PELAKITA.ID – Sejumlah ahli berpendapat di era New Normal pascapandemic Covid 19, bisnis global akan bergeser dan didominasi oleh pangan, teknologi Informasi,llogistik , green energy, dan usaha pariwisata. Diprediksi satu, dua tahun mendatang bisnis di sektor ini semakin menggeliat.
Kasus pandemic Covid-19 yang berlangsung hampir dua tahun, telah mengubah kebiasaan hidup warga dunia. Peran teknologi informasi sangat menonjol. Mulai dari pembelian pangan, tatakelola, transaksi, hingga belajar mengajar hampir semua dilakukan secara digital.
Bisnis logistik tidak bisa di “lock down”, karena sangat berperan dalam mengantarkan kebutuhan paling primer warga dunia seperti pangan dan sandang yang tidak boleh terhenti.
Selain itu warga dunia “dipaksa” untuk sadar akan pentingnya kesehatan, termasuk mengurangi stres dan kejenuhan sehingga memerlukan rekreasi.
Laut merupakan sumber kehidupan masa datang, karena akan nenjadi sumber berbagai pangan, green energy, infrastruktur logistik serta pariwisata bahari. Dan semuanya akan terkelola dengan digitalisasi.
Indonesia sesungguhnya sangat diuntungkan, karena merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar dan garis pantai terpanjang kedua setelah Canada.
Presiden Joko Widodo bersama wakilnya Ma’ruf Amin, di RPJMN periode 2019-2024, telah memberi perhatian khusus pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Dan boleh jadi ini sebagai “pesan Illahi” sehingga selaras dengan tuntutan era New Normal akibat pandemic Covid-19, yang muncul di 2020.
Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan, dalam koordinasi Menko Maritim dan Investasi akan mengembangkan industrialisai udang dan rumput laut dengan cara-cara baru, yaitu “Shrimp Estate maupun Seaweed Estate” , yaitu bisnis terintegrasi yang berorientasi pada efisiensi, daya saing dan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan.
Pada tahun 2021, Pemerintah akan menetapkan satu kabupaten untuk Shrimp Estate, dua kabupaten dari 514, untuk Seaweed Estate. Dan pelaksanaannya tahun 2022-2024. Saat ini sementara dilakukan final check terhadap Maluku Tenggara dan Sumba Timur sebagai lokus Seawed Estate.
Minggu, 22 Agustus hingga Kamis 26 Agustus 2021, saya mendapat tugas bersama sejumlah ahli dari Kementereian teknis, untuk melihat kelayakan teknis, ekonomi, sosial budaya dan komitmen Pemkab Maluku Tenggara sebagai calon penyelenggara Seaweed Estate.
Penerbangan dari Patimura Ambon ke bandara Langgur, kabupaten Maluku Tenggara kurang lebih 1,5 jam.
Dari ketinggian terlihat bahwa wilayah Maluku Tenggara terdiri dari dua gugus pulau besar yaitu gugus pulau Key Kecil dan gugus pulau Key Besar.
Tepat pukul, 13.45 waktu Indonesia Timur, Wings Air mendarat mulus di bandara udara Karel Sadsuitubun Langgur, Maluku Tenggara. Bandara ini memiliki runway 2.350 m dan akan diperpanjang menjadi 2.800 m, sehingga leluasa didarati jenis Boeing 737-800 atau 900.
***
Bandara ini menjadi strategis bagi kota Tual maupun Langgur sebagai salah satu wilayah yang menopang program Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional yang telah di-declare, di era Presiden SBY, selanjutnya akan segera direalisasikan pada era Presiden Jokowi dengan ekspor langsung hasil perikanan dari Tual termasuk rumput laut.
Langgur, adalah ibukota Maluku Tenggara, dan dalam sejarahnya telah tiga kali dimekarkan menjadi Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Kepulauan Aru dan Kota Tual. Bahkan kabupaten Tanimbar juga telah dimekarkan sehingga Maluku Tenggara telah memiliki “satu cucu”.
Penduduk kabupaten ini di 2020 127.843 jiwa, luas wilayah sekitar 4.212,5 km persegi, wilayah pesisir dan laut sekitar 3.180,7 km persegi. Selanjutnya garis pantai 650 km dengan jumlah pulau berpenghuni 8 pulau dari 68 buah pulau.
Meski memiliki potensi yang besar, tetapi angka kemiskinan di 2020 relatif tinggi sekitar 22,57 persen. PAD, Pendapatan Asli Daerah sekitar 62 miliar rupiah dan total APBD pada angka sekitar 600 miliar rupiah. Selanjutnya pendapatan per kapita sekitar $ 2.300 US atau sekitar 33 juta rupiah per tahun.
Seaweed atau rumput laut secara global merupakan komoditas yang telah lama dikenal sebagai bahan makanan, zat aditif produk olahan pangan, bahan kosmetik, industri cat, pasta gigi, bahan baku pupuk cair hingga sebagai sumber bahan kemasan pengganti plastik.
Karena ada pasar dan permintaan cukup tinggi, maka sejak lama atau hampir 35 tahun lalu komoditas ini telah digeluti warga pesisir melalui usaha budidaya.
Di saat itu usaha budidaya rumput laut telah menjadi primadona dan harapan baru bagi warga di wilayah pesisir Indonesia sebagai sumber pendapatan baru yang menjanjikan.
Selain karena ada pasar, daya tarik lain usaha ini adalah, lahan tidak perlu dibeli, cukup dapat izin dari Pemerintah setempat, serta lama budididaya hanya 45 hari. Bahkan daya tarik ini telah menjadi pemicu lahirnya transmigrasi swadaya dalam kelompok kelompok kecil di sejumlah wilayah pesisir.
Priode tahun 1985-2010, hampir 25 tahun, merupakan masa emas dari bisnis ini. Dan prestasi ini tidak lepas dari intervensi Pemerintah Pusat maupun daerah memberi dukungan di sektor hulu, on farm (budidaya) dan sektor hilir. Mulai dari bantuan benih, tali, pelampung dan peralatan lainnya pendukung budidaya.
Tidak cukup sampai di situ. Setelah melihat usaha budidaya rumput laut ini berkembang pesat dan dampaknya bisa mengurangi angka kemiskinan dan membuka lapangan kerja, maka intervensi di sektor hilir juga dilakukan melalui pembangunan sejumlah pabrik setengah jadi di sejumlah sentra produksi rumput laut Indonesia.
Sentra produksi utama rumput laut pada saat itu umumnya berada. di wilayah yang memiliki gugus pulau kecil antara lain Sulawesi, Maluku, Nusatenggara, kepulauan Riau dan Papua. Hanya saja disayangkan niat baik Pemerintah,meningkatkan nilai tambah bisnis rumput laut ini tidak sesuai harapan.
Sejumlah pabrik yang telah selesai dibangun tidak beroperasi sacara maksimal. Bahkan ada yang tidak pernah beroperasi sejak dibangun.
Sejumlah permasalahan ditengerai menjadi penyebab gagalnya pabrik itu yang telah menghabiskan dana yang jumlahnya tidak sedikit
Permasalahan tersebut antara lain: Lokasi pabrik yang kurang layak; Cost logistic lebih mahal; Teknologi pabrik tertinggal; spesifikasi mesin kurang sesuai tuntutan dan lebih mahal serta ; Manajemen kurang profesional.
Dan yang tidak kalah pentingnya produk turunan atau nilai tambah sangat terbatas.
Secara agregat persoalan tersebut menyebabkan pabrik yang selesai dibangun menjadi kurang efisien mengolah bahan baku rumput laut menjadi barang setengah jadi. Dan kemudian kalah bersaing menbeli bahan baku, karena daya beli kebih rendah. Selanjutnya pembudidaya lebih memilih menjual ke eksportir, karena harga lebih tinggi.
Saat ini harga rumput laut kering di Maluku Tenggara dengan standar tertentu di pembudidaya sebesar 13-15 ribu rupiah per kilogram . Dan tiba di pabrik milik swasta di Surabaya mencapai 21-23 ribu rupiah. Dalam artian terdapat selisih sekitar 8 ribu per kg, dan ini berada di pedagang pengumpul.
Bisnis rumput laut Euchema cottoni di Maluku Tenggara dimulai awal tahun 2000 hingga sekarang. Dan dalam perjalanannya harga rumput laut kering bisa anjlok hingga 6 ribu rupiah.
Saat itu hampir semua pembudidaya berhenti, oleh karena pendapatan dari usaha itu hanya 600 ribu per bulan dari penjualan 100 kg rumput kering.
Bila harga rumput laut kering naik hingga 15 ribu rupiah/ kg, bahkan pernah mencapai 19 ribu rupiah, akan kembali memicu semangat berbudidaya .
Hanya saja tidak serta merta usaha bisa bangkit lkarena, sudah beralih ke pekerjaan lain, kehabisan modal, bibit tidak tersedia, dan adanya trauma dari pembudidaya. dengan harga yang tidak stabil.
Dari uraian di atas, menunjukkan idealnya pendapatan rata rata dari pembudidaya rumput laut di Kabupaten Maluku Tenggara minimal sama dengan upah minimum regional, UMR Provinsi Maluku (2020) yaitu sebesar Rp2.604.960, agar usaha budidaya rumput laut tetap digeluti dan menjadi salah satu sumber pendapatan utama masyarakat di wilayah pesisir.
Agar usaha budidaya rumput laut, dapat berkesinambungan, maka harga rumput laut kering di tingkat pembudidaya harus dipertahankan minimal 26 ribu rupiah per kg dari hasil penjualan 100 kg rumput kaut kering. Ini akan menjadi skenario pertama.
Skenario kedua produktivitas per orang dinaikkan menjadi 175 kg rumput laut kering per bulan dan harga di pembudidaya minimal 15 ribu rupiah per kg. Dua skenario ini tentunya menjadi pilihan dalam merancang program Seaweed. Estate.
Seaweed Estate merupakan usaha budidaya rumput laut terintegrasi dari hulu ke hilir, terkemas dalam satu rangkaian konektifitas yang efisien. Setidaknya terdapat empat variabel besar yang akan berperan terhadap kesuksesan Program ini.
Yaitu (1) Kemampuan memotong supply chain, atau rantai pasok yang panjang ;(2) Kemampuan memberi nilai tambah, value chain terhadap produk yang dipandang masih kurang ; (3) Komitmen dari Pemda atas program ini ; dan tidak kalah pentingnya (4) Adanya komitmen pembudidaya terhadap standar kerja dan produk.
Artikel ini akan dilanjutkan pada bagian kedua, dan fokus ulasan mendetailkan empat variabel besar tersebut dalam mengsukseskan program pemberdayaan maupun pertumbuhan ekonomi wilayah dan devisa bagi Negara. Semoga.
Penulis: Dr Ir H. Hasanuddin Atjo, M.P, praktisi budidaya perikanan
Editor: K. Azis