Kolom Dr Mulyadi Opu Ta Tadampali: Oligarki Kembar Tiga, Koalisi Kumpul Kebo dan Partai Rental

  • Whatsapp
Dr Mulyadi 'Opu Andi Tadampali' (dok: Istimewa)

Dr. Mulyadi Opu Andi Tadampali, Ketua Center for Election and Political Party (CEPP) FISIP UI, yang juga Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia membagikan pandangannya tentang realitas politik Indonesia. Mari simak.

___

PELAKITA.ID – Dalam ilmu politik khususnya studi kepartaian dan pemilu, koalisi partai adalah “perabot rumah tangga” milik sistem pemerintahan parlementer.

“Perabot politik” ini sengaja dipersiapkan oleh sistem parlementer sebagai instrumen penanganan krisis yang disebabkan oleh tiadanya partai pemenang mutlak pemilu, yang berhak membentuk dan menjalankan pemerintahan repsentatif secara periodik. “Perabot politik” ini sudah tentu “halal” digunakan oleh sistem parlementer, namun “haram” digunakan oleh sistem presidensil.

Dalam sistem presidensil, ketentuan tentang hak prerogatif presiden dalam membentuk dan menyelenggarakan pemerintahan repsentatif secara periodik, membuat koalisi partai tidak dibutuhkan.

Olehnya itu, jika terdapat praktik koalisi partai dalam sistem presidensil, maka itu bukan hanya pelanggaran serius terhadap postulat sistem presidensil dan patsun politik, tetapi juga menjadi pertanyaan serius bagi suatu motif politik terselubung.

Lantas apa sebetulnya motif politik partai politik melakukan kejahatan politik ganda: berkoalisi dalam sistem pemerintahan presidensil dan menjadi “partai rental”?

Artikel pendek ini membahas dua fenomena anomali partai politik di Indonesia: “koalisi kumpul kebo” dan “partai rental”.

Kedua anomali politik ini merupakan desain politik Oligarki Kembar Tiga dalam rangka menguasai: mengontrol dan mengendalikan politik Indonesia dalam maknanya yang amat luas: mencakup seluruh bidang kenegaraan dan pemerintahan.

“Koalisi Kumpul Kebo”

Secara teoritis, praktik koalisi partai di Indonesia tidak dapat disebut sebagai praktik koalisi partai dalam maknanya yang absah secara ilmiah: logis dan koheren.

Selain karena konsekuensi politik dari hak prerogatif presiden dalam sistem presidensil adalah tidak membutuhkan dukungan dari koalisi partai, juga implikasi politiknya yang hanya memporandakan tatanan sistem politik.

Mengikuti motif politiknya yang hanya ingin bagi-bagi sumber-sumber kekuasaan potensial, praktik ini lebih tepat disebut “koalisi kumpul kebo” daripada koalisi partai dalam makna semestinya.

Saya terpaksa menyebutnya “koalisi kumpul kebo”, karena selain metodenya dalam membagi-bagi kekuasaan sesama anggota koalisi tergolong “haram”, juga konsekuensi dan implikasi politiknya terbukti telah merusak tatanan sistem politik Indonesia hingga membuat rakyat terabaikan.

Secara metodis “koalisi kumpul kebo” dibentuk dengan orientasi politik utama untuk menang bersama-sama dengan tujuan tunggal yakni berbagi sumber-sumber kekuasaan potensial: wewenang, pengaruh, dan kekuatan, yang asumsinya dilakukan secara tak senonoh, sehingga patut dianggap sebagai cara lain dalam berbagi kejahatan politik.

Dalam konteks politik immoral, “koalisi kumpul kebo” adalah politik Lasswellian, yakni who gets what, when, how (Harold Lasswell,1936).

Suatu praktik politik yang murni dimotivasi oleh pragmatisme politik, karena orientasi politiknya hanya terfokus pada soal siapa mendapat apa, kapan mendapat apa, dan dimana mendapat apa.

Padahal praktik politik itu sejatinya mensyaratkan moralitas politik dan dignity politik, karena politik ialah upaya mewujudkan kebaikan umum berdasarkan kehendak umum (politics is actually an effort to realize the general good based on the general will).

Mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, saya bisa memahami kegembirannya jika anda merayakannya dengan tepuk tangan.

Tapi saya tetap perlu mengingatkan bahwa putusan MK itu tidak otomatis melarang praktik “koalisi kumpul kebo”. Selama Pasal 6A Ayat (2) klausul terakhir UUD’2002 tidak dihapus maka selama itu pula praktik “koalisi kumpul kebo” dianggap legal, konstitusional.

Sebagai tambahan, meski aktor personal yang pasang badan dalam memaksakan amandemen belum terungkap, tetap saya bisa pastikan bahwa Pasal 6A Ayat (2) klausul terakhir UUD’2002 ini adalah kejahatan politik yang diselundupkan oleh kawanan Oligarki Kembar Tiga ke dalam konstitusi baru (UUD’2002) untuk motif membajak pemilu dan menyandera partai politik bersama pemerintahan.

Pula patut saya ulangi dalam tulisan ini bahwa ada tiga motif politik terselubung Oligarki Kembar Tiga mengganti UUD’1945 dengan UUD’2002 dengan berkedok amandemen konstitusi, yaitu, pertama, kuasai pemerintahan Indonesia lewat presiden non-pribumi (Pasal 6 UUD’2002).

Kedua, kuasai politik Indonesia lewat gabungan “partai rental” (Pasal 6A Ayat (2) klausul terakhir UUD’2002); dan ketiga, kuasai ekonomi Indonesia lewat demokrasi ekonomi (Pasal 33 Ayat (4) UUD’2002).

Melalui ketiga motif politik terselubung itu, tiga kawanan Oligarki Kembar Tiga: para badut politik (oligarki politik), para bandar politik (oligarki ekonomi), dan para bandit politik (oligarki sosial) bergandengan tangan dalam mempertahankan keadaan buruk ini karena semakin banyak memberinya keuntungan politik dan ekonomi.

“Partai Rental”

Sekilas, putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang berisi penghapusan ambang batas pencalonan presiden merupakan “darah segar bagi urat nadi” demokrasi Indonesia.

Betapa tidak, selama periode cukup lama, UU Pemilu melarang partai politik peserta pemilu mencalonkan pasangan kandidatnya jika tidak memiliki kursi minimal 112 (20%) di DPR atau 25% suara sah nasional dalam pemilu legislatif.

Ini adalah ketentuan benar-benar tidak masuk akal untuk tidak kasar mengatakan bahwa ini adalah aturan ambisius untuk merekayasa atau membatasi jumlah pasangan kandidat peserta pemilu.

Lebih jahat dari itu adalah konsekuensi tak terhindarkan dari ketentuan ini yaitu memaksa partai untuk terlibat dalam perbuatan terlarang, “koalisi kumpul kebo” dan “partai rental”.

Tapi tunggu dulu, jangan terlalu cepat gembira dengan putusan MK itu. Masalahnya, selain “koalisi kumpul kebo’ belum dilarang, juga kemunculan jenis “partai rental” sudah terbukti merusak politik nasional dan politik lokal. Fenomena jenis “partai rental” sungguh menghawatirkan masa depan politik Indonesia.

Bukan saja karena kemunculannya yang langsung bergabung ke dalam “koalisi kumpul kebo” dan atau terlibat dalam permainan mahar politik (money politics), tetapi juga tidak lagi menganggap penting rekrutmen politik.

Kasus Orient P Riwu Kore, bupati terpilih Kabupaten Sabu Raijua pada Pilkada 2020 yang ternyata warga negara asing (warga negara Amerika) merupakan bukti telanjang betapa partai tidak peduli lagi pada rekrutmen politik.

Jangankan mentracking kapasitas politik, kapabilitas politik dan integritas politiknya, memastikan syarat kandidat saja mereka tak mau sediakan waktu.

Pada Pilkada Sabu Raijua tahun 2020, Orient P Riwu Kore yang warga negara Amerika berpasangan Thobias Uly dengan pasangan calon nomor urut 02.

Orient dinyatakan menang pilkada dengan perolehan suara 21.359 (48,3%), mengalahkan paslon nomor urut 01: Nikodemus H Riki Heke-Yohanis Uly Kale yang mengantongi 13.292 suara (31,1%) dan paslon nomor urut 03: Takem Irianto Radja Pono-Herman Hegi Radja Haba dengan perolehan suara 9.569 suara (21,6%).

Suka atau tidak suka, implikasi dari “partai rental” adalah partai menjadi “kuda troya” bagi Oligarki Kembar Tiga dalam melanggengkan dominasinyw.

Bahwa “partai rental” hanya peduli pada badut politik, bandar politik, dan bandit politik, serta tidak peduli lagi dengan rekrutmen politik, tidak peduli pada kepentingan konstituennya, tidak peduli pada kadernya, dan atau tidak peduli pada ideologi partai, itu sudah pasti, sehingga tidak perlu lagi mencari-cari alasan pembenaran.

Terhadap dua fenomena patologi politik ini beserta segala political decay yang menyertainya, saya tak punya usul jitu untuk menghentikannya selain ajakan kembali ke UUD’1945 untuk adendum seperlunya.

Dengan berbagai pertimbangan, saya harus tegas mengatakan bahwa sebenarnya pemilu Indonesia hanya penting untuk dua hal pokok, yaitu: (1) pemilu anggota legislatif pusat (DPR), dengan peserta pemilunya parpol nasional, dan independen bila DPD ditiadakan; dan (2) pemilu anggota legislatif daerah (DPRD), dengan peserta pemilunya partai lokal.

Untuk presiden-wakil presiden cukup dipilih oleh MPR versi UUD’1945, dan untuk gubernur dipilih oleh DPRD Provinsi, serta untuk bupati/walikota cukup diangkat oleh gubernur dengan terlebih dahulu membentuk Dewan Kabupaten/Dewan Kota.

Di dunia ini, tak ada bukti demokrasi tiba-tiba lenyap hanya lantaran tidak ada pemilu langsung presiden dan pemilu langsung kepala daerah.

Sepanjang tujuannya untuk meningkatkan kualitas demokrasi, tak masalah dengan pembatasan penggunaan hak pilih dalam pemilu.

Dengan argumen bahwa demokrasi berkontribusi signifikan terhadap efesiensi politik, integrasi politik, dan stabilitas politik, maka pemilihan presiden-wakil presiden dan pemilhan gubernur-wakil gubernur tak perlu langsung oleh rakyat.

Pemilihan pemimpin politik puncak cukup dilakukan oleh otoritas sipil, yaitu institusi politik yang bergerak atas mandat kedaulatan rakyat, seperti MPR Asli dan DPRD Provinsi untuk menghindari kerugian politik tanpa harus mengorbankan demokrasi.

Mengakhiri tulisan ini, saya berharap jangan terlalu mudah terkesima pada propaganda kebaikan pemilu langsung, sehingga melupakan bahayanya yang justru bisa membuat demokrasi kita semakin memburuk dan politik kita semakin membusuk.

Anda pasti setuju dengan prinsip saya bahwa lebih baik memilih seribu kali satu (1000 X 1) daripada memilih seribu kali nol (1000 X 0).

Dalam upaya mencegah demokrasi semakin memburuk dan politik semakin membusuk, sangat relevan untuk diresapi peringatan dini Stanislaw Andreski, “Setan mencarikan pekerjaan orang-orang yang menganggur”.

Related posts