PELAKITA.ID – “Saya punya 9 hektar tambak tapi pematangnya jebol. Tambak rusak diterjang gelombang. Ditebar 100 ribu ekor tapi panen hanya 50 kilogram. Sebagian besar kena penyakit atau virus. Sudah 2 tahun tidak diolah.”
“Dari pada rugi? Banyak warga beralih ke usaha perikanan tangkap, kadang juga jadi tukang batu, kalau tidak begitu, kami bisa makan apa?”.
Demikian informasi yang disampaikan Kisman, warga Desa Pegat Betumbuk, Kabupaten Berau saat ditemui penulis pada tanggal 10 Februari 2020 di Kota Berau.
Kisman adalah warga desa yang tertarik menyiapkan petak tambaknya yang sudah dua tahun tak dijamah untuk kemudian dijadikan model ‘Silvofishery Plus’.
Silvofishery Plus? Iya, ini adalah pendekatan untuk memadukan penanganan eks lahan mangrove menjadi tambak untuk dilipatgandakan produksinya.
“Selama ini begitu pak, kadang 50 kilo, kadang juga tidak ada sama sekali,” kata Kisman saat ditanya kondisi tambaknya selama ini.
Menurut peneliti Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau dan Penyuluhan Perikanan BRPBAP3 Maros, Dr Tarunamulia, konsep Silvofishery memang bukan konsep baru tetapi akan dijalankan dengan memberikan input tambahan, baik dalam hal teknis maupun manajerial.
“Kita, bersama warga setempat akan menanam mangrove, atau merestorasi eks lahan mangrove di samping areal tambak yang akan kita dampingi. Luasnya 2 hektar untuk dua desa yaitu di Desa Pegat Berumbuk dan Tabalar Muara,” ucapnya.
“Plus yang kita maksudkan adalah mendisain model atau luasan tambak yang terintegrasi, ada remediasi dan penanganan Cara Berbudidaya Ikan yang Baik (CBIB). Ini yang akan kami di BRPBAP3 koordinasikan dan perkuat, antara pemilik, petambak yang memang masih bersemangat untuk merevitaslisasi tambak mereka,” jelas Taruna.
Apa yang digambarkan di atas adalah bagian dari minat para pihak untuk mengambil bagian dalam mendorong tumbuh kembangnya usaha budidaya udang tanah air.
Yang menarik, untuk cerita di atas, BRPBAP3 Maros akan bekerjasama dengan masyarakat internasional dalam hal ini melalui Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), satu organisasi yang selama ini concern dengan isu konservasi hutan terutama mangrove di pesisir Kalimantan.
“Kita, atas kerjasama Dinas Perikanan Berau dan BRPBAP3 Maros dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan untuk sekurangnya bisa menerapkan beroperasinya tambak Silvofishery Plus ini selama 3 siklus,” kata Basir dari YKAN.
Kepala Dinas Perikanan Berau, Ir. Tenteram Rahayu mengapreasi inisiatif beberapa pihak dan menyebutnya sesuai dengan kebijakan pembangunan daerah.
“Bupati sangat mendukung dan kami berharap akan memberikan manfaat ekonomi bagi warga di dua desa. Selain itu dapat menjadi contoh bagi desa lain,” katanya saat ditemui di Kantor Bupati Berau.
Perspektif lain
Pelakita.ID memintai pendapat Yarifai Mappeati terkait gagasan penerapan Silvofishery Plus di Berau, Kalimantan Timur dan seperti apa masa depan budidaya udang nasional.
Yarifai adalah mantan karyawan pada perusahaan tambak super intensif Dipasena Lampung nun lampau. Dia hendak mengingatkan pada pihak termasuk gagasan Silvofishery Plus dari Berau ini.
“Saya termasuk yang selalu sangsi jika orang menyebut bahwa produksi udang kita anjlok karena wabah penyakit atau udang yang mudah menyebar atau mewabah, atau karena konversi mangrove, meski ini memang perlu diatasi,” ucapnya.
“Poinnya bukan di situ, ada banyak pengalaman dan bukti menunjukkan bahwa ini berkaitan dengan kualitas benur dan bagaimana benur dihasilkan termasuk pakan apa yang kita berikan,” tambahnya.
“Poinnya, pernahkah terpikirkan bahwa rontoknya usaha budidaya udang kita karena kita tidak merdeka dalam pemenuhan pakan udang? Tidak merdeka pada pemenuhan konsentrat atau pakan untuk aneka tingkatan PL? Bahwa kita tidak punya kendali pada bahan pencampur pakan?” tegasnya.
“Coba, ada berapa bagian dari proses pemijahan di hatchery, baik itu konsentrat atau bahan-bahan pelengkap pada nener di level usia larva? Kemudian jika ada penyakit atau virus mewabah, apa yang bisa dilakukan para pakar atau ahli? Setidaknya pada konsolisasi sumber daya dan dana Pemerintah agar kita bisa keluar dari belitan persoalan ini?” tanyanya.
“Yang saya ingin bilang, janganlah pledoi bahwa penyakit udang mudah menyebar, menyalahkan alam, menyalahkan sumber daya manusia kita. Saya melihat ada yang tidak beres atau kita abaikan sejauh ini,” katanya.
“Apa itu? Pemenuhan bahan-bahan vital bagi usaha pertambakan, bisa pangan, bisa konserntrat dan bahan kimiawi itu,” ucap alumni Jurusan Perikanan Universitas Hasanuddin ini.
“Pernah terpikirkan tidak bahwa jangan-jangan kita memang sedang diteror oleh pihak-pihak yang tidak ingin melihat kita berkembang di usaha budidaya ini? Sementara kita semua sibuk berdiskusi yang tidak substantif dan sesuai konteks-nya?” ucapnya lirih.
Yarifai berharap para pihak yang selama ini diberi mandat untuk membantu petambak turun tangan atau memaksimalkan effort untuk membereskan di hulu hilir usaha pertambakan ini.
Fokus di kualitas benur
Yang menjadi fokus penting untuk usaha budidaya adalah kualitas benur atau bibit. Sudah bukan rahasia lagi bahwa kualitas benur adalah salah satu faktor utama dalam keberhasilan budidaya.
Ini juga diakui oleh Kisman. “Selama ini, kadang kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Misalnya, saat kami butuh benur, yang ada yah kita ambil saja meski kadang kondisinya tak seperti yang kita inginkan. Kadang harganya diturunkan karena benur loyo,” ungkap Kisman.
“Kami ini tidak tahu apa itu PL, yang kami tahu kalau kita perlu bibit, belinya di Surabaya, belakangan ini di Tarakan. Kalau soal pakan, kami bergantung di alam saja,” tambahnya lagi. PL yang dimaksud adalah post larva.
Meski demikian, menurutnya, prospek usaha tambak di Berau masih sangat terbuka dan punya potensi besar untuk dikembangkan setidaknya jika melihat kondisi air dan masih tersedianya mangrove di beberapa bagian desa. Dia sendiri mulai membuka lahan tambak sejak 2016.
Pagi ini Kisman bahkan melaporkan ukuran udang yang sangat besar dan diperoleh oleh warga Pegat Betumbuk yang membesarkan udang selama 3,5 bulan.
“Pagi ini, Pak Saparuddin, warga Pegat Betumbuk panen udang pak. Ini masih sistim alami. Umur tiga bulan setengah jumlah panen sekitar 500 kilogram pak. Tidak ada pakan buatan tapi alami saja pak,” kisah Kisman via Whatsapp.
“Jumlah benur yang ditebar Pak Saparuddin mencapai 100 ribu ekor,” kata pria yang mengaku juga punya kurang lebih 9 hektar namun sudah lama tak dimanfaatkan karena pematangnya jebol.
“Yang menjadi fokus penting untuk usaha budidaya adalah kualitas benur atau bibit. Sudah bukan rahasia lagi bahwa kualitas benur adalah salah satu faktor utama dalam keberhasilan budidaya.”
Menurut Kisman, hasil tambak Pak Saparuddin telah dijual ke pembeli dari desa setempat. “Harga saat dijual yaitu Rp. 275 ribu per kilogram untuk yang ukuran besar dan untuk untuk ukuran di bawahnya Rp. 150 perkillo. Bukan hanya dua tapi empat jenis tingkatannya. Untuk grade ketiga harganya Rp. 100 ribu per kilogram lalu yang terakhir 75 ribu per kilogram,” tambahnya.
Terkait gagasan BRPBAP3 Maros dan YKAN untuk mendorong Silvofishery Plus disambut baik oleh Kisman.
“Kami ada 10 orang warga Pegat Betumbuk siap bekerjasama,” sambutnya.
Basir dari YKAN optimis apa yang dinisiasi ini dapat menjadi inspirasi untuk mengkombinasikan pendekatan pelestarian mangrove dan di sisi lain mengelola tambak dengan baik.
“Kami tidak merekomendasikan untuk membuka areal tambak apalagi menebang mangrove. Kami akan membantu warga untuk mengefektifkan yang terbengkalai sejauh ini. Harapannya, jika mengadopsi pendekatan cara berbudidaya yang baik akan meningkatkan produksi mereka,” tambah pria yang akrab disapa Opet ini.
“Kita bisa mendorong model seperti Sekolah Lapang untuk semua bisa berbagi, merefleksi kisah lapangan dan menyerap pembelajaran termasuk mencari alternatif untuk pakan buatan sendiri,” imbuhnya.
“Kayak sekolah lapangan, satu tahun kita coba ramai-ramai. Ini transformasi antara masyatakat lokal, local wisdom, sains. Kelompok ikut, pemiliknya, petambak. Kita ada asumsi produksi bukan hanya tergantung pada mereka, tetapi ada tahapan yang perlu diperbaiki, perolehan benur, pemilihan bibit, sekolah lapangan. Perlu dipadukan dengan pengalaman petambak,” papar Basir.
“Lalu mengapa BRPBAP3 Maros karena mereka Balai riset budidaya air payau. Salah satunya di Indonesia yang pas untuk kegiatan seperti ini,” tutupnya. (*)