PELAKITA.ID – Organisasi Destructive Fishing Watch atau DFW Indonesia sukses mengetengahkan ajang webinar informatif terkait Daya Saing Tuna Indonesia, dan dihadiri leih 100 peserta dari berbagai kalangan, peneliti, KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten Kota, LSM dan pemerhati usaha kelautan dan perikanan nasional dan internasional, (19/4/2022).
Tiga narasumber hadir berbagi pengalaman dan inspirasi yaitu Erwin Dwiyana Direktur Pemasaran DJPDS-KKP, M. Zulficar Mochtar (Ocean Solutions, IPNLF) dan Direktur Program Marine Stewardship Council (MSC) Indonesia Hirmen Sofyanto.
Pelakita.ID hadir pada webinar tersebut dan akan membagikan substansi pesan serta skop paparan narasuimber, kali ini paparan Erwin Dyiyana (DJPDS KKP), dua narasumber laiinya di artikel terpisah.
Posisi Indonesia dan potret bisnis tuna dunia
Dalam paparan berjudul Upaya Meningkatkan Daya Saing Tuna Indonesia. Erwin Dwiyana, Direktur Pemasaran, Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP menyebut posisi Indonesia dalam peta perdagangan tuna dunia berada di bawah Filipina, Vietnam, China hingga Ekuador.
Menurutnya, meski dari sisi perkembangan produksi, Indonesia mengalami kenaikan, 3,66 persen dan dari sisi produsen dari negara yang memproduksi tuna, Indonesia urutan pertama dan berpengaruh signifikan pada tuna dunia.
“Bagaimana Importir golobal? Sejauh ini ada 3 negara yang merupakan importir terbesar tuna dimana nilai impornya mencapai di atas 1 miliar US dillar dan paling tinggi adalah Jepang, kemudian Amerika dan Thialand., sementara masuk 5 besar, Spanyol dan Italia,” ungkapnya.
Menurut Erwin, Thailand yang bukan sebagai produsen tuna utama, malah ekspor lebih tinggi dibanding negara lain seperti Indonesia.
“Share khusus untuk eksporr untuk Indonesia masih kalah jauh Thaland Indonesia, 5,3 persen semenyaraThailand sudah mencapai 17,3 persen,” ujarnya. Ditambahkan, produksi Tunas Tongkol Cakalang Indonesia pasar utamanya adalah Jepang.
“Kita masih menjadikan tuna ini masuk dalam komunitas utama di Jepang walaupun posisi di nomor dua, lalu Uni Eropa dengan kontribusi 5,7 persen tuna atau dari total 5,7 miliar ekspor nilai ekspor Indoensia,” katanya.
“Sebaran unit pengolahan TTC berdasarkan data kami, pemilik sertifikat kelayakan pengolahan dalam tahun 2022 sebanyak 410 pengolahan menengah dan besar,” ucapnya.
Hambatan ekspor tuna kita menurut Erwin adalah berkenaan pengenaan tarif tinggi, lebih besar dari bahan baku.
Disebutkan bahwa Pemerintah dalam proses perundingan yang melibatkan Kementerian dan Lembaga dan masih berproses baik secara bilateral maupun secara multilateral.
“Penerapan tarif tinggi, lebih dari 15 persen dan tarif eskalasi dalam hal ini tarif produk olahan lebih tinggi bahan baku di negara tujuan ekspor,” katanya.
Dikatakan, tantangan dan hambatan lainnya adalah logsitik, sebagai dampak dari Pandemi COVID-19, dimana banyak kontainer tidak kembali dan ketersediannya terbatas, pengurangan jadwal pelayaran dampaknya juga masih terasa.
“Lalu, tentunya ketidakpastian kuota atau space atau kuota untuk ekspor. Untuk hamabatan ini memang ini terus dinegosiasikan dan dikoordinasikan oleh Kemernkomarves,” sebutnya.
Hal lain yang juga disampaikan adalah kebijakan internasional yang dikaitkan dengan sertifikasi, ketertelusuran komoditi, termasuk kebijakan terkait ‘marine mammals’ dan by catch.
“Tarif TTC masih tinggi terutama pada bentuk ikan olahan, baik itu di Uni Eropa kemudian di Jepang dan di pasar Amerika ini juga hambatan. Untuk tuna Indonesia perlu diupayakan untuk masuk sebayak-banyaknya ke tiga negara tujuan ekspor,” katanya.
Beberapa aspek lain yang juga disinggung seperti hambatan non tarif.
“Di Uni Eropa menghadapi proses untuk pembukaan kembali, approval number, karena sampai saat ini kami masih menunggu repson pihak Uni Eropa ni terkait approval number,” ucapnya.
“Di Russia, sekaitan dengan moratorium approval number, menjadi tantangan untuk mendorong produk perikanan bisa diekspor ke sana,” tambahnya.
Demikian pula China yang pernah dikaitkan dengan adanya kontaminasi COVID-19. Tantangan lainnya yang disampaikan Erwin adalah border rejection.
Erwin menyatakan Indonesia terus berupaya agar ada perbaikan sistem manajemen mutu yang menjadi syarat dalam produk perikanan Indonesia yang akan diekspor atau ke pasar domestik.
“Di KKP ada 9 langkah strategi peningkatan daya saing tuna Indonesia,” ungkapnya. Pertama, pemenuhan kebutuhan bahan baku unit pengolahan ikan sesuai standar seperti melalui peningkatan produksi berbasis kaawasan.
Kedua, peningkatan nilai tambah produk melalui pengutanan sistem rantai dingin dan pengembangan ragam produk. Ketiga, penataan sistem jaringan produksi, distribusi, pengolahan dan pemasaran, sistem logistik hulu-hilir.
Keempat penguatan dan penumbuhan iklim usaha dan investasi yang kondusif dalam rangka penumbuhan ekonomi yang berdaya saing.
Kelima, partisipasi dalam pameran nasional dan internasional, branding, buyer mission hingga pemarasan media online.
“Kita aktif mengikuti kegiatan atau promosi produk perikanan di pasar luar, yang pertama di sSeagood Expo North America dalam bulan Maret lalu, walaupun memang KKP tidak bisa hadir tetapi pelaku usaha sebanyak lima eksportir ikut serta dan difasilitasi KKP,” sebutnya.
“Dalam waktu dekat akan ikut serta Seafood Expo Global, di Barcelona tanggal 26 April 2022. Ada pelaku usaha yang akan hadir, di pavliliun Indonesia,” terangnya.
KKP juga aktif bersama beberapa platform dan mitra usaha seperti Smart Fish Unido, dengan AP2HI, kerjasama IPNLF, WWF, SECO Swiss.
Erwin menyebut dukungan peningkatan mutu perlu dilaksanakan baik dengan sertifikasi sebagai prasyarata untuk ekspor, lalu pengolahan ikan, kemudian juga standar dengan menggelar Bimtek dengan KKP maupun dengan kerjasama dengan beberapa Lembaga nasional dan internasional.
Keenam, promosi dan market intelligence dengan instansi atau lembaha pemerintah dan atau non pemerintah dalam dan luar negeri. Strategi ketujuh, sinergi penerapan aplikasi sistem telusur stok ikam dan produk perikanan pemerintah dan swasta sesuai persyaratan pasar.
Kedelapan, pemenuhan kepatuhan seluruh persyarakat pasar domestic atau ekspor, penguatan diplomasi dan penanganan hambatan pasar.
Kesembilan, peningkatan kompetensi dan jumlah SDM kelautan dan perikanan sesuai kebutuhan pada setiap rania bisnis perikanan di hulu hilir.
Hal lain yang juga penting sebagaimana dilakukan Thailand adalah diversifikasi produk olahan tuna.
“Dversifikasi olahan tuna juga dilakukan karena Thailan walaupun buka sebagai produsen penghasil tuna terbesar tetapi nilai ekspor cukup tinggi dan karena melibatkan banyak usaha peningkatan nilai tambah yang dilakukan oleh Thailan ini bisa menjadi opsi untuk kita ada usaha pengolahan diversifikasi tuna, untuk ekspor dan dalam negeri,” terangnya.
Simpulan
Di ujung webinar, moderator webinar Mohammad Abdi Suhufan yang juga Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia menyebut ada tiga hal yang bisa disimpulkan dari webinar kali ini.
“Pertama, ada harapan agar Indonesia dapat meningkatkan volume nilai ekspor jika selama ini berada di posisi enam di bawah China hingga Ekuador maka ke depan bisa menjadi minial peringkat ketiga,” katanya.
Yang kedua, lanjut Abdi, karakteristik penangkapan tuna nasional diisi oleh 70 hingga 80 persen sebagai nelayan kecil.
“Sehngga perlu diberi perhatian, untuk penguatan daya saing ekspor, dan yang ketika seperti diperkenalkan oleh MSC Indonesia, ini adalah salah satu pilihan untuk meningkatan nilai tambah tuna kita, ketiga simpulan ini merupakan jawaban dalam mengurai diskoneksitas dalam pengelolaan tuna kita seperti disampaikan Pak Zulficar Mochtar,” kuncinya.
Editor: K. Azis