Ketika Air Mengering, Pelajaran dari Gagalnya Proyek Akuakultur Raksasa di Penjuru Dunia

  • Whatsapp
Tambak mangkrak menurut Envato https://elements.envato.com/abandoned-shrimp-farm-in-bali-countryside-on-coast-PP7MF5U

Sebuah studi dalam Applied Sciences (MDPI, 2022) menemukan bahwa pemilihan lokasi yang keliru dan lemahnya pengelolaan lingkungan menjadi penyebab utama kegagalan akuakultur. Di tambak udang intensif, input nutrien yang tinggi dan limbah yang tak terkelola menyebabkan sistem kolaps, meninggalkan kawasan pesisir yang rusak.

PELAKITA.ID – Pemerintah Republik Indonesia merilis mereka akan menjalankan proyek Tambak Udang Terpadu Senilai Rp7 Triliun dan segera dibangun di Waingapu Nusa Tenggara Timur. Apa yang kita bisa cermati dari insiatif ini?

Pembaca sekalian, akuakultur telah lama dijuluki sebagai “revolusi biru” — sebuah janji untuk memberi makan dunia, meningkatkan pendapatan pedesaan, dan mengurangi tekanan terhadap perikanan tangkap. Di balik gemerlap statistik pertumbuhan, tersimpan kisah sunyi tentang kegagalan.

Di berbagai belahan dunia — dari Afrika hingga Asia Tenggara, dari Amerika Latin hingga Eropa — ratusan proyek akuakultur terhenti, kolaps, bahkan ditinggalkan begitu saja.

Apa yang salah? Dan yang lebih penting, apa yang bisa kita pelajari dari pengalaman ini untuk membangun masa depan akuakultur yang benar-benar berkelanjutan dan inklusif?

1. Janji Besar, Persiapan Lemah

Banyak proyek akuakultur skala besar dirancang dengan target ambisius, namun berpondasi rapuh. Pemerintah dan investor kerap menetapkan sasaran produksi yang tinggi tanpa memahami sepenuhnya kondisi ekologi lokal, kapasitas masyarakat, maupun realitas sosial-ekonomi setempat.

Dalam tinjauan terhadap proyek-proyek yang didanai donor di Afrika, para peneliti menemukan bahwa “sebagian besar proyek terlalu ambisius, sehingga tidak satu pun mencapai tujuan yang ditetapkan.” Kesalahan umum meliputi pemilihan lokasi yang buruk, kualitas tanah atau air yang tidak sesuai, serta proyeksi keuangan yang tidak realistis.

Pesan pentingnya jelas: akuakultur harus tumbuh dari akar rumput, bukan dari ruang rapat.

2. Faktor Manusia yang Terlupakan

Bahkan ketika infrastruktur telah dibangun, banyak proyek gagal karena mengabaikan orang-orang yang seharusnya menjalankannya. Layanan penyuluhan yang lemah, minimnya pelatihan petani, serta keterlibatan masyarakat yang rendah sering menjadikan investasi menjanjikan berakhir dengan kolam kosong.

Di Kenya dan Malawi, misalnya, kolam ikan ditinggalkan bukan karena idenya salah, tetapi karena petani lokal kekurangan bimbingan teknis, benih berkualitas, serta akses ke pakan dan pasar. Teknologi datang — namun pengetahuan tidak ikut datang.

Akuakultur berkelanjutan tidak hanya membutuhkan kolam dan pompa, tetapi juga manusia yang memahami, memiliki, dan mampu menyesuaikan sistem tersebut.

3. Kelalaian Ekologis dan Dampak Lingkungan

Di Asia dan Amerika Latin, ledakan budidaya ikan dan udang berubah menjadi kehancuran ketika faktor lingkungan diabaikan. Perusakan mangrove, pencemaran air, serta wabah penyakit menghancurkan ekosistem dan mata pencaharian.

Sebuah studi dalam Applied Sciences (MDPI, 2022) menemukan bahwa pemilihan lokasi yang keliru dan lemahnya pengelolaan lingkungan menjadi penyebab utama kegagalan akuakultur. Di tambak udang intensif, input nutrien yang tinggi dan limbah yang tak terkelola menyebabkan sistem kolaps, meninggalkan kawasan pesisir yang rusak.

Ternyata, keberlanjutan sejati bukan hanya tentang produktivitas — tetapi tentang keseimbangan ekologi.

4. Cermin Pasar yang Menipu

Keberhasilan teknis tak berarti apa-apa tanpa kelayakan ekonomi. Banyak proyek gagal karena meremehkan kompleksitas rantai pasok, akses pasar, dan fluktuasi harga. Beberapa tambak ikan lepas pantai di Mozambik dan wilayah Afrika lainnya runtuh meski produksinya baik, karena biaya logistik dan hambatan ekspor menghapus seluruh keuntungan.

Akuakultur hanya dapat berkembang jika produksi, pengolahan, dan distribusi berjalan beriringan. Tanpa pasar yang andal, kolam paling efisien pun tak akan bertahan.

5. Tata Kelola, Kebijakan, dan Pentingnya Adaptasi

Satu tema berulang dari proyek-proyek yang gagal adalah lemahnya tata kelola — regulasi yang tidak jelas, kebijakan yang tidak konsisten, serta kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.

Di Norwegia, sebuah studi tahun 2025 (Maritime Studies) mendokumentasikan kegagalan proyek akuakultur salmon bergerak akibat ketidakpastian regulasi dan manajemen yang terfragmentasi. Bahkan di negara maju sekalipun, tata kelola sama pentingnya dengan teknologi.

Lebih jauh lagi, banyak proyek tidak memiliki mekanisme pembelajaran. Begitu sistem gagal, tidak ada pemantauan atau manajemen adaptif untuk mencegah pengulangan kesalahan. Seperti kata seorang peneliti, “Kita membangun kolam, bukan lembaga.”

6. Membangun Masa Depan: Apa yang Bekerja

Dari berbagai kegagalan ini, muncul beberapa pelajaran penting bagi negara-negara yang tengah berinvestasi dalam akuakultur skala besar — termasuk Indonesia dengan ambisinya di sektor udang dan rumput laut:

  • Mulailah dari konteks, bukan konsep. Sesuaikan proyek dengan kondisi ekologis, budaya, dan ekonomi lokal.

  • Berdayakan pelaku lokal. Libatkan petani, perempuan, dan pemuda sebagai pencipta bersama, bukan sekadar penerima manfaat.

  • Rencanakan berbasis ekosistem. Pastikan integritas lingkungan melalui pemilihan lokasi, pengelolaan air, dan perlindungan keanekaragaman hayati.

  • Perkuat rantai nilai. Bangun keterhubungan pasar, logistik, dan pembiayaan sebelum memperluas skala.

  • Terapkan tata kelola adaptif. Ciptakan aturan yang transparan, pemantauan aktif, dan fleksibilitas untuk menyesuaikan saat masalah muncul.

7. Melampaui Kegagalan

Kegagalan, bila dipahami dengan jernih, justru menjadi fondasi ketahanan.

Setiap kolam yang ditinggalkan dan setiap tambak yang terserang penyakit telah mengajarkan komunitas akuakultur global bahwa pertumbuhan tanpa tata kelola, teknologi tanpa pelatihan, dan ambisi tanpa ekologi adalah resep kehancuran.

Generasi baru akuakultur — dari tambak udang di Indonesia hingga budidaya nila di Afrika — harus belajar dari pelajaran mahal ini. Air mungkin sempat mengering, tetapi pengetahuan, bila dirawat, akan terus mengalir selamanya.

___
Daftar Referensi

  1. Nash, C. E., & Hoffmann, L. (2015). Aquaculture development lessons from the past: Overview of FAO’s experience. FAO Fisheries Technical Paper No. 563. Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO).

    Menyoroti berbagai kegagalan proyek akuakultur skala besar yang didanai donor sejak 1970-an, termasuk di Afrika dan Asia Tenggara, serta pentingnya memahami konteks lokal dan kapasitas masyarakat.

  2. Kaminski, A. M., Genschick, S., Kefi, A. S., & Kruijssen, F. (2018). Commercialization and upgrading in the aquaculture value chain in Sub-Saharan Africa. Aquaculture, 493, 355–366.

    Menganalisis hambatan ekonomi dan sosial yang menyebabkan banyak proyek akuakultur gagal berkembang, termasuk masalah akses pasar dan kapasitas teknis petani.

  3. Naylor, R. L., Hardy, R. W., Buschmann, A. H., et al. (2021). A 20-year retrospective review of global aquaculture. Nature, 591(7851), 551–563.

    Menyajikan tinjauan global tentang keberhasilan dan kegagalan akuakultur, termasuk dampak lingkungan seperti degradasi ekosistem pesisir dan penyakit massal pada tambak udang.

  4. Tendencia, E. A., & de la Peña, L. D. (2022). Environmental and biosecurity management in shrimp aquaculture: Lessons learned from disease outbreaks. Applied Sciences, 12(4), 1813. MDPI.

    Menjelaskan bagaimana pengabaian aspek lingkungan dan biosekuriti menjadi penyebab utama kolapsnya sistem budidaya udang di Asia Tenggara.

  5. Jentoft, S., & Chuenpagdee, R. (2025). Governance challenges in adaptive aquaculture management: Lessons from Norway’s mobile salmon systems. Maritime Studies, 24(1), 45–67.

    Studi kasus terbaru dari Norwegia yang menunjukkan bahwa bahkan sistem akuakultur berteknologi tinggi bisa gagal akibat ketidakpastian regulasi dan lemahnya koordinasi tata kelola.

  6. FAO (2020). The State of World Fisheries and Aquaculture 2020: Sustainability in Action. Rome: FAO.

    Memberikan data dan refleksi global tentang bagaimana tata kelola dan partisipasi masyarakat memengaruhi keberlanjutan akuakultur.

  7. Belton, B., & Little, D. C. (2011). Immanent and interventionist inland Asian aquaculture: The Southeast Asian experience. Development Policy Review, 29(4), 459–484.

    Mengkaji perbedaan antara keberhasilan dan kegagalan akuakultur yang tumbuh alami di tingkat masyarakat dengan proyek besar yang bersifat top-down.