Buah Coppeng: Anggur Bugis yang Hampir Terlupa

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

Oleh: Muliadi Saleh

PELAKITA.ID – Saat meluncurkan Gerakan Urban Farming di Bukit Baruga Makassar, 15 September 2025, Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin menyampaikan sebuah harapan besar.

Menurutnya, gerakan ini tidak sekadar menanam sayuran untuk kebutuhan harian warga, tetapi juga harus menghidupkan kembali buah-buah endemik Makassar. Salah satunya adalah coppeng atau jamblang, buah yang akrab disebut sebagai “anggur Bugis.”

Nama itu sederhana, tetapi menyimpan kisah panjang tentang tanah, identitas, dan ingatan masyarakat Sulawesi Selatan. Coppeng bukan hanya buah musiman.

Ia adalah saksi kedekatan manusia dengan alam: anak-anak yang berlarian memetiknya, orang tua yang menikmatinya di beranda rumah dengan senyum nostalgia. Kini, di tengah arus modernisasi dan banjir buah impor, coppeng terpinggirkan—menunggu untuk ditemukan kembali.

Jejak Ekologis dan Historis

Secara ilmiah, coppeng dikenal sebagai Syzygium cumini dari keluarga Myrtaceae. Pohonnya menjulang gagah hingga 20 meter dengan batang besar dan daun rimbun yang meneduhkan halaman kampung. Ia tumbuh subur di tanah tropis lembap dan pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap pedesaan maupun perkotaan Makassar.

Dalam budaya Nusantara, jamblang punya banyak nama: duwet di Jawa, jambu keling di Sumatera, jamun di India. Di Makassar, sebutan coppeng melekat kuat, menegaskan rasa lokalitas. T

ak heran jika masyarakat Bugis-Makassar menjulukinya “anggur Bugis.” Bentuk dan warnanya memang mirip anggur, meski lebih padat dengan cita rasa khas: manis bercampur asam, meninggalkan noda ungu di bibir dan lidah.

Simbol Budaya dan Kenangan Kolektif

Bagi masyarakat Bugis-Makassar, coppeng bukan hanya tumbuh di tanah, tetapi juga di hati.

Banyak orang tua mengenangnya sebagai bagian dari masa kecil: memanjat pohon, membawa keranjang, lalu makan bersama kawan-kawan di bawah rindangannya. Noda ungu di bibir bukan aib, melainkan simbol kebahagiaan.

Lebih dari camilan, coppeng menyimpan makna simbolik. Warna ungunya melambangkan kedalaman dan keteduhan, sementara batangnya yang kokoh mengajarkan keteguhan dan kesabaran. Ia bukan sekadar pohon buah, melainkan guru kehidupan.

Ilmu Pengetahuan di Balik Rasa

Di balik kesederhanaannya, sains menemukan harta karun kesehatan. Coppeng kaya antioksidan, flavonoid, dan antosianin—senyawa bioaktif penting untuk melawan radikal bebas.

Sejumlah penelitian farmakologi mencatat manfaat jamblang:

  • Menurunkan kadar gula darah, bermanfaat bagi penderita diabetes.

  • Daun dan bijinya bersifat antimikroba dan antiinflamasi.

  • Kulit batangnya digunakan sebagai obat tradisional untuk pencernaan.

  • Pigmen antosianin menjaga kesehatan jantung, melindungi sel otak, dan memperlambat penuaan.

Dalam tradisi Ayurveda di India, jamblang telah digunakan selama berabad-abad untuk menjaga vitalitas tubuh. Kini, di tengah tren gaya hidup sehat berbasis tanaman lokal, coppeng memiliki potensi besar untuk dikembangkan.

Urban Farming: Momentum Menghidupkan Kembali Coppeng

Gerakan urban farming di Bukit Baruga menjadi momentum baru. Coppeng bukan hanya menghasilkan buah, tetapi juga berfungsi ekologis: meneduhkan, mengatur iklim mikro, dan menyerap karbon.

Bayangkan jika setiap lorong di Makassar memiliki pohon coppeng. Anak-anak tumbuh dekat dengan alam, warga menikmati buah asli kampung, sementara kota memperoleh paru-paru hijau yang semakin dibutuhkan. Urban farming dengan coppeng bukan sekadar pertanian kota, melainkan pemulihan identitas dan kedaulatan pangan lokal.

Di saat masyarakat modern memburu buah impor—apel, pir, anggur—coppeng hadir mengingatkan bahwa kekayaan lokal tak kalah berharga. Ia tumbuh di tanah sendiri, sesuai iklim tropis, dan menjadi simbol kemandirian.

Ajakan Merawat Warisan

Di era perubahan iklim dan krisis pangan, menanam coppeng adalah pilihan strategis sekaligus simbolis. Pohon ini mudah tumbuh, minim perawatan, dan mampu hidup puluhan tahun. Menanam coppeng berarti menanam kembali nilai, identitas, dan harapan.

“Anggur Bugis,” Akar Identitas

Kelak, ketika musim coppeng tiba, kota akan kembali dihiasi warna ungu. Anak-anak berlarian dengan bibir kehitaman, orang tua tersenyum mengenang masa lalu, sementara peneliti sibuk meneliti khasiatnya. Di meja makan keluarga, coppeng tersaji bukan sekadar buah, melainkan pengingat bahwa kita bisa maju tanpa kehilangan akar.

Coppeng, anggur Bugis yang hampir terlupa, kini menunggu untuk dirayakan kembali. Dalam keheningan warnanya tersimpan pesan mendalam: menjaga warisan adalah cara terbaik memastikan masa depan.