Kementerian ESDM: Sulawesi, Laboratorium Transisi Energi di Timur Indonesia

  • Whatsapp
Rara Anjelina pada pemaparan transisi energi Indonesia

Menuju Sistem Energi Bersih, Mandiri, dan Berkelanjutan

PELAKITA.ID – Transformasi sektor ketenagalistrikan menjadi pilar penting dalam perjalanan Indonesia menuju masa depan energi bersih.

Demikian disampaikan oleh Rara Anjelina dari Kementerian ESDM pada Indonesia Sustainable Energy Week 2025 di Kota Makassar, 29 Oktober 2025.

Menurut Rara, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, pembangunan ketenagalistrikan bertujuan menjamin ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, berkualitas, dan terjangkau untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Negara Sebagai Pengatur dan Pengarah Utama

Penyediaan tenaga listrik di Indonesia dikuasai oleh negara dan diselenggarakan berdasarkan prinsip otonomi daerah. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah berperan sebagai regulator dan fasilitator, memastikan semua proses penyediaan listrik berjalan dalam koridor norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) nasional.

Peran negara meliputi tiga ranah utama:

  1. Regulasi: merumuskan kebijakan, standar teknis, dan tata kelola penyediaan tenaga listrik.

  2. Perizinan: menetapkan rencana umum ketenagalistrikan nasional (RUKN) dan daerah (RUKD), wilayah usaha, serta izin usaha penyediaan tenaga listrik (IUPTLU/IUPTLS).

  3. Pendanaan dan intervensi: memastikan kelompok masyarakat tidak mampu dan daerah terpencil tetap mendapat akses listrik yang layak, termasuk untuk program listrik perdesaan dan kawasan perbatasan.

Sementara itu, pelaksanaan (pengusahaan) penyediaan listrik dilakukan oleh berbagai pelaku usaha—mulai dari BUMN, BUMD, swasta, koperasi, hingga kelompok swadaya masyarakat. PT PLN (Persero) tetap menjadi aktor utama yang ditugaskan pemerintah untuk membangun dan mengelola infrastruktur ketenagalistrikan nasional, sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 89 Tahun 2020.

Peta Jalan Transisi Energi: Dari Batubara Menuju Energi Bersih

Pemerintah telah menyusun peta jalan ambisius dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), dengan target kapasitas pembangkit mencapai 443 gigawatt (GW) pada tahun 2060. Dari jumlah ini, sekitar 41,6% akan berasal dari variable renewable energy (VRE) seperti tenaga surya dan angin, yang dilengkapi teknologi penyimpanan (storage) sebesar 34 GW.

Beberapa langkah strategis dalam peta jalan tersebut antara lain:

  • Percepatan PLTA dan PLTP, dengan tambahan permintaan listrik hingga 2032 dipenuhi terutama oleh VRE dan PLTGas.

  • Pemanfaatan energi baru seperti nuklir yang mulai dioperasikan pada 2032 (atau lebih cepat, tergantung kesiapan studi tapak BRIN).

  • Substitusi bahan bakar fosil secara bertahap, di mana batubara digantikan green ammonia (NH₃) mulai 2045, dan gas digantikan green hydrogen (H₂) mulai 2051.

  • Penerapan teknologi penyimpanan energi (BESS, Pumped Storage) serta carbon capture storage (CCS) untuk menekan emisi PLTU.

  • Program dedieselisasi dan cofiring biomassa guna mempercepat penurunan emisi serta meningkatkan efisiensi pembangkit eksisting.

Secara keseluruhan, penambahan pembangkit hingga 2034 diperkirakan mencapai 120 GW, dengan PLN memegang porsi sekitar 69,5 GW. Dari total kapasitas itu, 79,2% merupakan pembangkit energi terbarukan.

Menurunkan Emisi, Meningkatkan Efisiensi

Transformasi besar ini diharapkan menurunkan emisi karbon secara signifikan. Porsi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran pembangkitan akan meningkat dari 15,9% pada 2025 menjadi 73,6% pada 2060.

Puncak emisi karbon diperkirakan terjadi pada tahun 2037 dengan 599 juta ton CO₂, sebelum berangsur turun seiring implementasi teknologi bersih dan diversifikasi sumber energi.

Bauran energi pembangkitan tahun 2060 diproyeksikan terdiri atas:

  • Energi Baru (EB): 24,1%

  • Sumber Energi Terbarukan Stabil (SRE): 28,8%

  • Variable Renewable Energy (VRE): 20,7%

  • Fosil + CCS: 26,4%

Sulawesi: Laboratorium Transisi Energi di Timur Indonesia

  • Kawasan Sulawesi memainkan peran penting dalam peta transisi energi nasional. Kebutuhan listrik di wilayah ini diproyeksikan akan didominasi oleh sektor industri (63,7%), seiring berkembangnya kawasan industri, smelter, sentra perikanan terpadu, dan destinasi pariwisata prioritas.
  • Produksi listrik di Sulawesi ke depan akan bersumber dari kombinasi pembangkit surya, angin, arus laut, bioenergi, panas bumi, hingga hidrogen dan amonia hijau.
  • PLTA diperkirakan mencapai puncak kapasitas pada tahun 2043, sementara PLTP akan maksimal pada 2058. Menariknya, sistem tenaga listrik Sulawesi juga akan terintegrasi dengan Kalimantan mulai 2041, membuka peluang interkoneksi energi lintas pulau yang efisien dan berkelanjutan.

Menuju Listrik Hijau untuk Semua

Transisi energi bukan hanya soal mengganti sumber energi, tetapi juga membangun paradigma baru tentang kemandirian, keadilan, dan keberlanjutan.

Indonesia, dengan kekayaan sumber daya alam dan semangat desentralisasi, memiliki peluang besar menjadi kekuatan energi bersih di kawasan Asia.

Sulawesi, dengan keunggulan geografis dan potensi industrinya, dapat menjadi contoh nyata bagaimana energi hijau bukan sekadar wacana, tetapi fondasi masa depan ekonomi yang tangguh dan berkeadilan.