Politik Ekologi Pembangunan | Menimbang Ulang Lingkungan, Kekuasaan, dan Kemajuan

  • Whatsapp
Ilustrasi
  • Artikel ini mengulas makna, fondasi, dan penerapan politik ekologi pembangunan dengan merujuk pada pemikiran tokoh-tokoh penting serta sejumlah contoh nyata.
  • Dalam konteks pembangunan, kerangka Robbins membuka mata bahwa sebuah bendungan baru bukan sekadar proyek energi, melainkan arena kontestasi. Pertanyaan kuncinya: siapa yang mendapat listrik dan irigasi? siapa yang tergusur? bagaimana ekosistem berubah? Di sinilah ekologi politik pembangunan bekerja.
  • Ia menolak melihat pembangunan sebagai proses netral, melainkan sebagai arena pertarungan yang melibatkan ekologi, ketidaksetaraan sosial, dan relasi kuasa.

PELAKITA.ID – Selama berdekade-dekade, konsep “pembangunan” mendominasi wacana global. Ia membentuk kebijakan, membenarkan proyek bantuan, sekaligus menentukan arah perjalanan negara-negara di Global South.

Pembangunan tidak pernah sekadar soal pertumbuhan ekonomi atau modernisasi. Ia selalu berkelindan dengan kekuasaan, ketidaksetaraan, dan perubahan lingkungan.

Untuk memahami kerumitan ini, para ilmuwan memperkenalkan perspektif political ecology of development atau ekologi politik pembangunan.

Berbeda dengan pendekatan teknis atau manajerial yang cenderung menekankan keberlanjutan secara teknokratis, ekologi politik menegaskan bahwa setiap intervensi pembangunan—apakah itu pembangunan bendungan, promosi pertanian komoditas, atau konservasi hutan—pada dasarnya adalah tindakan politik.

Artikel ini mengulas makna, fondasi, dan penerapan ekologi politik pembangunan dengan merujuk pada pemikiran tokoh-tokoh penting serta sejumlah contoh nyata.

Dari Pembangunan ke Ekologi Politik

Ekologi politik muncul pada 1980-an sebagai kritik atas penjelasan apolitis terhadap masalah lingkungan.

Blaikie dan Brookfield (1987) dalam Land Degradation and Society menolak pandangan bahwa petani di negara berkembang adalah penyebab utama erosi tanah dan degradasi lahan.

Mereka menelusuri akar masalahnya hingga ke struktur agraria, kebijakan negara, dan tekanan ekonomi global. Dari sinilah terbentuk dasar analisis yang mengaitkan ekologi dengan ekonomi-politik.

Dalam konteks pembangunan, ekologi politik melihat bahwa setiap program “kemajuan”—dari infrastruktur hingga konservasi—tidak pernah netral. Ia membentuk ulang ekosistem, mengubah distribusi sumber daya, serta memperkuat atau justru menantang relasi kuasa.

Dengan kata lain, ekologi politik pembangunan lebih menanyakan untuk siapa pembangunan dijalankan, dengan biaya apa, dan siapa yang diuntungkan dibanding sekadar apakah pembangunan itu berhasil atau gagal.

Escobar dan Kritik terhadap Wacana Pembangunan

Salah satu tonggak penting adalah karya Arturo Escobar (1995) Encountering Development.

Escobar berargumen bahwa pembangunan bukan sekadar kumpulan kebijakan, melainkan sebuah discourse—cara membingkai wilayah-wilayah tertentu di dunia sebagai “terbelakang” dan karenanya membutuhkan intervensi.

Bingkai inilah yang kemudian melegitimasi masuknya nilai, teknologi, dan institusi Barat, sering kali dengan mengorbankan sistem ekologi dan budaya lokal.

Dari perspektif ekologi politik, karya Escobar memperlihatkan bagaimana proyek pembangunan, seperti skema agroindustri, justru mengikis pengetahuan tradisional, merusak keanekaragaman hayati, dan menciptakan ketergantungan baru pada pasar global. Kritik Escobar membuka jalan bagi gagasan alternatif yang menghargai keragaman ekologi sekaligus otonomi lokal.

Liberation Ecologies dan Ketimpangan Global

Michael Watts dan Richard Peet kemudian mengembangkan konsep liberation ecologies (1996, 2004). Mereka menegaskan bahwa pembangunan hanya dapat dipahami jika dikaitkan dengan kapitalisme global, warisan kolonial, dan stratifikasi sosial.

Pembangunan, kata mereka, bukanlah solusi teknis yang netral, melainkan mekanisme yang sering memperdalam ketimpangan dan krisis ekologi.

Contoh nyata dapat dilihat pada program penyesuaian struktural (SAPs) di Afrika pada 1980–1990-an. Kebijakan itu dipromosikan sebagai reformasi pembangunan, namun kenyataannya memaksa negara memangkas belanja sosial, memprivatisasi sumber daya, dan mengalihkan pertanian ke arah tanaman ekspor.

Hasilnya: kemiskinan pedesaan meluas dan lingkungan kian terdegradasi—sebuah bukti jelas bahwa strategi pembangunan tidak bisa dipahami tanpa perspektif ekologi politik.

Robbins dan Kerangka Ekologi Politik

Paul Robbins (2012) dalam Political Ecology: A Critical Introduction menghadirkan pengantar paling mudah diakses tentang ekologi politik.

Ia menegaskan bahwa persoalan lingkungan tak pernah sekadar soal ekologi; ia selalu politis. Isu deforestasi, penangkapan ikan berlebihan, atau adaptasi iklim merefleksikan akses yang timpang terhadap sumber daya, perebutan otoritas, dan visi keberlanjutan yang saling bertentangan.

Dalam konteks pembangunan, kerangka Robbins membuka mata bahwa sebuah bendungan baru bukan sekadar proyek energi, melainkan arena kontestasi. Pertanyaan kuncinya: siapa yang mendapat listrik dan irigasi? siapa yang tergusur? bagaimana ekosistem berubah? Di sinilah ekologi politik pembangunan bekerja.

Aplikasi Nyata

Bendungan dan Penggusuran

Bendungan besar sering digadang sebagai motor pembangunan nasional karena mampu menghasilkan listrik dan irigasi. Namun ekologi politik menunjukkan sisi lain: bendungan menggusur komunitas, merusak ekosistem sungai, dan lebih sering melayani kepentingan elite ketimbang masyarakat lokal.

Proyek Bendungan Narmada di India menjadi simbol perlawanan akibat kerusakan ekologi dan pengusiran kelompok rentan.

Pembangunan Hijau dan Konservasi

Program konservasi seperti taman nasional atau inisiatif REDD+ kerap dipromosikan sebagai pembangunan berkelanjutan. Namun dalam praktiknya, kebijakan itu sering membatasi akses masyarakat lokal terhadap hutan dan laut, mengkriminalisasi mata pencaharian tradisional, serta memperkuat ketimpangan global.

Ekologi politik membantu kita melihat bahwa konservasi tidak netral, melainkan bagian dari agenda kapitalisme global.

Transformasi Agraria dan Ketahanan Pangan

Kebijakan yang mendorong petani beralih dari pertanian subsisten ke komoditas ekspor memang meningkatkan pendapatan negara, tetapi sering kali melemahkan ketahanan pangan dan mengurangi keanekaragaman hayati.

Petani kecil kehilangan kendali atas lahannya, bergantung pada pasar yang fluktuatif, dan kehilangan pengetahuan ekologi tradisional.

Reklamasi Pesisir di Indonesia

Di Indonesia, proyek reklamasi pantai sering dipromosikan sebagai simbol modernitas, pariwisata, dan pertumbuhan ekonomi. Rencana reklamasi Teluk Jakarta, misalnya, membayangkan pulau-pulau buatan untuk perumahan mewah dan pusat bisnis.

Proyek ini disebut sebagai solusi keterbatasan lahan sekaligus motor investasi.

Namun, dari perspektif ekologi politik pembangunan, reklamasi memperlihatkan ketidakadilan ekologis dan sosial. Ia mengancam ekosistem mangrove, mengganggu hidrologi pesisir, serta memperparah banjir di wilayah rendah. Lebih parah lagi, reklamasi menggusur komunitas nelayan tradisional yang menggantungkan hidup pada laut.

Bagi mereka, reklamasi bukan kemajuan, melainkan perampasan. Gerakan nelayan dan organisasi masyarakat sipil kemudian menolak proyek ini dan memaksa pemerintah menunda atau meninjau kembali beberapa tahapnya.

Contoh ini menegaskan bagaimana pembangunan yang dibingkai sebagai modernisasi justru melahirkan pemenang (pengembang, elite, investor) dan pecundang (komunitas lokal, ekosistem).

Lima Pelajaran Utama Ekologi Politik Pembangunan

Pembangunan adalah politik – Pembangunan tidak pernah netral; ia selalu terkait perebutan kuasa, sumber daya, dan pengetahuan. Siapa yang berhak menentukan arah pembangunan, siapa yang memperoleh akses terhadap anggaran, serta siapa yang mendefinisikan “kemajuan” adalah pertarungan politik.

Karena itu, pembangunan sering kali lebih mencerminkan kepentingan aktor-aktor dominan—negara, elit politik, maupun korporasi—daripada kebutuhan masyarakat di akar rumput.

Ekologi itu sentral – Setiap proyek pembangunan, sekecil apa pun, membawa konsekuensi ekologis. Bendungan, jalan tol, tambang, hingga reklamasi pantai mengubah ekosistem dan tata ruang hidup.

Dampaknya pun tidak merata: sebagian orang diuntungkan, sementara kelompok lain kehilangan sumber penghidupan, ruang tinggal, atau identitas budaya yang melekat pada lingkungannya. Karena itu, pembangunan harus dipahami bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal keadilan ekologis.

Wacana menentukan – Cara pembangunan dibingkai melalui bahasa, laporan, atau kebijakan menentukan siapa yang dianggap “terbelakang” dan siapa yang dinilai “modern.

Wacana “pembangunan” sering memberi stigma pada masyarakat adat atau komunitas lokal sebagai penghambat kemajuan, padahal mereka memiliki sistem pengetahuan dan praktik keberlanjutan yang kaya. Dengan demikian, wacana bukan sekadar kata-kata; ia adalah alat kuasa yang bisa menggeser posisi kelompok sosial dalam struktur pembangunan.

Ada pemenang dan pecundang – Tidak ada pembangunan yang hanya membawa manfaat. Setiap intervensi melahirkan pemenang dan pecundang.

Misalnya, investor dan pemerintah bisa meraih keuntungan dari proyek infrastruktur besar, tetapi masyarakat yang tanahnya tergusur menjadi korban. Pembagian untung dan rugi ini jarang adil, sehingga menimbulkan ketimpangan sosial, ekonomi, bahkan konflik horizontal di masyarakat.

Alternatif itu ada – Dominasi model pembangunan arus utama bukan berarti tidak ada jalan lain. Pengetahuan lokal, gerakan akar rumput, dan praktik adat menawarkan alternatif yang lebih partisipatif, berkelanjutan, dan adil.

Dari kearifan pengelolaan laut tradisional hingga gerakan koperasi desa, masyarakat membuktikan bahwa pembangunan bisa dirancang dari bawah, bukan sekadar dipaksakan dari atas. Inilah peluang untuk membayangkan pembangunan yang lebih manusiawi dan ekologis.

****

Pembaca sekalian, ekologi politik pembangunan menantang kita untuk menimbang ulang apa arti pembangunan dan bagaimana ia dijalankan.

Ia menolak melihat pembangunan sebagai proses netral, melainkan sebagai arena pertarungan yang melibatkan ekologi, ketidaksetaraan sosial, dan relasi kuasa.

Dengan merujuk pemikiran Escobar, Watts, Peet, Robbins, hingga Blaikie, kita belajar bahwa pembangunan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan yang diubahnya serta masyarakat yang terdampak.

Contoh bendungan, konservasi, transformasi agraria, hingga reklamasi pesisir di Indonesia menunjukkan bahwa setiap pembangunan selalu membawa biaya ekologis dan politik.

Di tengah krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan konflik sumber daya, perspektif ini kian mendesak. Alih-alih menerima begitu saja narasi dominan pertumbuhan dan kemajuan, ekologi politik pembangunan mengajak kita lebih kritis: pembangunan untuk siapa, dengan cara bagaimana, dan dengan dampak apa.

Keberlanjutan sejati tidak cukup dengan solusi teknis; ia mensyaratkan keadilan, kesetaraan, dan integritas ekologi.

__
Tamarunang, 22 September 2025