PELAKITA.ID – Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang menggelar dialog publik Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Kepulauan Kapoposang dan Laut Sekitarnya 2022 di Hotel Claro Makassar, Senin, 28/11/2022.
Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bidang Kawasan Konservasi Perairan Nasional yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Ada beberapa lokasi yang menjadi domain tugas dan pelayanannya sebagai satuan kerja Ditjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, yaitu TWP Sawu, Gili Matra, Kapoposang, Banda Laut, Padaido, SAP Aru Bagian Tenggara, SAP Raja Ampat, SAP Waigeo Sebelah Barat.
KKP merilis, perluasan kawasan konservasi di semester 1 tahun 2022 sudah mencapai 73 persen dari target yang ditetapkan, yakni seluas 1,46 juta hektare dari 2 juta hektare. Secara nasional luas kawasan konservasi saat ini adalah 28,4 juta hektare yang dikelola oleh KLHK, KKP, dan pemerintah daerah.
Tanggapan para pihak
Terkait dialog publik itu, praktisi perencanaan pembangunan pesisir dan laut yang juga akademisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo Kendari, M. Taswin Munier memberi tanggapan.
“Rencana pengelolaan, management plan, merupakan langkah awal, sebelum ke rencana perlindungan dan pengelolaan jangka panjang, serta rencana usaha business plan. Jadi harus memetakan potensi sumber daya alam dan potensi kerjasama multi pihak dengan lebih dinamis,” ucapnya.
“Artinya data yang ada sebagai basis perencanaan dan pengambilan keputusan tidak hanya data statis saja yang biasanya berdasar hasil survey atau temuan hari ini,” sebut Taswin.
“Tapi perlu dikuatkan dengan pemodelan kondisi dan potensi sumber daya alam di kawasan TWA Kapoposang hingga 5 hingga 10 tahun ke depan,” ujarnya.
Menurutnya, perlu pembacaan atas realitas dan trend perubahan di dalam dan di sekitar kawasan Kepulauan Kapoposang dan sekitarnya.
Jadi, lanjut Taswin, berdasarkan trend data lima tahun terakhir dan memasukkan semua kegiatan yang berkelindan dengan ekosistem, baik dinamika lingkungan biofisik, fisik, oseanografi, termasuk masyarakatnya.
“Di sana, sebagai parameter peubah, selain itu potensi pengembangan taman wisata alam tersebut tersebut menjadi lembaga yang mandiri secara kebijakan dan anggaran dibaca sebagai threat dan opportunity,” ucap Taswin.
Pengurus IKA Perikanan Unhas ini juga mennyampaikan perlunya model pengelolaan berbasis waktu.
“Tidak hanya statis seperti hari ini. Dengan pemahaman dan cara berpikir dinamis seperti itu, rencana pengelolaan yang sedang dibuat dapat mengantisipasi perubahan seperti kebijakan, ekosistem, masyarakat, dan lain-lain lebih awal dan lebih akurat,” tandasnya.
“Poinnya, dari sisi perencanaan, rencana pengelolaan kawasan konservasi perairan di Kepulauan Kapoposang dan sekitarnya harusnya dinamis, agar lebih adaptif terhadap perubahan,” tambahnya.
“Misalnya, perubahan kebijakan: perikanan terukur dengan kontrak jangka panjang,” kuncinya.
Anggota DPRD Sulawesi Selatan dari Fraksi Demokrat, Andi Janur Jaury Dharwis yang aktif menyelam di sekitar gugus Kepulauan Kapoposang sejak tahun 90-an memberi tanggapan.
Dia berharap pembentukan kawasan konservasi Kepulauan Kapoposang dan sekitarnya ini harus dibarengi dengan komitmen penganggaran dan perngelolaan terpadu.
“Sudah banyak kawasan konservasi di Indonesia tapi kita menyaksikan masih banyak persoalan di dalamnya, praktik perikanan merusak masih berlangsung, koordinasi antar pihak lemah termasuk dukungan sumberdaya, bisa anggaran dan penambahan personil yang selama ini terbatas,” ujar penemu spot selam Jaanur Point di perairan Pulau Kapoposang ini.
“Saya kira kita harus dorong pengelolaan yang kolaboratif di daerah, tapi kita juga ingin Pemerintah Pusat serius dan tidak sekadar memperbanyak luas kawasan koonservasi tapi menutup mata dalam pengalokasian anggaran,” sebutnya.
Koordinator nasional DFW Indonesia, Moh Abdi ikut memberi tanggapan.
Menurutnya, rencana pengelolaan yang dirumuskan mesti dapat menjawab dan mengantisipasi masalah lingkungan, sosial dan ekonomi sekaligus.
Artinya rencana konservasi jangan semata-mata melindungi eksosistem laut tapi dapat mengakomodir aktivitas manusia atau masyarakat yang tinggal di dalam kawasan Kapoposang,” ujarnya.
“Formula pengelolaan jangan didominasi pemerintah atau top down semata, tapi juga melibatkan input dan partisipasi masyarakat lokal, nelayan dan perempuan setempat. Sebab mereka pengguna terdekat dan pasti punya kearifan untuk menggunakan sumberdaya,” sarannya.
Sementara itu, Kepala Bidang Konservasi dan Keanekaragaman Hayat Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia ISKINDO, Cahyadi Rasyid menyatakan kalau rencana pengelolaan seharusnya sudah lebih operasional dari Renstra, lokusnya pun sudah tingkat zona.
“Harapan saya, dialog publik tersebut makin memperkaya dokumen penyusunan yang akan dibuat,” ucapnya.
“Selain strategi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, perlu rencana aksi yang rinci pada zona-zona yang ada. Apalagi kawasan konservasi perairan, yang di dalamnya juga ada masyarakat yang secara tradisional sudah menggunakan area-area yang ada sebagai lahan budidaya atau zona tangkapan,” harapnya.
Selain itu, Cahyadi: juga mengharapkan pasca UU Cipta Kerja, ada kewajiban KKPRL untuk kegiatan budidaya.
“Bagaimana dengan pembudidaya kecil, siapkah Balai Konservasi melakukan fasilitasi kepada semua pembudidaya, bagaimana pola pembinaan pembudidaya di kawasan konservasi, oleh siapa, ada Dinas KP provinsi dan ada kabupaten,” ucapnya.
Dia sebut KKPRL itu sudah ada aturannya.
“Tnggal implementasinya di lapangan, kalau pembudidaya risiko kecil akan difasilitasi oleh KKP, kalau pembudidaya risiko meengah dan tinggi ada aturannya lagi,” tuturnya.
KKPRL adalah Ksesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut, kalau kegiatan di laut yang sifatnya meneta dan telah ada Permennya tahun 2021.
Salahuddin Alam yang membawa LSM untuk pertama kalinya masuk ke Kapoposang dalam tahun 1995 untuk pemberdayaan masyarakat setempat melalui LSM Yayasan Samudera Indonesia tak mau ketinggalan.
Dia memberi masukan supaya ke depan, aspek budaya lokal, kearifan sosial, menjadi pertimbangan utama dalam pengelolaan.
“Semula ada tata kelola kawasan yang semula telah dikenal dengan Taman Wisata Alam Laut Kapopposang., nah ke depan, diperlukan penyesuaian regulasi dan adaptasi kebiasaan baru dari seluruh stakeholders yang terkait,” ujarnya.
Menurutnya, perlu keterlibatan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, perguruan tinggi, LSM serta organisasi2-organisasi profesi yang selama ini berorientasi ke laut dan pariwisata.
“Bisa dibayangkan betapa repotnya pengelola kawasan, Kades dan warga yang sudah sangat familiar dalam hal kepariwisataan, tiba-tiba berubah menjadi area konservasi,” ucapnya.
“Pentahelix pengeolaan dapat menjadi pertimbangan utama dan perekat dalam mengelola kawasan,” tandas Direktur Eksekutif PP IKA Unhas ini.
Editor: K. Azis