PELAKITA.ID – Potensi sumber daya perikanan wilayah perairan laut Indonesia seharusnya bisa menjadi solusi di tengah kelangkaan pendapatan negara, apalagi setelah merebaknya pandemi COVID-19. Potensi kelautan dan perikanan dapat memberikan sumbangan terutama sebagai sumber mata pencaharian masyarakat pesisir, sumber protein serta sumber pendapatan asli daerah (PAD).
Dalam rangka pemanfaatan sumber daya perikanan di wilayah perairan laut Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), maka perairan yang ada seharusnya dapat dikelola dengan prinsip keberlanjutan, sehingga dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan.
“Pengelolaan perairan lndonesia dibagi menjadi beberapa satuan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) untuk memudahkan pengklasifikasian, pengawasan dan rencana tindak lanjut terhadap pengelolaan sumberdaya di masing-masing WPPNRI,” kata Kasubdit monitoring dan analisis sumber daya ikan, SDI Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap – KKP, Syahril A. Raup, saat dihubungi Pelakita.ID, 12 September 2020.
Menurutnya, WPPNRI meliputi perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). WPPNRI dibagi dalam 11 (sebelas) wilayah pengelolaan perikanan termasuk WPP 718.
“WPPNRI tersebut ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 18 Tahun 2014. Diantara kesebelas WPPNRI tersebut terdapat WPPNRI 718 yang merupakan Salah satu perairan tersubur di dunia. Hal ini dapat tergambarkan dengan melimpahnya sumberdaya perikanan pada perairan WPP 718 terutama udang dan ikan demersal,” jelas Syahril.
Menurut Fasilitator DFW Indonesia, Muhammad Arifuddin, nelayan-nelayan ini beroperasi di area pengelolaan perikanan atau WPP 718, salah satunya WPP tersebut dan padat di Indonesia.
Namun usaha penangkapan Perikanan di perairan WPP 718 sudah dilakukan sejak lama, dimulai oleh perusahaan patungan (joint venture) antara Indonesia dengan Jepang pada tahun 1970-an.
Pada saat ini, penangkapan udang dan ikan demersal dilakukan pada perairan terbatas yaitu di perairan sekitar Merauke, Kaimana, Fakfak, Dobo dan Saumlaki.
Sementara itu, penangkapan ikan dasar di Laut Arafura berkembang sejak tahun 1990-an, yaitu sejak armada BLL dari Tanjung Balai Karimun (TBK) berekspansi dengan basis operasional di Probolinggo (Jawa Timur).
Laut Arafura juga memiliki sumberdaya ikan pelagis kecil dan ikan terbang yang memiliki basis operasional di Fak-Fak. Di samping itu, perairan wilayah WPPNRI 718 ini juga memiliki potensi untuk pengembangan usaha budidaya laut.
“Oleh karena itu, data informasi yang berkaitan dengan potensi sumber daya perikanan di wilayah WPPNRI 718 ini menjadi penting untuk diketahui oleh para pengambil kebijakan perikanan dan pemanfaat,” kata Arifuddin
Hal lain adalah terkait kondisi sosial ekonomi masyarakat perikanan di Pulau Aru terutama nelayan yang melakukan usaha penaangkapan ikan di wilayah WPPNRI 718. Kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan yang dimaksudkan mencakup pekerjaan, sarana prasarana, pemasaran dan pendapatan harian mereka. Secara umum kondisi mereka masih jauh tertinggal dibanding nelayan lain di Pulau Sulawesi atau Jawa.
Selama ini, daerah penangkapan ikan pelagis besar seperti tuna di wilayah ini terdapat pada perairan < 100m di pantai barat Papua, meliputi Fakfak, Kaimana dan Merauke.
Penelusuran DFW Indonesia menurut Muhammad Arifuddin ditemukan bahwa usaha perikanan dapat ditemukan di sekitar Kepulauan Aru dan Yamdena sebagian besar usaha penangkapan adalah bersifat skala kecil dengan pola penangkapan tradisional dengan menggunakan kapal < 10GT.
DFW juga melaporkan bahwa usaha budidaya juga berkembang di kawasan ini terutama rumput laut di Pulau Yamdena, dari Desa Lermatang hingga Latdalam di barat.
Lima strategi
Sementara itu, pengamat kelautan dan perikanan Kamaruddin Azis yang juga blogger kelautan dan pernah ke Saumlaki, Maluku Tenggara Barat, menyebut sekurangnya ada lima aspek yang perlu mendapat perhatian jika ingin mengembangkan potensi perikanan di WPPNRI 718.
Pertama, mendorong berjalannya fungsi pendataan dan analisis sumber daya ikan secara berkala di WPPNRI. Ini penting supaya ada bahan untuk dianalisis dan diberi solusi berkaitan daya dukung dan peluang pengembangan.
“Kedua, mengingat masih adanya gap antara armada yang datang dari luar WPPNRI 718 dengan nelayan lokal maka perlu dicarikan solusi untuk transfer kapasitas dan pengembangan armada perikanan,” katanya.
Ketiga, lanjut Kamaruddin, yaitu perlunya perbaikan pemasaran dan manajemen produk perikanan. “Mengingat akses yang jauh dari sentra perikanan seperti Ambon, Merauke atau Surabaya dan Makassar, maka perlu dikembangkan sentra perikanan dengan memanfaatkan wilayah terdekat seperti Kota Saumlaki atau Tual,” ucapnya.
“Keempat, penguatan kelembagaan nelayan skala kecil dengan perbaikan mutu terutama penangkap ikan tuna atau cakalang. Inilah yang perlu diinstensifkan, baik dari sisi perbaikan metode penguatan maupun ketersediaan anggaran untuk program-program pelatihan masyarakat di sekitar WPP 718,” imbuh mantan ketua Ikatan Sarjana Kelautan Universitas Hasanuddin ini.
“Kelima, dukungan pembiayaan. Pemerintah daerah Provinsi Maluku, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur bersama Pemerintah Pusat dalam hal ini KKP dan Kemenkomarinves segera mendorong masuknya investor yang mengarusutamakan model inti plasma. Misalnya pada industri processing tuna, cakalang atau tongkol,” pungkasnya.
Kontributor: Jawadin