PELAKITA.ID – Jelang Pemilu 2024, diskursus politik menjadi hangat diperbincangkan. Dominasi Jawa diperdebatkan. Karena memiliki suara mayoritas, karena jumlah penduduk terbesar yakni 60 persen dari total populasi Indonesia. Pemilu di Indonesia seakan hanya pemilu Jawa.
Tapi, tidak selamanya Jawa memilih “Jawa”. Peta itu tidak harus mengubur impian orang luar Jawa untuk menjadi presiden di negeri ini.
Hal itu terungkap dalam diskusi hybrid ‘Memilih, DAMAI – Masihkah Berlaku The Iron Law of Indonesia Politics “Jawa Adalah Kunci” pada Pemilu 2024?
Talkshow yang digelar di Aula Prof Dr M Syukur Abdullah Fisipol Unhas itu dipandu Paramitha Soemantri dan dihadiri empat narasumber.
Para narasumber adalah Guru Besar Emiritus UIN Alauddin Makassar Prof Dr M Qasim Mathar, Dosen Politik Universitas Indonesia Dr Panji Anugrah Permana, Dosen Sosiologi Politik Unhas Dr M Iqbal Latief, dan Founder PT Cyrus Nusantara Hasan Nasbi.
Panji Anugrah menyebut tema Jawa adalah kunci bisa dimaknai dua hal “Jawa adalah kunci, ada dua makna. Pertama, kandidat Capres haruslah orang jawa, yang berpeluang menang adalah orang Jawa,” ujar Panji.
“Makna kedua, secara elektoral bisa dipahami bahwa siapapun menguasai jawa bisa memenangkan kontestasi tersebut,” lanjutnya.
Menurutnya, makna ini bisa ke arah orang atau pelakunya maupun ke wilayahnya.
Panji mencontohkan ketika pemilu 2019, Daftar Pemilih Tetap (DPT) mayoritas di pulau Jawa
“Contohnya di DPT 2019, ada 191 juta yang memiliki hak pilih. Sekitar 110 juta pemilih itu di Jawa,” kata Panji
“Jadi 57,29 persen pemilih di Jawa terbagi ke dalam 6 provinsi,” lanjutnya. Panji pun setuju bahwa angka tersebut sangat besar dalam pemilu.
Apalagi sistem pemungutan suara di Indonesia menganut 1 suara untuk satu oraang. “Memang secara hitung-hitungan matematika itu besar,” tegas Panji. Maka dari itu, makna Jawa adalah Kunci bisa disebutkan dari sisi voters atau pemilih.
Hasan Nasbi meninjau Jawa dari segi etnis dan kultur. “Dalam konteks etnis dan kultur. nama pulaunya jawa,tapi ada orang banten, sunda, madura baru disebut jawa,” jelas Hasan Nasbi
“Kalau data BPS orang yang etnis jawa itu 45 persen, sunda 17 persen,” lanjutnya. Dari jumlah tersebut, etnis Jawa dinilai sebagai mayoritas.
Etnis Jawa pun telah tersebar luas di seluruh penjuru nusantara melalui difusion of national culture.
“Dari sisi kultur, jawa ini mayoritas. Jawa ini ada dulu difusion of national culture dengan program transmigrasi. Jadi dioper kemana-mana karena Jawa terlalu padat. Ada ke Aceh, Kalimantan,Ssulawesi,” kata Hasan Nasbi.
Maka dari itu, suara etnis Jawa yang tersebar ini bisa mempengaruhi berbagai wilayah. “Makanya orang yang berkultur jawa, beretnis jawa, tidak hanya di Pulau Jawa. Kayak di Lampung itu mayoritas jawa, 62 persen itu jawa. Di Sumatera Utara juga, di Kalimantan Timur juga,” ujar Hasan Nasbi
“Beda Sunda yang banyak terkonsentrasi di Jawa Barat, Sulsel juga berdifusi kemana-mana utamanya di Indonesia timur dan Kalimantan,” lanjutnya.
Hasan Nasbi mengakui ikatan kultur etnis Jawa sangat kuat. Hal ini disebabkan kompleksitas budaya Jawa dalam menjalani kehidupan.
Kekuatan etnis ini pun dinilai bisa mempengaruhi suara. “Hebatnya Jawa menurut saya ikatan identitas kultural. Budaya jawa kompleks sekali, apapun mengenai aturan hidup ada. Menentukan tanggal, jodoh ada rumusnya, termasuk juga menentukan pemimpin. Pemikiran politik Jawa itu ada,” jelas Hasan.
“Makanya orang Chinese di Jawa jadi orang Jawa. Makanannya Jawa, bahasanya Jawa. Beda di Kalimantan, bisa bahasa Mandarin. Begitu kuatnya kultur itu, di-Jawakan,” lanjutnya.
Hasan pun mencontohkan sebaran suara pada Pemilu 2024. Jokowi sebagai etnis Jawa berhasil menang di daerah seperti Jateng, Jatim hingga Lampung.
Namun, Jokowi tumbang di Jabar yang mayoritas etnis Sunda “Dalam konteks nasional, Jokowi di Jabar tidak berdaya, tapi di Jateng, Jatim, Yogya menang besar. Di Lampung juga menang besar. Kalau kita baca data berarti ada kecenderungan etnisitas itu ada,” tutup Hasan.
Prof Qasim tegas meledek bahwa tokoh yang bukan orang Jawa mustahil memimpin Indonesia. “Orang Jawa jadi presiden di negeri ini bukan harus. Tapi wajib,” ujar Prof Qasim.
Menurutnya, itulah yang selama ini diisikan di kepala rakyat Indonesia, bahwa presiden adalah orang Jawa. Termasuk beberapa presiden yang terpilih sebelumnya. Adapun Presiden bukan orang Jawa yang pernah ada, bukan karena dipilih langsung oleh rakyat, tapi hanya sebagai pengganti.
“Mustahil tokoh luar Pulau Jawa terpilih menjadi presiden,” katanya. Prof Qashim menjelaskan bahwa polarisasi menyambut Pilpres 2024 ini tidak kalah kencang dengan Pilpres sebelumnya.
Polarisasi, kata dia, akan terus terjadi bahkan bisa makin kencang ke depannya. Sehingga, kata dia, orang yang harus memimpin Indonesia adalah orang Jawa.
Sebab presiden yang terpilih selalu mengandalkan kekuatan uang dan juga oligarki. “Kalau tidak ada seperti itu pasti kalah,” katanya.
Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa proses seperti itu didukung oleh peraturan yang ada selama ini. “Undang-undang pemilu sama sekali tidak mendukung untuk mengubah keadaan ini,” katanya.
Ia menyebutkan politisi sebenarnya tidak pernah jenuh. Bahkan banyak di antara mereka pindah-pindah partai.
“Semua ingin terpilih dan berteriak capresnya paling sempurna. Itu jualan politisi. Bukan hal baru. Semuanya nyaris omong kosong,” kata Prof Qasim.
Menurutnya sampai saat ini presiden yang terpilih tidak otomatis yang terbaik. “Presiden yang terpilih tidak otomatis yang terbaik karena kita belum punya peraturan dalam undang-undang pemilu yang memaksa rakyat kita dan bangsa kita orang paling ideal yang terpilih,” katanya.
Tapi Doktor Iqbal Latief bilang tidak. “Konstitusi menjamin, semua orang Indonesia berhak jadi Presiden,” tegasnya.
Menurutnya, orang Jawa memilih calon presiden juga bukan semata karena calon itu orang Jawa. Tapi ada factor lain yang malatarbelakanginya.
“Termasuk jejak rekam, kesiapan sumber daya dan sumber dana, dan sebagainya. Jadi orang Jawa memilih calon bukan karena calon itu Jawa,” ujar Iqbal. (MSK)