah Sulsel (FIK-ORNOP), A. Yudha Yunus, Rasyid Idris, Jumardi Lanta, Andi Iwan, Lusia Palulungan, Rusman Mejang hingga A. Rusnati Tahir.
Koordinator FIK-ORNOP Sulsel saat ini, Asram Jaya bertindak bak lighthouse pertukaran informasi. Berikut alur-alunnya.
Alas bincang
“Persolan perempuan di Indonesia, bukan persoalan patriarki tapi pelarian,” sentil Alwy.
Bagi Alwy, ada beberapa penyebab, pertama, adanya alas sejarah etnik melawan negara atas nama agama, ada juga perlawanan seperti RMS (di Maluku), pemberontakan Sumatera.
Penyebab kedua, politik Orde Baru. Ketiga, adanya konflik sosial, keempat adalah praktik politik Pilkada.
“Otonomi juga menciptakan pelarian oleh karena itu, saya melihat persoalan gender, bukan lagi dikotomi seperti selama ini, dimana ada patriarki, bicara publik ternyata tidak pada itu, bukan masalahnya, saya juga perhatikan negara-negara lain tentang gender. Isu perempuan, bisa jadi sebagai pelarian,” katanya.
Alwy lalu menyebut Covenant Teheran dan Beijing yang menciptakan dua kutub gerakan gender di dunia.
Pertama, tetap feminisme, yang kedua pada ideologi pemujaan.
Kasus Iran, tidak memakai feminisme, tetapi mengembangkan ideologi sendiri yang mereka sebut Ideologi Fatimiyah yang ternyata sampai hari ini justeru Iran lebih sukses karena perlindungan perempuan masuk konstitusinya. Indonesia, tidak sampai di konstritusi tetapi di UU saja.
“Lalu, setelah baca buku Prof Ilmi Idrus (akademisi Unhas), saya agak ragu, kalau di Bugis Makassar disebut patriarki, hampir seluruh idiom persaudaraan justeru memakai tubuh perempuan, silessureng dari kata lessureng dar pintu rahim ke pintu vagina. Orang Bugis menyebut ‘saya bersaudara dengan kamu, saya silessureng dengan kamu, sesungguhnya dia bilang saya dan kamu lahir dalam satu jalan’. Jadi idiom gender berpusat pada ibu,” papar Alwy.
“Di diskusi kita ini disebut saja sebagai olok-olok Feminisme Nusantara, barangkali perlu dilihat studi gender yang dikonteksan ke bawah, agar kita bisa lihat fakta-fakta itu dengan dalil yang ada pada feminisme. Kan sederhana itu, ada dua yang paling utama, apa yang disebut feminisme Marxis, bahwa tubuh-tubuh perempuan selalu tergadai dalam simbol. Misalnya, saya punya uang 2ribu, di uang ini ada tubuh orang lain. Saya bekerja menjual tenaga saya, saya dapat ini. Ini disebut oleh Marx teori simbolik pertambahan nilai,” urainya.
Alwy menilai hampir semua bagian ‘ruang-uang’ peradaban saat ini mempertontonkan penjualan tubuh dengan lembar-lembar uang, PSK menggadaikan kelamin, guru menggadaikan otak. Marxisme seperti itu.
Kedua, feminisme struktural, tetap melihat tubuh, tetapi dikaitkan dengan struktur sosial yang ada.
“Saya setuju bahwa lebih baik kita menggiring studi gender itu menjadi sains, bukan lagi ideologi sebab akan menemui banyak masalah. Ideologi barat yang dimaksud feminisme ternyata tiba di Iran menjadi feminisme Fatimiyah, kenapa tidak kita bicara feminisme Nusantara. Banyak saran dari ahli, jadikan dia sains. Bukan lagi ideologi,” sebutnya sembari melepas pandangan ke belasan peserta diskusi.
Peserta yang terlihat antusias dan di meja berhias kue bolu, rujak dan kopi hitam di pelataran kantor Yayasan Esensi, Makassar, nan teduh.
Pengayaan peserta
Lusi Palulungan, penggiat advokasi perempuan yang saat ini bekerja untuk Program MAMPU menanggapi bahwa kalau dilihat dari pengalaman, dari sisi kebudayaan, sesungguhnya bukan patriariki tetapi patrineal.
Pada budaya-budaya praktik, ada istilah pampidokang, uang panaik (mahar perkawinan), yang meneguhkan laki-laki untuk tidak masuk ke area domestik.
“Itu ada di nasihat orang tua ke anak-anak yang dilegitimasi oleh agama. Ini yang dipahami turun temurun. Yang kedua adalah gerakan perempuan sebagai ideologi, sebab pemahaman budidaya patriarki sudah menjadi ideologi dan mengakar dalam pikiran orang,” katanya.
“Kenapa ini menjadi gerakan untuk mengubah ideologi orang karena itu dasarnya, kalau sains mungkin tidak makin cepat perubahannya. Artinya kesadaran orang dan kemudian ideologi itu terinternalisasi namun kenyataan kan tidak terinternalisasi dalam perilaku,” tambah Lusi.
Di sini, dia ingin menunjukkan bahwa praktik gerakan dan upaya transformasinya memilih menyasar ideologi yang dianggap lebih cepat spektrum perubahannya ketimbang sains.
Berpakaian khas hitam-hitamnya seperti biasa, Asmin Amin ikut menggetarkan ruang diskusi.
Menurutnya, Feminisme a la Fatimiyah, merujuk pada sosok Fatimah Azzahrah yang disebut sebagai cahaya bagi seluruh perempuan, sebagai Putri Sidratul Muntaha, perempuan yang paling suci dan dilahirkan di dunia (karena tidak pernah menstruasi). Di mata Asmin, Fatimah adalah wujud seluruh cinta, roh, darah, daging, dari nafas. Semua tumpah di situ.
“Persoalan kita saat ini karena faham Jahiliyah yang masih ada saat ini bersimbiosis dalam bentuk sekarang dan sangat menindas perempuan,” tegas mantan anggota DPR-RI dari PKS ini.
Asmin menyinggung praktik tradisi, kebudayaan, seni, Syech Yusuf, Tirtayasa di Jawa hingga letak Songkok Patono’, songkok yang diasosiasikan memutar angin—asosiasinya ke laki-laki. Sementara perempuan sebagai yang menari, menjaga keseimbangan.
“Pada pemaknaan simbolik, bahwasanya memang ini sebuah pasangan yang tidak bisa dipisahkan, selalu menjaga,” kata budayawan Sulsel ini memantik optimisme pada tawaran pentingnya penyigian khazanah kebudayaan lokal seperti kehendak Alwy.
Lebih jauh Alwy memberi tambahan bahwa ada dua hal penting dalam merawat ingatan, ada history dan story (kisah).
“Kebanyakan dari kita hanya mengingat his-tory dan malah belajar dari orang luar, cerita kita (lokal) jarang kita dengar. Alwy lalu menyandingkan sejarah-sejarah yang ditulis atas nama history dan apa yang dilakukan Penulis Pram. Tentang yang lestari karena dilndungi oleh kekuasaan dan yang kesulitan padahal berisi keaslian cerita alias story,” tambahnya.
“Hampir, sejarah perempuan kita (di Sulsel) tidak ada, padahal story kita ada 17 perempuan Bugis-Makassar jadi raja, tapi dia tidak disebutkan. Jadi sebenarnya, kita kehilangan story. Jejak mereka hilang, olehnya itu kita perlu mengabadikannya dengan proses yang berbeda, dari luar atau dari dalam,” katanya. Awy menyentil bagaimana cerita Kartini, tentang apa yang ditulisnya sebagai perlawanan pada Ronggo Warsito (laki-laki).
“Banyak orang tidak tahu bahwa Kartini sesungguhnya melawan kebudayaannya,” imbuhnya.
Bagi Alwy, pada praktik kontemporer dan umum, terkait posisi perempuan atau kesetaraan gender ini berkaitan dengan, misalnya, apa yang terjadi di Jakarta dan berdampak luas, karena ada political gimmick, tipuan politik.
“Konflik di Jakarta, bisa jadi tipuan politik, nah pelarian-pelarian yang terjadi sekarang masih ada, bahkan ada yang main bom,” tuturnya.
Alwy mengajak peserta untuk ke Timur, terutama di Sulawesi Selatan tempat dimana terjadi banyak juga pelarian-pelarian.
“Oleh sebab itu, Sulsel yang banyak budayawan, akademisi, LSM mari jadikan Sulsel sebagai provinsi teladan, yang menggerakkan peradaban,” katanya.
Menurut Alwy, selain contoh dari Sulsel, banyak TKI, dari timur, mereka displaced persons, orang berlarian dari kebudayaan, akibat konflik, Pilkada, macam-macam.
“Nah jadi menurut saya, tidak apa-apa feminisme dalam pengertian banyak, ada Marxis, radikal, bahkan yang ringan struktural, tapi yang paling penting diketahui bahwa banyak ilmuwan yang mendorong bahwa bahwa feminisme tidak lagi sebagai ideologi tetapi sebagai sains. Jika dia sains, ada beberapa ciri yang terkait di dalamnya seperti obyektif, bisa diuji, netral, eksplorasi sistematis, presisi, dan lain-lain,” paparnya.
“Ingat bahwa kesadaran sosial kita dibentuk oleh peristiwa, Barat juga ada ceritanya. Ada keperluan untuk mencari story perempuan dalam pemaknaan luas. Simpul-simpul kebudayaan, dan kampus-kampus kita tidak mengumpulkan story,” sebut Alwy.
Muara bincang
Kian rawannya muara kehidupan kontemporer seperti kapasitas sosial (di Timur) yang rentan, hutan, pesisir, laut yang kian rusak, chaos sosial desa-kota, konflik dan relasi agama-agama, politik Pilkada yang banal, praktik mereproduksi demokrasi yang culas dan seakan dibiarkan merupakan akumulasi persoalan yang tak bisa dipisahkan dari perubahan-perubahan yang dipaksakan, sejak zaman penjajahan, penataan birokrasi dan akumulasi khazanah Nusantara oleh rezim sejak 70 tahun terakhir.
Narasi itu berdampak pada penerimaan, pandangan, perlakuan, stereotype, pola gerakan ‘to lift’ gap antar gender, termasuk konsep dan gerakan Ornop terkait Feminisme.
Mereka yang lari, mereka yang hijrah, sejak lampau hingga kini, itulah yang disebut oleh Alwy sebagai ‘The Displaced Persons’.
Ranahnya luas dan kalau tak segera dibereskan akan menjadi bom waktu di masa depan. Dimensinya luas karena berkaitan dan berkelindan antara masa lalu (past), sosial ekonomi, politik hingga gesekan kebudayaan, Timur Barat dalam pemaknaan universal dan Barat-Timur dalam konteks Nusantara. Akar-akarnya pada empat penyebab tadi, sejarah perlawanan etnik, dominasi Orde Baru, konflik sosial hingga praktik culas politik Pilkada.
“The Great Man, raja-raja itu harus diubah menjadi institusi, legislatif. Jadi ada transformasi kapasitas, dari the Great Man menjadi institutionalized. Ada juga yang merasa terganggu dengan the Great Man itu, begitupun sebaliknya,” sebut Alwy.
Hal itu diperkuat Asmin bahwa sesungguhnya pada ‘Kosmologi Kebudayaan’ kita, ada banyak fakta tentang keberadaan Batesalapanga di Gowa, Tellu Pitue di Wajo, Patappulo di Wajo, Tomakaka di Luwu, dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, ditambahkan Abdul Rasyid Idris, bahwa kita penting melihat sejarah dan melihat masa depan, kita perlu riset, meriset idola, dan apa peran kita untuk itu.
“Saya takutnya memang ada gerakan yang ingin menghilangkan story-story lokal ini,” kata penulis buku teranyar, ‘Anging Mammiri (2017)’ ini sembari berdiri.
Bincang ala FIK Ornop ini menjadi menarik sebab muaranya mengingatkan para peserta tentang potensi batu sandungan gerakan perempuan atau konsep Feminisme, berkaitan aspek etik, agama, Pilkada, benturan pemikiran, hingga lahirnya gagasan transformasi multikultural ke transkultural, dari ide-ide dunia yang selama ini menjadi rujukan massif dan ‘one single eye’ menjadi lebih ‘local brands’.
Tak terasa, adzan berkumandang, obrolan menembus waktu Magrib. Lelampu Kota mulai menyala. Di muara bincang, Asram Jaya, menyebut tiga pernyataan simpulan reflektif.
Pertama, betapa pentingnya menjadikan story terkait perempuan sebagai simpul kebudayaan.
Kedua, pentingnya memperkuat kecerdasan kolektif sebagai manifestasi demokrasi kita.
Ketiga, menerima anggapan bahwa Feminisme sebagai Sains oleh karena itu kita butuh teks, fakta-fakta, narasi untuk ber-story. Ada catatan tambahan dari Lusi bahwa sekalitan gagasan alternatif tersebut, tidak bisa diabaikan juga bahwa gender telah lama menjadi studi.
“Sudah menjadi sains sesungguhnya. Tapi ini juga problem kita yaitu ketika (nilai-nilai) tidak terinternalisasi. Perlu juga ada strategi mencari tahu mengapa itu terjadi,’ pungkas Asram.
Pencatat: K. Azis