Muhammad Wahyunan Fadli, mahasiswa Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku menuliskan pandangannya mengenai posisi perempuan saat ini di tengah praktik ketidakadilan, atau penindasan. Mari simak betikut ini.
PELAKITA.ID – Ketika kita berbicara tentang keadilan untuk perempuan, satu pertanyaan yang sering muncul adalah: Apakah benar keadilan itu bisa dicapai dalam sebuah sistem yang telah lama melanggengkan ketidaksetaraan?
Realitasnya, perempuan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, masih menghadapi berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan.
Diskriminasi ini tidak hanya terjadi di ruang publik, tetapi juga merambah ke ruang-ruang pribadi seperti rumah tangga, tempat kerja, dan bahkan dalam sistem hukum yang seharusnya memberikan perlindungan bagi mereka.
Namun, bagaimana sebenarnya wajah penindasan ini?
Mari kita mulai dari akarnya: sistem patriarki. Patriarki adalah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam keluarga, komunitas, maupun negara.
Dalam sistem ini, perempuan sering kali diposisikan sebagai warga kelas dua. Sistem ini tidak hanya membentuk struktur sosial, tetapi juga menciptakan budaya yang sulit dilawan, bahkan oleh perempuan itu sendiri.
Wajah Penindasan yang Tersembunyi
Penindasan terhadap perempuan sering kali tidak terlihat secara langsung. Contohnya, dalam dunia kerja, banyak perempuan yang masih menghadapi kesenjangan upah dibandingkan rekan laki-laki mereka untuk pekerjaan yang sama.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa rata-rata upah perempuan di Indonesia lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Di luar itu, perempuan juga sering kali terbatas pada sektor-sektor tertentu yang dianggap “cocok” untuk mereka, seperti pendidikan dan kesehatan, sementara sektor-sektor yang lebih tinggi gajinya, seperti teknologi dan industri, didominasi oleh laki-laki.
Tidak hanya dalam dunia kerja, diskriminasi juga terjadi dalam ruang domestik. Budaya “kodrat” yang sering kali dilekatkan pada perempuan mengharuskan mereka untuk memikul beban ganda sebagai pencari nafkah sekaligus pengurus rumah tangga.
Beban ini sering kali tidak diimbangi dengan pembagian tanggung jawab yang setara di rumah. Akibatnya, banyak perempuan yang mengalami kelelahan fisik dan mental yang berlebihan.
Dalam ranah hukum, situasinya tidak lebih baik. Kasus kekerasan terhadap perempuan sering kali tidak mendapatkan perhatian serius.
Sistem hukum yang bias gender membuat perempuan korban kekerasan cenderung tidak mendapatkan keadilan. Contoh nyata adalah dalam kasus kekerasan seksual, di mana korban sering kali disalahkan atas kejadian yang menimpanya.
Pertanyaan-pertanyaan seperti “Apa yang kamu pakai?” atau “Kenapa kamu ada di tempat itu?” sering kali dilontarkan, menunjukkan bahwa sistem hukum kita masih jauh dari berpihak pada korban.
Perlawanan yang Dimulai dari Kesadaran
Meski menghadapi berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan, perempuan tidak tinggal diam. Gerakan-gerakan perempuan terus berkembang, baik dalam skala lokal maupun global.
Di Indonesia, misalnya, kita memiliki organisasi seperti Komnas Perempuan yang berfokus pada isu-isu kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, gerakan akar rumput seperti komunitas perempuan desa, organisasi buruh perempuan, hingga kampanye media sosial seperti #MeToo dan #SayaJuga telah membantu membawa isu-isu ini ke permukaan.
Namun, perjuangan ini tidak mudah. Perubahan tidak hanya memerlukan keberanian untuk berbicara, tetapi juga membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk laki-laki.
Konsep feminisme interseksional menjadi relevan di sini, karena menyadari bahwa perempuan bukanlah kelompok yang homogen.
Perempuan dari latar belakang sosial, ekonomi, dan etnis yang berbeda menghadapi tantangan yang berbeda pula.
Oleh karena itu, perlawanan terhadap patriarki harus inklusif dan melibatkan semua kelompok, termasuk laki-laki yang mendukung kesetaraan gender.
Langkah Menuju Keadilan
Apa yang bisa kita lakukan untuk menciptakan dunia yang lebih adil bagi perempuan?
Langkah pertama adalah melalui pendidikan. Pendidikan adalah kunci untuk mengubah pola pikir yang telah tertanam sejak lama. Dengan memberikan akses pendidikan yang setara, kita tidak hanya memberdayakan perempuan, tetapi juga menciptakan generasi yang lebih sadar akan pentingnya kesetaraan gender.
Selain itu, reformasi hukum juga menjadi kebutuhan mendesak. Hukum harus dibuat lebih berpihak pada perempuan, terutama dalam kasus kekerasan seksual. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), misalnya, adalah salah satu upaya untuk memberikan perlindungan lebih bagi perempuan di Indonesia.
Meski perjalanan RUU ini penuh dengan tantangan, namun dukungan dari masyarakat sipil terus mendorong agar undang-undang ini segera disahkan.
Langkah berikutnya adalah menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif.
Perusahaan perlu mengadopsi kebijakan yang mendukung perempuan, seperti cuti melahirkan yang memadai, jam kerja fleksibel, dan upaya untuk mengurangi kesenjangan upah.
Selain itu, penting juga untuk mengubah budaya kerja yang cenderung bias gender, sehingga perempuan dapat merasa lebih dihargai dan diterima di tempat kerja.
Harapan di Masa Depan
Meski tantangan yang dihadapi perempuan masih sangat besar, kita tidak boleh kehilangan harapan.
Perubahan memang tidak akan terjadi dalam semalam, tetapi setiap langkah kecil yang kita ambil akan membawa kita lebih dekat pada keadilan.
Seperti kata pepatah, “Perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah.” Dalam konteks ini, langkah tersebut adalah keberanian untuk berbicara, mendukung satu sama lain, dan tidak pernah berhenti memperjuangkan apa yang benar.
Keadilan untuk perempuan bukanlah impian yang mustahil.
Dengan kerja sama, kesadaran, dan komitmen dari semua pihak, kita dapat menciptakan dunia di mana perempuan tidak lagi dipandang sebelah mata, tetapi dihormati dan dihargai sebagai individu yang setara.
Karena pada akhirnya, kesetaraan gender bukan hanya tentang perempuan, tetapi tentang menciptakan masyarakat yang lebih adil untuk semua.
___
Tulisan ini adalah pendapat penulis semata sebagai bagian dari kelas penulisan kreatif.