Sangat susah untuk membuktikan pelaku pemboman ikan. Oleh sebab itu perlu mendorong adanya edukasi dan alternatif usaha perikanan yang lebih bijaksana dan berkelanjutan. – Praktisi kelautan dan perikanan Selayar, Rakhmat Zaenal
PELAKITA.ID – Diskusi Penikmat Kopi Selayar dengan tema ‘Masih Adakah Bom Ikan di Meja Makan Kita’ digelar hari Sabtu, 11 Juni 2022. Pembicaranya Abdul Halim Rimamba, ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Selayar (HNSI), Rakhmat Zaenal, praktisi usaha perikanan dan pariwisata Selayar serta Kamaruddin Azis, pemerhati kelautan Selayar.
Menurut Kamaruddin Azis, diskusi ini didasari oleh adanya informasi terkait masih adanya praktik perikanan merusak seperti penggunaan bom ikan di Taka Bonerate sebagaimana pernah dilansir oleh Kepala Balai Taman Nasional Taka Bonerate, Selayar pada FGD terkait penanganan praktik destructive fishing yang digelar bersama Pemkab Selayar, World Conservation Soeciety (WCS).
Pada FGD tersebut hadir wakil bupati Selayar, H. Saiful Arif, Kapolres Selayar, Kajari Selayar, perwakilan KLHK, KKP serta DKP Provinsi Sulawesi Selatan dan aktivs LSM dan media.
Salah satu informasi yang menarik pada FGD tersebut adalah adanya klaim bahwa beberapa pulau dalam kawasan Taka Bonerate seperti Pulau jinato, Latondu dan Pasitallu Tengah dimana masyarakat nelayan telah sadar untuk tidak melakukan kegiatan merusak.
Sementara beberapa pulau lain masih tersisa beberapa buah perahu pelaku destrutive fishing dan sebagian melakukan aksinya di luar kawasan Taka Bonerate. Kurang lebih begitu pernyataan kepala balai Taman Nasional Taka Bonerate pada FGD dalam bulan Mei 2022 itu.
Judul ‘Masih Adakah Bom Ikan di Meja Makan’ kita sebagai pertanyaan retoris bahwa mata pencaharian nelayan kita masih bertalian dengan risiko dan berpotensi merusak masa depan alam atau bisa dimaknai, kita masih menikmati ikan-ikan karang dengan residu bom yang menempel pada makanan keseharian kita. Sebuah ironi.
Pandangan pembicara
Pada diskusi daring yang dimoderator aktivis perempuan Hamidah itu, Halim Rimamba menyatakan bahwa masih adanya atau masih maraknya penggunaan bom ikan di kawasan Taka Bonerate berkaitan dengan komitmen para penegak hukum.
Salah satu yang disebutkannya adalah masuknya gae atau purse sein dalam kawasan Taka Bonerate yang berkaitan dengan dugaan itu karena selama ini untuk beberapa tahun lalu gae atau alat tangkap itu tak berlaku di taman nasional.
Menurutnya, nelayan sesungguhnya masih berperilaku baik, tetapi adanya dorongan dan pihak-pihak yang meminta pungutan, menjadi alasan mengapa mereka berani melakukan kegiatan merusak.
Bahkan, lanjut Halim, pada tingkat dusun pun permintaan atau pungutan ini ada ditemukan. Baginya, situasi seperti itu seperti persoalan yang terus terjadi tanpa solusi meski telah berlangsung upaya-upaya seperti adanya program Coral Reef Rehabilitation and Management Program COREMAP sejak tahun 90-an hingga yang teranyar advokasi oleh WCS melalui FGD yang digelar bulan Mei 2020 lalu itu.
“Terjadi pungli,” katanya. Dia menyebut itu dan menyatakan bahwa informasi ini telah dibagikan ke media sosial seperti media pembaca Tanadoang. “Secara lansung ini nyata pungli. nyata pungli, saya ada bukti,” katanya.
Dia juga menyebut penanganan Taka Bonerate tidak tepat dengan masih adanya dengan penanganan link ke atasnya di KLH. “Kalau Balai Taka Bonerate di bawah KKP, saya oke karena mereka mengerti bagaimana melestarikan, alam ini dia sustainable, berlanjut bukan berari tidak disentuh.,” latanya.
Halim menyebut bahwa untuk destructive fishing, sebenarnya semua bisa bisa patuh.. “Paling mudah, pemerintah punya perangkat ke bawah, Bupati, Camat, Kepaa Desa, perangkap desa seperti Sekretaris, BPD, keterwakilan tiap dusuu, ada RT, mereka semua digaji, semua digaji, imam masjid, kalau semua organ ini di-presssure, ketika terjadi atau pelaku, sangat mudah,” katanya. “Soalannya itu tadi terjerat oleh pungli, ” katanya..
Dia juga menyebut adanya program atau kegiatan ‘asal bunyi’ seperti gagasan One Day No Fishing yang digaungkan di Selayar sebagai sesuai yang tak berdasar sebab sejatinya nelayan sudah tidak memancing saat misalnya hari Jumat.
Halim menyebut harapan no zero destrictive fishing akan sangat sulit tanpa kesungguhan para penegak hukum. Termasuk bagaimana Kementerian seperti KLHK dan KKP berkoordinasi dan memahami fungsi dan perannya di kawasan seperti Taka Bonerate.
Sementara Rakhmat Zaenal menyebut bahwa sangat susah untuk membuktikan pelaku pemboman ikan. Oleh sebab itu dia mendorong adanya edukasi dan alternatif usaha perikanan yang lebih bijaksana dan berkelanjutan.
Dia menyebut dengan adanya dukungan pada pengolahan hasil perikanan, misalnya dengan mengelola ikan dengan memanfaatkan atau memberikan fasilitas pengawet seperti pendingin atau sistem ABF. Hal kedua yang disampaikan Rakhmat adalah perilaku konsumtif masyarakt nelayan yang cepat menghabsikan uang.
“Bagi pelaku destructive fishing, uang mudah didapat, atau easy money, tetapi cepat juga habis,” katanya.
Untuk mengantisipasi maraknya perikanan merusak seperti bom itu, Rakhmat menyebut ada contoh desa di Selayar yaitu Parak yang berhasil mencegah atau membuat nelayan melakukan praktifk DF untuk takut. Di des aitu ada semacama deteksi dini dari warga jika melihat ada kapal berlabuh. Jika ada indikasi hendak melakukan kegiatan merusak maka warga serta merta melakukan upaya-upaya pencegahan.
“Dengan upaya itu, ika-ikan semakin banyak. Kita bisa lihat dengan naiknya cumi, giant trevally,” katanya. Itu yang disebut sebagai dampak dari pengelolaan sumberdaya laut dan mencegah terjadinya destructive fishing.
Lalu poin ketiga yang disampaikan adalah perlunya memastikan ketertelusuran ikan, perlu pengecekan asal-usul ikan yang diperjual belikan di pasar atau pangkalan pendaratan ikan.
Masukan peserta
Sementara itu, Syamsu Bahri, inisiator sekaligus pemantik diskusi, menyebut diskusi yang sedang berlangsung ini didasari oleh masih terjadinya praktek destructive fishing di Selayar. “ini terjadi karena tingginya permintaan ikan keluar daerah,” katanya.
Dia menyatakan maraknya pemboman ikan karena tingginya permintaan. Dia berharap ada semacam pengendalian dari usaha perikanan yang terhubung antar satu wilayah dengan wilayah lain. Ikan-ikan yang masuk ke pasar harus dilacak dan dipastikan datang dari sumber yang benar atau legal.
“Ikan yang ditangkap di Kepulauan Selayar tidak terdata, sehingga teman-teman instansi terkait tidak bisa mengetahui berapa ikan yang dihasilkan oleh nelayan di sini,” ucapnya.
Dia menyatakan praktik destructive fishing kerap terjadi di Selayar karena dipengaruhi tingkat pendidikan masyarakat, “Model pembelajaran soal penyelamatan lingkungan dengan tidak menggunakan bom ikan harus ditanamkan kepada anak sejak dini,” ujarnya.
Dia juga menyebut berencana untuk menggelar diskusi yang sama, dengan mengundang Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan serta pihak terkait di Selayar.
Dia berharap pada diskusi berikunya ini, akan ada paparan peta masuknya bahan baku bom ikan, sementara LSM pendamping menawarkan strategi pendampingan tingkat desa kepulauan, dengan metode pendidikan konservasi, terutama kepada anak tingkat sekolah dasar.
Relevan dengan itu, pakar sosiologi maritim Dedi Adhuri dari LIPI yang hadir dalam diskusi daring ini menyatakan selama hampir tiga tahun melakukan riset, salah satu kunci penanggulangan kegiatan perikanan merusak adalah lahirnya apa yang disebut local champions, yaitu masyarakat lokal yang melakukan kegiatan perlawanan atas kegiatan merusak.
Sebab, menurut Dedi, salah satu dampak lain dari kegiatan pemboman ikan adalah manakala ada suami yang menjadi pelaku dan dikejar-kejar aparat, maka istri-istri akan menjadi korban. “Ibu-ibu atau istri-istri pun dinterogasi terkait keberadaan suaminya,” kata Dedi.
Ada beberapa penanggap ikut memberi pengayaan pada isu destructive fishing ini seperti Sigit Bbuludawa, pengusaha perikanan Bajo dari Kawasan Torosiaje Pohuwato Gorontalo yang mengakui bahwa praktif DF itu ada dan salah satu upaya yang ditempuhnya adalah dengan mendorong usaha budidaya perikanan seperti kerapu.
“Tiga tahun menjalankan budidaya, efektnya adalah berkurangnya kegiatan destructive fishing,” kata pengusaha keturunan Bajo Torosiaje itu.
Sementara peserta lainnya Andi Mei Agung Mappasessu menyebut bahwa kegiatan DF tidak bisa dipisahkan dari banyaknya orang luar Selayar yang melakukan usaha pemanfaatan.
Dia mengaku, sebagai orang Selayar, dia tahu persis bahwa kapasitas orang Selayar sangat berbeda dengan pelaku usaha perikanan dari luar sehingga harus cermat dalam memberikan penilaian siapa pelaku dan bagaimana DF ini terjadi.
Menurutnya, penilaian bahwa kegiatan DF marak, itu sangat berkaitan dengan validitas data atau informasi yang tersedia. Pria yang juga kepala bidang tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel itu, mengusulkan agar dilakukan upaya maksimal untuk penyiapan mata pencaharian alternatif bagi para pelaku.
Redaksi Pelakita.ID