Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) Universitas Hasanuddin Prof Andi Iqbal Burhanuddin, M.Fish.Sc,Ph.D membagikan perspektif dan ‘penggeledahannya’ pada aksi China di Laut Natuna Utara. Apakah itu sekadar ‘psywar’ atau memang sudah punya agenda jangka panjang untuk klaim sumber daya yang ada di sana?
PELAKITA.ID – Kondisi di Laut Natuna Utara (LNU), salah satu Kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau kembali mencuri perhatian. Diberitakan media, berdasarkan laporan Badan Keamanan Laut Republik Indonesia bahwa ribuan kapal kapal asing menghuni dan kerap ditemukan tertangkap radar berada pada daerah wilayah territorial Indonesia membuat geger publik di Tanah Air beberapa hari terakhir.
Meski demikian, banyaknya kapal asing wilayah perairan laut tertangkap radar tersebut tentu tidak bisa dipungkiri juga karena di LNU merupakan pintu masuk dan keluar kapal yang melalui Selat Sunda dan Selat Malaka yang berbatasa dengan Laut China Selatan, juga merupakan jalur pelayaran Internasional.
Diberitakan pula bahwa kapal survey China, Haiyang Dizhi Shihao 10, terpantau tanggal 2 hingga 27 September 2021 beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif milik Indonesia (ZEEI).
Haiyang Dizhi 10 merupakan kapal yang dilengkapi berbagai peralatan survey bawah laut yang canggih, termasuk memiliki peralatan seismic wave detection untuk memetakan kontur dasar laut itu tanpa izin melintas zig-zag dan diduga melakukan riset bawah laut di perairan mengandung cadangan miyak dan gas tersebut.
Kehadiran kapal asing di perairan territorial kita itu tentu menjadi peringatan bagi Indonesia untuk lebih memperketat pertahanan serta pengawasan.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982 telah mengatur dengan jelas bahwa survey hidrografi dan penelitian laut di ZEE oleh negara asing harus seizin dengan Negara pantai, Indonesia.
ZEE Indonesia adalah buah dari perjuangan tokoh-tokoh hukum laut internasional kita sejak 50 tahun lalu. Dipimpin oleh Mochtar Kusumaatmadja dan Hasjim Djalal, mereka berjuang hingga oleh PBB klaim Indonesia diterima UNCLOS pada 1982.
Karena itu, pemerintah RI harus segera mencari tahu point of Interest China yang mengerahkan kapal survey untuk menggelar riset di lokasi hak berdaulat Indonesia.
Ada apa di Natuna?
Sengketa Laut China Selatan muncul pertamakali pada dasawarsa 1970-an, berulang kembali di dasawarsa 1980-an, dan terjadi lagi pada dasawarsa 1990-an, pun tak kurang memanasnya memasuki dasawarsa 2010 dan bahkan hingga kini.
Berdasarkan sejarah kemaritiman, Laut China Selatan sejak abad ke 13 sudah digunakan sebagai jalur armada Mongol di bawah pimpinan Kubilai Khan ketika masuk ke Jawa yang waktu itu dikuasai oleh Kerajaan Majapahit dipimpin oleh Raja Jayakatwang dan Raden Wijaya.
Kepulauan Natuna yang sampai saat ini masih menjadi jalur strategis dari pelayaran internasional masuk ke dalam kepenguasaan Kedaulatan Riau dan menjadi wilayah dari Kesultanan Riau pada abad ke-19.
Bentangan wilayah yang luas dan juga sejarah penguasa tradisional yang silih berganti pada kawasan ini di masa lalu, kini beberapa negara seperti Tiongkok, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam, terlibat saling klaim atas sebagian ataupun seluruh wilayah perairan tersebut.
Secara geografis kawasan dengan sumber daya alam melimpah dan berbatasan langsung dengan laut bebas membuat beberapa Negara negara tetangga seperti China, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei menggunakan versi sejarah yang berbeda-beda untuk mendukung pernyataan kedaulatan mereka dan untuk menjadikan Natuna sebagai incaran.
China mengklaim bagian terbesar, menyatakan mempertahankan haknya atas hampir 90 persen Laut China Selatan, menduduki semua Kepulauan Paracel, terumbu karang di Spratley, termasuk Fiery Cross Reef dan Johnson South Reef.
China mengklaim apa yang disebut “sembilan garis putus-putus ” yang membentang hampir 2 ribu kilometer dari daratan China hingga beberapa ratus kilometer dari Filipina, Malaysia, dan Vietnam.
Pada Juli 2017, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman meluncurkan peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baru. Peta baru tersebut menitikberatkan pada perbatasan laut Indonesia dengan negara lainnya. Nama Laut China Selatan juga diganti menjadi Laut Natuna Utara. Langkah tersebut diambil untuk menciptakan kejelasan hukum di laut dan mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif milik Indonesia. Tetapi, penamaan tersebut dilakukan di wilayah yurisdiksi laut Indonesia, bukan wilayah Laut China Selatan secara keseluruhan.
Sekarang ini Laut China Selatan adalah jalur kapal-kapal niaga tercepat dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia, dan merupakan tempat bagi beberapa jalur pelayaran tersibuk di dunia. Laut China Selatan juga menghubungkan Asia Timur dengan India, Asia Barat, Eropa, dan Afrika.
Kawasan tersebut memiliki cadangan minyak yang dan gas yang belum tereksploitasi. Beberapa penelitian melaporkan bahwa Laut China Selatan merupakan laut setengah tertutup, yang memiliki sumber pakan ikan berlimpah, potensi perikanan pada tahun 2012 di kawasan wilayah penangkapan perikanan (WPP 711) tersebut sekitar 12 persen dari total tangkapan dunia yang bernilai sekitar 28 miliar dolar Australia.
Baraya 3 Oktober 2021