Guru besar FIKP Universitas Hasanuddin, Prof Andi Iqbal Burhanuddin menganggap pemindahan ibu kota negara adalah hal biasa. Indonesia malah disebut terlambat dan tidak berani.
PELAKITA.ID – Setelah wacana memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) oleh sejumlah presiden sebelumnya gagal, akhirnya di era presiden ke 7 ini terwujud dan menjadi perbincangan banyak kalangan dan netizen.
Sebenarnya, Nusantara, demikian nama ibu kota yang diidamkan Pak Jokowi, sebelum rencana pemindahan ibu kota itu, sudah banyak negara melakukannya. Memindahkan ibu kota, bukanlah hal yang mustahil dilakukan dan bukan hal baru di dunia. Sejatinya Indonesia bisa dikatakan “kurang berani dan telat ” merencanakan pemindahan ibu kotanya.
Hasil kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menilai bahwa Jakarta dengan populasi 4,13 persen dari total penduduk Indonesia (11,25 juta jiwa /Juni 2021) yang padat, dan oleh beberapa pakar saat ini dinilai sudah tidak layak menjadi IKN yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan pusat bisnis. Mendesak untuk dipindahkan.
Negara tetangga Malaysia dengan pertimbangan penghuni IKN-nya yang sudah sangat padat, memindahkan Kuala Lumpur ke Putra Jaya. Myanmar memindahkan Ibu Kota dari Yangon ke Naypidaw. Sri Lanka yang menjadikan Sri Jayawardenepura Kotte sebagai Ibu Kota baru mereka menggantikan Colombo. Jepang memindahkan IKN dari Nara ke Kyoto kemudian ke Tokyo.
Nusantara, sebelum dipilih Indonesia, negara lainya yang juga berani memindahkan ibu kota pemerintahannya dengan pertimbangan menghindari risiko bencana alam, meratakan sebaran jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi.
Australia misalnya dari Melbourne di Victoria ke Canberra pada 1927 dan Brasil yang memindahkan Rio de Janeiro ke Brasilia pada 1960 serta beberapa Negara lainnya.
Juga, sejarah telah mencatat, beberapa kerajaan di Nusantara pada masa lalu juga diketahui pernah memindahkan ibu kota mereka. Salah satunya, Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa yang memindahkan ibu kotanya dari delta Sungai Brantas di sebelah timur wilayah yang saat ini dikenal sebagai Mojokerto, Jawa Timur, ke Trowulan padau 1294-1296 M.
Dari sisi kemaritiman, konsep program tol laut pemerintah yang sedang berjalan bertujuan untuk menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar yang ada di Nusantara sehingga pemindahan IKN akan menumbuhkan pusat-pusat pelabuhan dan logistik baru.
Dari segi ekonomi jangka panjang, secara bertahap akan berdampak positif terhadap pertumbuhan pusat ekonomi dalam konteks keseluruhan wilayah Indonesia. Sedangkan sisi sosial, politik, dan budaya, diharapkan dapat menggeser pola pikir yang selama ini berorientasi pada Jawa-sentris menjadi Indonesia-sentris.
Nusantara adalah pilihan nama untuk IKN dengan pertimbangan ada aspek historis, sosiologis, maupun filosofis, menyisihkan 80 nominasi nama lainnya yang diusulkan dari para ahli, di antaranya Negara Jaya, Nusantara Jaya, Nusa Karya, Nusa Jaya, Cakrawala Pura, Pertiwi Pura, Wana Pura, dll.
Beberapa literatur menjelaskan dari segi sejarahnya, nama Nusantara lahir pada zaman Kerajaan Majapahit sekitar abad XIV yang sering digunakan dalam konteks politik dan menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut Majapahit.
Nusantara berasal dari bahasa Jawa Kuno dan secara harfiah berarti “kepulauan”. Kata Nusantara diambil dari sumpah Gajah Mada (Sumpah Palapa) pada tahun 1336.
Gajah Mada adalah seorang pemimpin militer yang kuat dan perdana menteri Kerajaan Majapahit membawa kerajaan ke puncak kejayaannya. Gajah Mada bersumpah untuk tidak makan makanan yang mengandung rempah-rempah sampai ia menaklukkan seluruh Nusantara di bawah kejayaan Majapahit.
Nusantara menggambarkan Indonesia yang sangat melekat sebagai negara yang memiliki ribuan pulau ini kembali populer di saat masa pemerintahan Hindia Belanda.
Kala itu, Ki Hadjar Dewantara mengusulkan nama Nusantara sebagai pengganti nama untuk wilayah Hindia Belanda yang diaharapkan menggambarkan kesatuan pulau secara Geografis-antropoligis karena adanya perkembangan kepentingan politik di benua Asia dan Australia.
Editor: K. Azis